Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, November 7, 2011

Idul Adha dan Kerelaan Berkurban

Oleh : H Munawar M. Saad
Idul Adha juga disebut idul kurban. Mengapa disebut ibadah qurban, karena pada hari Idul Adha bagi umat Islam yang mampu diwajibkan menyembelih hewan kurban. Daging hewan kurban dibagikan kepada fakir miskin dengan harapan mereka pun turut menikmati lezatnya daging hewan yang barangkali jarang mereka jumpai pada hari-hari biasa. Perintah menyembelih hewan kurban merupakan simbol kepedulian sosial di tengah kehidupan bermasyarakat.

 Dengan Idul Adha, kita ingin mengembalikan pribadi yang kufur menjadi pribadi yang bersyukur, dari masyarakat yang biadab menjadi beradab, dari masyarakat zalim menjadi masyarakat yang adil. Dalam kesyukuran dan keadilan itu, Insya Allah nilai-nilai kemanusiaan dapat ditegakkan dengan sempurna, sehingga peradaban yang dibangun manusia merupakan berkah dari Allah SWT, dan bukan peradaban yang menghinakan manusia.
 Dalam pelaksanaan ibadah haji (Idul Adha) paling tidak ada empat aspek yang dapat kita ambil pelajaran. Pertama, aspek spiritual. Aspek  inilah yang saat ini sedang tertanam pada diri para jamaah haji yang tanpa ragu dan bimbang rela mengorbankan sebagian kekayaannya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Mereka rela dan ikhlas meninggalkan keluarga, kampung halaman dan tanah air untuk berangkat ke tanah suci menunaikan perintah dan kewajiban haji. Demi memenuhi undangan dan panggilan Allah, mereka rela berdesak-desakkan diantara jutaan umat Islam melaksanakan semua kewajiban dan sunah haji di tanah suci Mekkah al Mukarramah dan Madinatul Munawarah. Di tengah terik matahari yang panas menyengat, jamaah haji berbondong bondaong dan harus berdesak desakan menunaikan wukuf di Arafah. Wukuf merupakan rukun haji dan puncak seluruh rangkaian ibadah haji. Jika bukan karena iman dan mengharap ridha Allah, mustahil semua rangkaian ibadah haji tersebut mampu dilaksanakan. 

Kedua, aspek mental. Aspek mental ini sangat erat kaitannya dengan peristiwa penyembelihan Ismail oleh ayah kandungnya Ibrahim. Ismail yang kala itu masih muda belia dengan tegas dan ikhlas menyerahkan dirinya untuk disembelih demi mengharap ridho Allah. Ibrahim dihadapkan pada dua pilihan antara cinta kepada anak dan cinta pada Allah SWT. Ia harus memilih cinta kepada Allah dengan mengorbankan kecintaannya pada sang anak tercinta. Ujian seperti yang dialami Ibrahim dan anaknya itu memang amat sangat berat dilakukakan oleh kebanyakan orang. 

Dalam realitas sosial di masyarakat, kita masih sering mengutamakan kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok  dari pada kepentingan orang lain. Aspek ketiga, aspek sosial. Aspek ini terkait dengan kewajiban menyembelih hewan kurban. Daging hewan kurban dibagi-bagikan kepada para fakir miskin dan yang berhak menerimanya. Pesan moral dari ibadah kurban adalah agar kita peduli terhadap kehidupan dan masalah sosial. Masih banyak yang harus dibantu dan memerlukan uluran tangan  umat Islam. Berapa banyak jumlah bangunan madrasah, panti asuhan dan rumah sakit Islam yang terbengkalai pembangunannya karena kekurangan biaya.

Berapa banyak anak yatim piatu, fakir miskin, janda dan panti jompo yang masih mengharapkan bantuan dan santunan kita semua. Berapa banyak saudara kita yang ditimpa musibah bencana alam, banjir, gempa bumi dan lain sebagainya yang masih mendambakan kebaikan kita. Masih banyak saudara-saudara kita karena korban pemutusan hubungan kerja, himpitan ekonomi dan bencana alam, hidup dalam kemiskinan. Sebagian lagi dari umat  dan bangsa kita dewasa ini masih berada di bawah garis kemiskinan, penderitaan yang seakan-akan tanpa ujung, penuh kecemasan bertanya-tanya akan nasib mereka.

Pemerataan kekayaan adalah tuntunan Islam yang mutlak. Kekayaan adalah pencurian, kalau tidak dinafkahkan sebagian untuk zakat dan sedekah. Allah mengancam dengan keras pencuri-pencuri kekayaan yang mengambil hak fakir miskin. Rasul dengan tegas mengecam orang-orang yang tidur dengan lelap karena kekenyangan, sementara di sebelahnya masih ada saudaranya yang susah tidur karena harus menahan lapar. Untuk itu umat Islam diwajibkan segera mengeluarkan sebagian hartanya untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya. Zakat yang kita keluarkan pada hakekatnya adalah sebagai sarana pensucian kekayaan dan sebagai penghapus dosa, untuk menghilangkan sifat kikir, dan sebagai bukti rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT serta untuk menjamin hubungan kasih sayang, tolong menolong, cinta mencintai antara si kaya dengan si miskin untuk menuju persatuan, perdamaian keluarga maupun masyarakat .

Jika kita tidak mau umat Islam menjadi umat yang bodoh, miskin dan terbelakang, maka segeralah berkurban untuk kejayaan Islam. Jika kita tak mau berkurban hari ini, Insya Allah besok kita akan menjadi korban dari musuh-musuh Islam. Jika hari ini  kita tak mau berkurban untuk pendidikan, maka kita akan menjadi korban dari kebodohan. Jika hari ini kita tak mau berkurban untuk meningkatkan taraf kehidupan, maka kita akan menjadi korban dari kemiskinan. Jika hari ini kita tak mau berkurban untuk perdamaian, maka kita akan menjadi korban dari pertikaian dan kerusuhan.

 Keempat,  aspek pendidikan. Hal ini dapat kita lihat dari gambaran hidup keluarga nabi Ibrahim. Selaku seorang kepala rumah tangga, Ibrahim senantiasa memberikan dan mencontohkan hal-hal yang terbaik dalam membina rumah tangga. Ujian dan cobaan dihadapinya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Ia selalu bersemangat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Demikian pula Siti Hazar sebagai seorang istri, ia tetap setia mendampingi sang suami baik dalam suka maupun duka. Hazar rela, merawat, membesarkan dan mendidik anaknya Ismail walaupun harus ditinggal suami.

Kecintaan seorang isteri pada sang suami tergambar dalam kehidupan Siti Hazar. Ia selalu patuh dan taat pada suami dengan tetap mengabdi pada agama. Ismail adalah sosok generasi muda yang dibesarkan dan dididik oleh lingkungan keluarga yang taat pada agama. Selaku anak, Ismail sadar betul akan kewajibannya, baik terhadap perintah orang tuanya maupun perintah agama. Ismail senantiasa patuh dan taat pada kedua orang tuanya. Kendatipun masih dalam  usia muda belia, Ismail tetap mampu menjaga nafsu dan emosi. Ia dapat mengendalikan perangai darah mudanya kepada hal-hal yang positif.

Tiga figur manusia ini, merupakan simbolisasi keluarga ideal dan keluarga sakinah yang harus kita contoh dalam kehidupan nyata. Keluarga Ibrahim telah mencontohkan suatu kehidupan rumah tangga yang kompak, rukun dan harmonis. Dalam menegakkan kebenaran dan perintah Allah, Ibrahim bersedia mengorbankan apa saja yang ada pada dirinya, walau harus mengorbankan jiwa anaknya. Kiranya inilah hikmah yang patut kita ambil dari ibadah haji ini, yaitu kerelaan berkoban harta maupun jiwa. Wallahu’alam. **

* Penulis, Dosen STAIN Pontianak yang sedang menyelesaikan program Doktor di UGM Yogyakarta.




No comments:

Post a Comment