Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, November 6, 2011

Kepiting Jepit Menjepit, Berang-Berang yang Punya

Oleh : Andika Pasti

Kepiting adalah binatang yang hidup di sungai atau danau dengan ciri khasnya memiliki dua buah jepitan di kiri kanan badannya. Kedua jepitan itu dipergunakan untuk menangkap mangsanya lalu dimakan. Sementara berang-berang adalah binatang yang juga hidup dan tinggal di sekitar sungai atau danau. Binatang ini biasanya selalu bergerombol dengan makanan kesukaannya yakni ikan dan tentu saja kepiting.

Penulis sengaja mengambil dari kiasan “Kepiting Jepit Menjepit, Berang-Berang yang Punya” ini demi kampung-kampung nun jauh di pedalaman, dengan maksud untuk menjelaskan, betapa ketika masyarakat kecil yang hidupnya selalu berkonflik, maka akan dengan mudah dikalahkan oleh para pemilik modal atau para pihak yang memiliki kepentingan dalam menggalakkan “pembangunan”. Masyarakat kecil di kampung kemudian hanya akan menanggung bencana dan duka lara, sementara para pihak yang “berkepentingan” itu semakin kaya raya.

Mengawali kiasan“Kepiting Jepit Menjepit, Berang-Berang yang Punya” itu, penulis mengajak kita semua untuk mengenang kembali kondisi di kampung halaman, setidaknya yang hingga tahun 1980-anyang masih adem ayem. Dimana lingkungan kampungnya masih terawat dengan baik, sungai-sungai sekitar kampung tampak bening. Ketika bicara soal kehidupan sosial, komunitas masyarakat di beberapa kampung selalu didasarkan pada sebuah sistem dimana terdapat pengaturan-pengaturan oleh hukum adat dan tradisi. Keberadaan aturan dan norma tersebut berpengaruh besar dalam interaksi sosial yang terjadi, termasuk dalam hal penataan pergaulan sehari-hari di tengah masyarakat serta  penjagaan sekaligus pemanfaatan lingkungan yang ada di sekitarnya. Dulu, masyarakat kampung hidup secara mandiri dan independen di wilayah adatnya dengan sistem politik, ekonomi, dan budaya khasnya. Dengan kata lain mereka berdaulat atas wilayah adat mereka, bermartabat secara budaya, berkesejahteraan secara ekonomi. Masyarakat di kampung memandang alam dan dirinya sendiri secara utuh, termasuk didalamnya pelestarian, pemanfaatan yang tidak mengakibatkan hal-hal yang merugikan. 

Ketika bicara soal budaya, sungguh sulit dilukis dengan kata-kata pada waktu itu. Saat mengadakan ritual-ritual adat misalnya, semua warga tumpah ruah mendatangi lokasi tempat pelaksanaan ritual. Segala bahan keperluan ritualnya adalah hasil dari sumbangan orang kampung. Dalam perkara adat, kepala adat sendiri yang menjadi moderator sekaligus penjatuhan sanksi adat sebagai proses penutup perkara. Semangat keterbukaan dan tidak adanya pembatasan untuk mengeluarkan pendapat menjadi nilai lebih  dalam rangkaian pelaksanaan perkara adat ini. Kebanyakan kasus yang telah diputuskan oleh kepala adat akan diterima oleh semua pihak yang berperkara. Semuanya diputuskan dengan mengedepankan aspek keadilan, dan itu diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa.

***
Dalam perkembangannya, masalah yang dihadapi masyarakat di kampung-kampung kini mulai bermunculan. Berbagai sistem tradisi masyarakat adat yang mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat mulai mengalami pergeseran karena tindakan-tindakan pemaksaan nilai-nilai, penaklukan, penjajahan dan eksploitasi atas diri dan sistem adatnya. Akibatnya, dalam melaksanakan ritual adat pun, sepertinya di beberapa kampung tinggal seremonial belaka. Awalnya warga kampung bekerja secara gotong royong dalam mengumpulkan bahan-bahan ritual itu, namun dalam perkembangannya hanya Ketua RT/RW, Dukun Kampung, dan Kepala Adat saja yang banyak terlibat.

Dampak lain dari menurunnya nilai-nilai kebersamaan itu, kekompakan masyarakat yang dulunya begitu kuat kini memudar. Benih-benih konflik pun mulai menggejala. Yang dulunya kontra kini menjadi pro, yang sebelumnya berkoar-koar akan menjaga hutan tanah air, kini malah menggadaikannya. Dulunya masuk dalam kelompok penandatanganan surat penolakan, kini malah menjadi musuh terhadap keluarga dan masyarakat di komunitasnya. Muncul kemudian, semangat yang lebih mengedepankan nilai-nilai individu daripada semangat kebersamaan, dan mengatasnamakan kelompok lain yang lemah hanya untuk menyukseskan aktivitas para pihak pro modal itu. Pengakuan ini tanah saya, yang itu tanah kamu, yang di sana tanah mereka, dan ini masalah saya bukan masalah kalian, semakin lantang diteriakkan.

Tanpa disadari, proses pembentukan desa-desa baru itu (meski tidak semua) pun mulai menuai hasil. Dalam berbagai aktivitas, ketika masyarakatnya ingin ke hulu, namun pengurus desanya malah ke hilir. Harapan agar para pemimpin mengedepankan dan membela hak masyarakat, sepertinya baru sebatas angan-angan. Hanya demi “pembangunan”, para tokoh desa itu (meski tidak semua) lebih berpihak pada pro modal daripada pro rakyat. 

Proses perkara adat pun mulai mengalami beberapa perubahan. Ketidaktegasan dari kepala adat itu sendiri serta pengaruh-pengaruh dari pihak luar menyebabkan perkara penuh keterbukaan dan semangat kebersamaan ini mengalami kemunduran. Bahkan mulai muncul, proses penyelesaian masalah internal kampung pun justru harus diselesaikan lewat kantor kepolisian dengan dalih memberikan efek jera.  Kondisi tersebut di atas menjadi semakin lengkap manakala kini banyak generasi penerus yang mulai cuek untuk mengenal dan menyayangi siapa, apa, bagaimana, dan mengapa perihal jati diri termasuklah hal-hal yang berkenaan dengan kebudayaannya. Mereka kini semakin larut oleh dentuman suara musik organ tunggal dan godaan-godaan kemajuan lainnya. Sehingga dikhawatirkan, keberadaan masyarakat di kampung-kampung yang dulunya begitu harmonis, dan tinggi peradabannya, yang hidup dalam dinamika akan mengalami degradasi yang cukup signifikan bahkan terancam punah eksistensinya.

***
Orang bilang hidup ini adalah pilihan. Apakah mau memilih yang positif atau negatif, cepat kaya atau lama kaya, berkebun karet atau tidak, lingkungan rusak atau baik. Apakah tetap memilih hutan berpenghuni, air ada ikan dan udangnya, memiliki rumah dan jurung padi, berladang, duduk di adat diam di aturan, semua itu dikembalikan pada masing-masing orang.

Hanya kita diingatkan, ketika kita memilih hidup penuh dengan kesederhanaan, akrab dengan alam, mengedepankan semangat kebersamaan, melestarikan adat dan budaya, pasti akan selalu digoda kalangan investor dan para pejabat pemerintahan. Kalangan yang menggoda tersebut selalu mengatakan, kalau mau berubah ikutlah kebijakan pemerintah (pembangunan), kalau mau maju dan mendapat pekerjaan terimalah sawit atau tambang.
Namun kita lupa, ketika kita memilih hidup dengan bergelimang uang, serba berkelimpahan (katanya karena sawit dan tambang) itu, pasti selalu mengorbankan semangat kebersamaan, menghancurkan beragam kekayaan sumber daya alam, dan kerusakan lingkungan. Dan potensi ke arah kehancuran itu pun semakin mungkin terjadi, manakala pemahaman soal sawit, tambang sendiri yang masih kurang.  Hal lain, ketika kita memilih hidup jalur yang seperti ini (menggadaikan hutan/tanah/air), maka siap-siaplah untuk disumpah seranahi oleh anak/cucu/cicit/buyut, karena kelak merekalah yang akan memanen bencana. Mereka akan mendiami tanah-tanah gersang, hidup di sekitar danau-danau raksasa hasil galian, merasakan sungai-sungai yang tercemar, mengalami konflik sosial (bisa jadi akan selalu berdemo menuntut haknya ke perusahaan), menderita beragam penyakit menular (karena munculnya tempat-tempat hiburan), pemborosan uang karena serba membeli (tidak bisa berladang sehingga harus membeli beras), kehilangan hak yang turun-temurun dirampas oleh para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, hanya gara-gara kita yang hidup sekarang bertindak serakah.

Nah, kalau sudah begini akhirnya siapa yang kuat dia yang dapat, pihak yang gagah akan mengalahkan yang lemah, pihak-pihak berkepentingan yang akan untung, sementara masyarakat kampungmendapat buntung. Pihak-pihak berkepentingan itu menjadi kaya, masyarakat kampung merana dan menanggung bencana. Kalaupun ada masyarakat kampungyang kaya, paling hanya segelintir orang. Sementara masyarakat kampung kebanyakan tetap akan menjadi penonton, selalu berkonflik di tanahnya sendiri, disaksikan oleh para pihak yang memang menginginkannya. Akankah kampung halaman kita mau hidup seperti ini? Mari kita belajar pada kiasan “Kepiting Jepit Menjepit, Berang-Berang yang Punya”ini. **

No comments:

Post a Comment