Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, November 16, 2011

Kemiskinan dan Kerusakan Ekologis

Oleh : Imansyah, ST, M.Eng.

Kemiskinan dan  kerusakan ekologis adalah sesuatu yang  sangat sulit dipisahkan. Kerusakan ekologis menyebabkan kemiskinan, sebaliknya kemiskinan menyebabkan semakin tingginya kerusakan ekologis, sehingga faktor ekologis merupakan salah satu faktor utama penyebab kemiskinan di Indonesia. Menurut pemimpin spiritual India Mahatma Gandhi pernah mengingatkan, bumi menyediakan cukup kebutuhan seluruh umat manusia, tapi tak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan dan kerakusan seorang manusia.  Peringatan Mahatma Gandhi sangat relevan dengan situasi global, lebih-lebih saat ini. Kerakusan tidak hanya menciptakan kemiskinan bagi sesama manusia, tapi juga rusaknya keseimbangan alam. Keserakahan membuat alam dieksplorasi secara berlebihan, yang akan menimbulkan bencana. Alam hanya dilihat sebagai sumber financial semata, sedangkan sesungguhnya alam memiliki fungsi ekologis yang bernilai ekonomi tidak langsung yang mendukung nilai ekonomi secara langsung.  

Bencana dapat didefinisikan adalah suatu situasi dimana cara masyararakat untuk hidup secara normal telah gagal sebagai akibat dari peristiwa kemalangan luar biasa, baik karena peristiwa alam ataupun perbuatan manusia. Bencana tersebut menyebabkan menjadi bencana pembangunan  sebagai gabungan faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, yang diperburuk dengan perusakan sumber daya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial ekonomi. Dari beberapa sumber dan fakta lapangan, bahwa kerusakan ekologis menjadi salah satu faktor utama kemiskinan di Indonesia.

Di pesisir Jawa, sampai akhir tahun 2003, jumlah desa terkena banjir meningkat 3 kali lipat yaitu 2.823 desa dibandingkan tahun 1996-1999, yang juga merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut (dimana 80% industri di Pulau Jawa berada disepanjang pantai utara Jawa), kekeringan adalah bencana lain yang semakin kerap terjadi di Indonesia. Dampak kekeringan yang utama adalah menurunnya ketersediaan air, baik di waduk maupun badan sungai, yang terparah adalah pulau Jawa. Dampak lanjutannya adalah pada sektor air bersih, produksi pangan serta pasokan listrik. Kekeringan juga terkait dengan kebakaran hutan, karena cuaca kering memicu perluasan kebakaran hutan dan lahan serta penyebaran asap

Bencana tersebut bukan hanya pada korban jiwa dan benda, namun berdampak pula pada produksi pertanian, tercemarnya sumber air serta masalah sosial yang lebih luas seperti pengungsi dan migrasi penduduk. Walaupun kekerapan bencana meningkat secara signifikan beberapa tahun terakhir ini, pemerintah tidak melakukan kajian menyeluruh mengenai pola dan penyebab bencana tersebut, yang akan menyebabkan kemiskinan secara bertahap akan bertambah, sedangkan upaya pengentasan telah dilakukan, namun minim sekali melihat aspek ekologis, sehingga pengentasan kemiskinan cenderung dilakukan mengabaikan aspek ekologis, sehingga penyelesaian kemiskinan tidak komprehensif dan terpadu.

Jika tidak segera diambil langkah bersama secara cepat dan simultan, kehancuran akan semakin parah. Kemiskinan dan kehancuran ekologis akan terus merebak. Bencana kehancuran ekologis tidak lagi dalam hitungan ratusan atau puluhan tahun, tapi malah dalam hitungan satu generasi.
Masalah kerusakan lingkungan di Indonesia saat ini jauh  lebih rumit, dimana di era otonomi daerah, peraturan dan kebijakan belum sepenuh berpihak penuh pada ekologis dan menghentikan kerusakan  serta mengembalikan fungsi ekologis, karena peraturan dan kebijakan merupakan lanjutan dari kebijakan pemerintah sebelumnya yang mengeksploitasi SDA untuk kepentingan finansial semata-mata, yang menuntut agar daerah dapat lebih besar menikmati hasil eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang dapat memicu motivasi negatif untuk mengeksploitasi terus-menerus demi kepentingan jangka pendek. Bahkan saat ini kecenderungan terjadi eksploitasi SDA dengan berbagai alasan untuk mengeksploitasi hutan bahkan mengancam hutan konservasi untuk mendapatkan dan menggelembungkan PAD tanpa memperhatikan dampak dari kegiatan tersebut jangka panjang.

Hingga hari ini masih tampak jelas adanya konflik pengelolaan/penggunaan sumber daya alam, terlalu kuatnya ego sektoral, lemahnya koordinasi dan penegakan hukum, lemahnya kepekaan SDM, dan alasan klasik terbatasnya dana dalam mengelola lingkungan hidup. Dengan mengatasnamakan upaya untuk keluar dari krisis ekonomi ataupun investasi, aktivitas ekonomi yang memperkosa alam seakan memperoleh pembenaran. Upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup dikorbankan atau bahkan dijadikan tumbal untuk menutup kerugian ekonomi. Ditambah lagi fakta politik di Indonesia, untuk menjadi pimpinan daerah dan nasional bahkan anggota legislatif melalui pemilihan dengan biaya tinggi, tentunya peluang pimpinan dan anggota legislatif lebih cenderung berinvestasi pada kegiatan politik, yang sebelumnya berusaha untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan membayar mahal dan mendapat keuntungan setelah menjabat cenderung menjadi incaran bagi orang kaya menduduki jabatan politik.

Pembangunan yang mengabaikan nilai – nilai ekologi sesngguhnya merupakan menanam benih – benih bencana yang mengerikan. Ekologi diabaikan, padahal nilai ekologi lebih penting daripada perkembangan nilai ekonomi jangka pendek. Sehingga tidak mengherankan terganggunya keseimbangan ekosistem, langsung maupun tidak langsung seperti meningkatnya suhu udara di perkotaan, pencemaran udara (meningkatnya kadar karbon monoksida, ozon, karbondioksida, oksida nitrogen, belerang, dan debu), menurunnya air tanah dan permukaan tanah, banjir atau genangan, instrusi air laut, meningkatnya kandungan logam berat dalam air tanah, dan masih banyak lagi dampak lainnya yang ada ataupun yang belum terasa baik secara regional maupun global.

Sistim ekonomi kapitalis dalam permasalahan pembangunan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, akan menuju kepada permasalahan ekonomi dan sosial-budaya dalam jangka panjang. Hubungan manusia dengan lingkungan “sebagai penguasa alam” membuat alam tidak harmonis dan tak seimbang akan turut juga memicu krisis sosial-budaya, yang muncul diawali degradasi lingkungan di sekitar suatu obyek ekologi justru akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Yang melahirkan “opportunity cost” baik Perusahaan maupun masyarakat bagaimana memperoleh air bersih atau melakukan treatment untuk udara dan air yang tercemar, banjir, kekeringan, longsor, dan lain –lain, hal ini tentunya diikuti dengan terjadinya krisis sosial-budaya termasuk kesehatan masyarakat di sekitar obyek/perusahaan tersebut. Bahwa Sumber daya alam merupakan sumber dan tata kehidupan yang memberikan ecological benefit, economical benefit, dan social benefit. Yang merupakan tolok ukur pembangunan yang menjadi acuan bagi Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, dimana manusia menjadi bagian dari lingkungan yang akan saling mempengerahuhi tatanan sosial, budaya dan ekonomi, karena tanpa SDA manusia tidak akan bisa hidup di planet ini

Pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan yang madani tidaklah cukup mengandalkan pendekatan ilmu ekonomi konvensional semata. Kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi di negara berkembang, diakibatkan berbagai degradasi sumber daya alam serta lingkungan tidak bisa semata-mata didekati dari kebijakan ekonomi fiskal dan moneter. Misalnya penghitungan nilai-non pasar sebuah pohon, yang umumnya diukur nilai ekonomi kubikasi kayu dengan menebang dan menjual kayunya saja. Melalui perhitungan Penilaian Ekonomi Sumber Daya Alam (PESDA), pohon yang dibiarkan dianggap tak memiliki nilai ekonomis sama sekali. Padahal pohon hidup ini bila dikonversi/diuangkan dengan memperhitungkan nilai ekologi akan memiliki nilai ekonomis yang jauh lebih tinggi. Nilai non-market tersebut misalnya keteduhan, kesejukan, kesuburan tanah, tempat bersarang berbagai burung dan hewan serta keseimbangan dan kelestarian alam. Penempatan nilai ekologi dalam ekonomi yang sebenarnya juga sangat diperlukan dalam menghitung kerugian seperti akibat pencemaran lingkungan yang dilakukan suatu perusahaan, kerusakan hutan, kerusakan lahan, pantai, laut dan sebagainya. **




* Penulis, PNS Badan Lingkugan Hidup Kota Pontianak.

No comments:

Post a Comment