Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, November 6, 2011

Relevansi Pengembangan ADR di Indonesia

Oleh : Dr. HM Juliadi Razali, SH., S.Ip., MH

DATA pada Mahkamah Agung (MA) tahun 2009 sekurangnya menggambarkan  belum terpenuhinya rasio penyelesaian perkara sebagaimana diharapkan. Artinya terdapat kenyataan bahwa telah terjadi penumpukan penyelesaian perkara, atau dengan kata lain belum sesuai dengan target yang diharapkan. Fakta demikian juga paralel dengan makna belum terpenuhinya harapan yang tertera di dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, agar proses peradilan dapat dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Belum terealisasikannya harapan terciptanya proses peradilan dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan, telah memunculkan sejumlah perkiraan adanya kompleksitas persoalan yang tidak sederhana. Demikian panjangnya prosedur yang harus dilalui oleh para pencari keadilan, yaitu tahapan banding, tahapan kasasi, dan tahapan peninjauan kembali merupakan persoalan tersendiri disamping adanya faktor kesengajaan untuk “mengulur-ulur” waktu yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berperkara.

Sebagai catatan tambahan yang perlu juga diketahui adalah bahwa mayoritas perkara atau sekitar 80% perkara yang masuk MA adalah perkara perdata. Ini membuktikan bahwa penyelesaian sengketa keperdataan di Indonesia sungguh memerlukan penanganan secara lebih baik. Demikian tingginya dominasi perkara perdata yang masuk ke MA, juga memerlukan perhatian tersendiri atas komposisi jumlah hakim yang terdapat di MA. Menumpuknya perkara di MA sebagai konsekuensi pemberlakuan prosedur pencarian keadilan di Indonesia yang belum efisien dan efektif, sudah selayaknya dipikirkan secara sungguh oleh seluruh pemangku kepentingan. Sungguh ironis dan terasa janggal apa yang sering terjadi Indonesia, dimana perkara sangat sepele seperti persoalan kesalahan parkir mobil misalnya, ternyata dimungkinkan atau diberi peluang besar berproses sampai tingkat kasasi. Oleh karenanya perlu dipikirkan secara rasional oleh otoritas pembuat undang-undang, pentingnya memformulasikan batasan-batasan perkara yang diperkenankan berproses sampai tingkat kasasi.

Sebenarnya perlunya pembatasan perkara yang dapat sampai tingkat kasasi sudah disadari dan dicoba dicarikan pemecahannya. Persoalan tersebut pernah dimajukan kepada pihak berwenang untuk menjadi ketentuan perundang-undangan sehingga memiliki kepastian hukum yang kuat. Namun sekali lagi keanehan terjadi di Indonesia, yaitu  berkaitan dengan alasan ditolaknya penerbitan perundang-undangan pembatasan perkara tingkat kasasi. Kegagalan upaya memformulasikan pembatasan perkara tingkat kasasi, dikarenakan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) berpandangan, bahwa dengan adanya pembatasan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).  Rasionalitas penolakan pembatasan perkara  tingkat kasasi di Indonesia oleh DPR-RI menjadi semakin sukar dipahami, mengingat beberapa negara pejuang HAM sejak lama seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Denmark secara tegas telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang pembatasan perkara tingkat kasasi.

Tampaknya kesadaran hukum kebanyakan komponen masyarakat Indonesia, tanpa harus menuding salah satu pihak sebagai pihak yang harus bertanggung-jawab, dapat dikatakan masih dalam tataran yang cenderung stagnan atau tidak berkembang. Dalam kesempatan ini patut direnungkan pernyataan dari seorang hakim senior yang menyatakan, bahwa sekarang ini di Indonesia diperlukan sosok hakim berwawasan luas dan mampu berpikir progresif, atau secara lebih eksplisit disebutkan bahwa pada saat sekarang ini diperlukan hakim-hakim yang mampu menciptakan atau menemukan hukum demi keadilan, yang tidak semata-mata mendasarkan diri pada barisan kata-kata mati yang terdapat di dalam kitab undang-undang. Hakim berdasarkan tantangan kekinian tidak dapat lagi memandang hukum hanya sebagai kumpulan asas dan kaidah. Hakim dituntut selain memiliki integritas moral yang tinggi, juga wawasan, keberanian, dan kapasitas inteklektual yang mumpuni.

Terlepas dari terus digulirkannya upaya penemuan hukum oleh hakim secara litigasi di pengadilan dan juga upaya memunculkan regulasi pembatasan perkara di MA, maka salah satu solusi agar penyelesaian perkara dapat berjalan sederhana, cepat dan biaya ringan adalah melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau non litigasi. Prosedur penyelesaian sengketa non litigasi yang lebih dikenal sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution atau ADR), tentu saja tidak dimaksudkan sebagai pengganti fungsi pengadilan yang selama ini sudah berjalan sebagai bagian dari pilar negara demokrasi. Pemberlakuan ADR harus dipandang sebagai pilihan pelengkap, sehingga suatu perkara dapat diselesaikan di Pengadilan dan dapat pula diselesaikan di luar Pengadilan.

Mengacu pada pengalaman beberapa negara di Eropa, Amerika Serikat, maupun Jepang sebagai negara Asia, ternyata mekanisme ADR memiliki kewibawaan tinggi dan menjadi pilihan yang dapat dipercaya dalam proses penyelesaian sengketa. Kenyataan ini sekaligus membuktikan bahwa pemikiran tentang ADR sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Dengan demikian pula sebenarnya ADR sebagai penawaran alternatif penyelesaian sengketa bukan merupakan konsep yang benar-benar baru. Dapat dibayangkan betapa lamanya usia pemikiran ADR, yang dapat dikategorikan sebagai ADR litigasi sebagaimana terdapat di dalam BW maupun HIR,  karena kedua konsep hukum warisan Belanda ini, adalah juga bersumber  pada hukum Perancis yang memiliki tradisi pemikiran hukum Romawi kuno.

Embrio ADR  sebagai warisan hasil pemikiran manusia, selain telah berusia lama juga dapat dikatakan memiliki universalitas yang dapat dipertanggungjawabkan karena terbukti dapat berlaku pada banyak negara hingga kini. Meskipun dengan varian tertentu, ADR pada saat sekarang ini banyak diterapkan pada banyak negara dalam proses penyelesaian sengketa hukum. ADR yang di dalamnya antara lain terdapat mediasi, pada beberapa negara berhasil diterapkan secara baik tanpa harus dipertentangkan dengan sistem litigasi. Berpijak pada fakta semakin menumpuknya perkara perdata di MA sebagai pengejawantahan  proses penyelesaian sengketa berjalan tidak sederhana, tidak cepat dan tidak berbiaya ringan, maka MA berinisiatif mengembangkan proses penyelesaian perkara perdata melalui mekanisme ADR. Mengingat berarnya manfaat ADR, sudah selayaknya pengembangan ADR cepat direspon secara sungguh.

Di dalam perdebatan tentang penyelesaian sengketa di luar pengadilan, perlu juga diperhatikan pernyataan seorang guru besar hukum Achmad Ali, yang mengatakan bahwa dunia penegakan hukum sebenarnya dapat dilihat dari dua kutub. Kutub Barat mewakili pendekatan formal legalistik, dan sebaliknya kutub timur yang mewakili pendekatan kultural dan moral terutama diwakili oleh Jepang. Selanjutnya dikatakan oleh Achmad Ali, kita perlu memperhatikan pernyataan Donald Black, seorang pakar hukum yang pertama kali mencanangkan konsep delegalization.

Konsep ini muncul setelah menyaksikan fenomena the limits of law di dalam realitas kehidupan hukum pada dunia modern. Konsep delegalization secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai "enyahlah legalisasi". Dimaksud dengan mengurangi formalisme dan legalistik hukum adalah karena formalisme dan legalistik selama ini cenderung menjadi penghambat terwujudnya suatu keadilan secara optimal. Konsep delegalization sebenarnya secara terbatas telah diterapkan di Indonesia, terutama berkaitan dengan bidang hukum privat, dan lebih khusus lagi di dalam hukum bisnis yaitu dalam bentuk ADR. Konsep ADR yang dikembangkan di Indonesia, pada dasarnya mengusung proses penyelesaian sengketa secara non litigasi, yaitu proses penyelesaian tanpa melibatkan peran serta Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan. Pada kesempatan lain Achmad Ali juga mengatakan, bahwa seandainya  “kultur malu” masih dianut oleh bangsa Indonesia, maka niscaya tidak akan ada seorang pejabat tinggi yang sengaja melakukan sumpah palsu di hadapan Pengadilan demi mempertahankan jabatan misalnya.

Pernyataan Achmad Ali tersebut patut dicatat sebagai stimulasi positif untuk mempelajari ADR secara lebih komprehensif. Sebab di dalam ADR ditengarai kultur malu, artinya malu kalau tidak mengatakan yang sesungguhnya, malu kalau bersikap tidak jujur, atau malu kalau perkaranya terekspos keluar, merupakan suatu unsur penting yang mungkin kurang diperhatikan dalam sistem litigasi di pengadilan. Betapa penting dan relevannya pengembangan ADR termasuk dan terutama penggunaan mediasi, satu dan lain hal dikarenakan peradilan Indonesia memiliki cita-cita luhur, yaitu terselenggaranya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Pencari keadilan berhak mendapatkan penyelesaian secara sederhana yang artinya tidak berbelit-belit, secara cepat yang artinya tidak memakan waktu lama dan tidak jelas, dan secara biaya ringan yang artinya terjangkau berdasarkan pertimbangan ekonomi. ADR tampaknya merupakan solusi berharga yang patut dikembangkan. **
* Penulis, Alumnus Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.



No comments:

Post a Comment