Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, November 15, 2011

Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI : Bagian Kedua dari Dua Tulisan

Oleh : Syarif Ibrahim Alqadrie

SELAMA lebih kurang 40 tahun sejak bangsa ini memilih Jalan Tengah, yang dirintis oleh Mayjen A.H. Nasution saat itu, jalan “kompromi” itu dimaksud untuk menjembatani persaingan ketat dalam politik praktis antara Legislatif/Parlemen dengan eksekutif/pemerintah. Namun, korporat militer ABRI memanfaatkan dan menggunakan ABRI untuk kepentingan politik dan ekonomi bagi penguasa dan korporatnya sendiri dengan mengenyamping kepentingan bangsa, negara dan rakyat dengan mengorbankan kepentingan yang  lebih besar lagi: kebenaran, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa secara keseluruhan.

Back to Basics dan Back to Barracks
Kebanggaan kita kepada ABRI dan militer Indonesia menjadi bertambah ketika rakyat progresif dan para akademisi kritis melancarkan kritisisme mulai pada awal tahun 1980-an mempertanyakan keabsahan Dwi Fungsi bagi kemungkinan lahirnya dan kelanggengan Negara Demokratis dan Masyarakat Madani. Atas tuntutan tersebut, corporate Militer dan ABRI menyambut baik dengan spontanitas koreksi dan tuntutan tersebut. Dengan serta merta para pimpinan tertinggi Militer dan para ideolognya menegaskan bahwa Militer ABRI akan mulai meninggalkan Dwi Fungsi dengan bersikap “kembali ke dasar-dasar perjuangan” (Back Basics).

     Namun, beberapa perwira tinggi muda yang kritis dari Angkatan Darat dan sejumlah ilmuwan dan akademisi sebagai kekuatan sosial menyadari bahwa kelangsungan hidup bangsa terhadap ancaman dari luar hanya mungkin dipertahankan melalui masing-masing militer professional sebagai kekuatan sosial HanKamNas dan keamanan terhadap ancaman dari dalam hanya dapat dijaga melalui keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan dalam masyarakat Madani. Mereka  menolak reformasi dalam tubuh Militer melalui proses Back to Basics. Perubahan reformatif melalui proses ini sangat tidak mendasar, hanya di kulit saja dan perubahan tidak esensial yang mengarah pada konsistensi doktrin perjuangan dan penyesuaian dengan peraturan yang ada di tubuh ABRI.  Namun, mereka lebih menginginkan reformasi melalui “Kembali ke prinsip paling pokok, mendasar dan paling esensial. ABRI harus mengarah pada kekuatan HanKam dan militer professional. Kalau anggota Militer berkehendak masuk ke dalam Eksekutif atau Legislatif, mereka seharusnya bebas tugas alias pensiun.
      Memasuki tahun 1998, atas dasar menuju masyarakat Madani (civil society) demi menciptakan militer professional bagi keselamatan bangsa dan Negara, pimpinan Militer secara ikhlas menerima langkah kedua dari proses reformasi yaitu Back to Barracks. Sekali lagi Militer Indonesia membuktikan bahwa para Jenderalnya bukan saja tidak memiliki tradisi kudeta seperti kebanyakan Militer di Amerika Latin dan Thailand, tetapi juga ABRI mengedepankan jalan kompromi bagi kemaslahatan rakyat, bangsa dan Negara.
      Persoalan pokok sekarang ialah bagaimana realisasi dan implementasi dari reformasi yang mulai tuntas itu di tubuh ABRI dengan melakukan Back to Barracks,  dan bagaimana pula kita mendukung sepenuhnya proses reformasi itu berjalan sepenuhnya? Pertama, ABRI sudah seharusnya konsisten dan konsekuensi dengan langkah mantap yang mereka pilih, yaitu kembali ke barak dengan betul-betul menjadi militer professional. Dengan demikian ABRI akan kembali berwibawa dan disegani baik di dalam maupun di luar negeri seperti sebelum 1968. Kedua, rakyat dan bangsa Indonesia secara keseluruhan, tidak terkecuali --dan ini yang terpenting—Eksekutif dan unsur lain dalam struktur politik supra dan infra dalam system politik Indonesia--  hendaknya mendorong dan mendukung tidak saja langkah reformasi ABRI melalui Back to Barracks dengan mulus dan mantap tetapi juga bersedia memberi kesempatan seluas-luasnya, mengawasi dan mengawal realisasi dan implementasi proses reformasi ABRI Back to Barracks secara konsisten dan konsekuen.
      Dorongan dan dukungan terhadap proses reformasi ini diarahkan pula pada usaha menciptakan suasana konstruktif di tubuh ABRI melalui upaya meningkatkan kesejahteraan yang sangat memadai dan rasa “aman” dalam menghadapi masa pensiun. Upaya ini hendaknya dikaitkan dengan kompensasi yang  selayaknya diberikan oleh para petinggi dan anggota ABRI secara keseluruhan kepada bangsa dan Negara ini dengan benar-benar memenuhi kewajiban mereka dengan betul-betul kembali ke barak, tetap tinggal di barak dan tidak berkehendak ikut mengambil tugas-tugas di bidang dan sektor-sektor yang bukan menjadi kewajiban mereka di bidang HanKam. Sehingga mereka tidak menimbulkan hambatan, masalah dan beban bagi dan rakyat  dan bangsa ini dalam birokrasi dan pengurusan di berbagai sektor pelayanan publik seperti terjadi sebelumnya. Saya percaya sepenuhnya bahwa kepercayaan rakyat kepada ABRI akan pulih kembali dan meningkat berlipat ganda, jika ABRI Back to Barracks sepenuh dan menjadi Militer professional.


Paradigma Non-Positivisme
      Paradigma non-positivisme atau normativisme atau intropektivisme seperti dikemukan diharapkan dapat mengurangi ketidakadilan dan ketidakpedulian Pusat yang  mempertontonkan dan dengan mentolerir kemiskinan dan kesenjangan yang sangat menyengat yang dialami oleh sebagian terbesar rakyat Indonesia, terutama mereka yang berada di luar Jawa, lebih khusus lagi di kawasan perbatasan. Kondisi seperti ini dapat menjadi bukti nyata akan ketidakpekaan dan ketidakadilan sehingga terjadi kemiskinan fatal dan kesenjangan yang menyakitkan di perbatasan Kalbar.
      Paradigma ini sekaligus menangkal isu “pencaplokan” --yang sebenarnya tidak lain untuk mengalihkan isu kemiskinan perbatasan - dijadikan komoditas politik bagi segelintir orang dalam memenangkan kampanye politik mereka dengan mendiskreditkan secara tidak langsung ABRI sebagai tidak berbuat apapun di kawasan perbatasan. Untungkah ABRI dengan sigap menjelaskan bahwa hal paling utama dan pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi adalah pembangunan perbatasan dan menciptakan keadilan, dan ABRI berdiri tegak di belakangnya untuk mengamankan kawasan perbatasan dari caplokan Negara asing walau hanya sejengkal pun.
      Ini berarti ABRI tidak saja menganut paradigma yang benar dalam melihat NKRI, tetapi ia juga telah menyadari dan bersikap sangat obyektif bahwa prinsip NKRI seharusnya diletakkan di belakang atau setelah kebijakan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan yang adil. Bukan sebaliknya NKRI ditempatkan di muka atau sebelum pemerintah melaksanakan kebijakan dan berbuat maksimal bagi rakyat di berbagai daerah, sebagaimana itu pernah terjadi selama 30 tahun pada mana stabilitas diletakkan di depan dari kebijakan yang tidak berfihak terhadap daerah-daerah dan rakyat mereka. Dengan paradigma yang tidak melihat masalah sosial secara melingkar (untautological explanation paradigm), NKRI akhirnya akan tercipta dengan sendirinya, karena rakyat di daerah-daerah merasakan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan. Setelah itu, kita akan berbicara pasti bahwa NKRI akan menjadi final, tetapi bukan harus final. Semoga. **

* Penulis, dosen & Peneliti Senior Fisipol Untan, dan Alumni KSA VII/1998 Lemhanas, 1998)

No comments:

Post a Comment