Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, November 6, 2011

WASANTRA, TANNAS & Perbatasan Kalbar - Sarawak

Oleh : Syarif Ibrahim Alqadrie

Wawasan Nusantara (WASANTRA) dan Ketahanan Nasional (TANNAS) adalah doktrin, konsepsi nasional, dan paradigma dalam ilmu sosial. Kedua entitas di atas saling tergantung dan merupakan dasar berpijak bagi keberadaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian, mereka  merupakan dasar utama dan referensi bagi pemerintah, para pemimpin, elit, dan tokoh masyarakat dalam befikir, bersikap, memahami, berperilaku dan bertindak sehari-hari untuk memperkuat kesatuan bangsa dan NKRI melalui kemakmuran dan kesejahteraan. Artikel ini adalah makalah tanggapan dalam diskusi kelompok terfokus bertemakan ‘Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional Dalam Menjaga Keutuhan NKRI,’ diselenggarakan oleh MPR RI bekerjasama dengan Untan di Pontianak 27/9 - 2011. Ia juga mempertanyakan peranan WASANTRA dan TANNAS dalam menciptakan kawasan perbatasan Kalbar – Sarawak sebagai halaman depan atau belakang. 

WASANTRA dan Perubahan Paradigma
WASANTARA adalah perspektif bangsa Indonesia yang memandang  seluruh unsur atau elemen dan bagian-bagian negara Indonesia, sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam NKRI. Esensi WASANTRA merupakan Pola Dasar Pembangunan Nasional (PDPN) dan berada dalam GBHN sejak tahun 1973 hingga 1993. Namun, sosialisasi konsepsinya belum selesai (Lemhannas,1997). Ini bermakna bukan saja pengembangannya masih harus dijalankan, tetapi juga strategi dan pelaksanaannya sudah seharusnya mengalami perubahan. Setelah menjalani proses waktu cukup panjang yaitu sekitar 38 tahun, WASANTRA sudah sepantasnya ditafsirkan kembali untuk melihat efektivitasnya dalam menciptakan TANNAS dan memperkuat NKRI.

Penafsiran Kembali
Dua hal perlu diperhatikan dalam melakukan penafsiran yang memungkinkan terjadinya perubahan paradigma WASANTRA: (1) WASANTRA hanya menitikberatkan pada tuntuan (claim) ke luar bagi pengakuan keutuhan wilayah NKRI. (2)  WASANTRA  yang memandang NKRI merupakan hal utama sehingga ia harus ditempatkan di depan sebagai faktor penyebab utama (prima causa), dan bukan di belakang sebagai konsekuensi logis dari kebijakan populis.

Pada hal pertama, sekarang ini paradigma WASANTRA seharusnya tidak lagi menekankan pada pengakuan dari luar saja bagi keutuhan wilayah NKRI yang terpisah-pisah secara fisik geografis. Keutuhan wilayah NKRI seharusnya lebih ditentukan oleh faktor dalam yaitu pengakuan dan partisipasi seluruh rakyat Indonesia terutama yang berada di kawasan perbatasan dengan negara lain. Pembangunan merata, kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan tidak adanya kesenjangan menyakitkan antar daerah dan antara kawasan sendiri dengan kawasan bangsa lain di seberang sana, akan dengan sendirinya meningkatkan partisipasi, loyalitas dan nasionalisme rakyat dalam memperkokoh NKRI. Kalau begitu, paradigma WASANTRA yang lebih menekankan pada faktor luar: klaim dan pengakuan luar terhadap keutuhan wilayah NKRI, seharusnya diikuti pula oleh kebijakan pemerintah pusat yang memperhatikan kepentingan rakyat yang berada di kawasan perbatasan terpencil yang merasa “belum” merdeka.

Pada hal kedua, paradigma WASANTRA yang menekankan pada cara pandang NKRI sebagai faktor yang ditempatkan di depan dan menjadi final, tampaknya tidak tepat lagi sebagai paradigma manusiawi. Dalam negara demokrasi, NKRI yang kokoh, seharusnya merupakan konsekuensi logis dari kebijakan yang mampu meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan di kawasan perbatasan. Predikat “final” dalam setiap fenomena sosial pada dasarnya diperkuat oleh paradigma fakta sosial  dari aliran positivisme. Keberlangsungannya seharusnya diperkuat oleh paradigma konstruksi sosial, bukan oleh fakta sosial: pada kepentingan rakyat banyak sebagai sumber utama kedaulatan. Keutuhan NKRI akhirnya akan menjadi final dan dipertahankan oleh rakyatnya sendiri kalau mereka diperlakukan dengan adil, makmur, sejahtera, dan marwahnya sebagai bangsa tidak terinjak oleh keterhinaan dan kesenjangan teramat parah antara mereka dengan kawasan perbatasan di seberangnya.   

TANNAS dan Pendekatan Sosial
Konsepsi TANNAS timbul sejak 1960-an dan dilahirkan dari pemikiran SESKOAD, dan sejak 1965 konsepsi ini dikembangkan oleh LEMHANNAS. TANNAS merupakan upaya konseptual yang mengandung dua unsur pokok yaitu kemampuan dan kekuatan untuk: (1) mempertahankan kelangsungan hidup, identitas dan integritas bangsa dan negara; dan (2) mengembangkan kehidupan negara dan bangsa dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional (Soedarsono, 1997:23-43). Kokohnya TANNAS sangat dipengaruhi oleh cara pandang konsepsi WASANTRA terhadap TANNAS itu sendiri. Karena kondisi dunia saat konsepsi TANNAS dicetuskan 50 tahun lalu, telah banyak berubah, paradigma yang melandasinya juga perlu disesuaikan dengan kondisi riil masyarakat. Cara pandang konsepsi TANNAS dalam memandang keuletan dan ketangguhan bangsa melalui keberhasilan dalam mengatasi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) dari dalam dan dari luar tampaknya perlu ditafsirkan dan disesuaikan kembali dalam tataran baik konsepsi maupun implementasi.

Paling kurang ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan dalam menafsirkan kembali paradigma TANNAS dalam  mempertahankan kelangsungan hidup, identitas, integritas kehidupan bangsa dan negara, Hal tersebut adalah sbb.:  (1) dalam memandang dan memperlakukan ATHG; (2) dalam pendekatan dan asas kesejahteraan dan keamanan. 
Dalam hal pertama, ATHG di kawasan perbatasan tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi riil sekarang ini. Kegiatan bisnis illegal yang dilakukan oleh masyarakat kecil setempat dengan menggunakan Pas lintas batas yang dimanfaatkan para cukong, seharusnya tidak lagi dianggap sebagai hambatan dalam bisnis legal dan gangguan dalam perekonomian negara. Penjualan hasil-hasil pertanian, perkebunan, hasil hutan dan kerajinan khas setempat oleh penduduk setempat, serta pembelian barang-barang kebutuhan primer dan skunder dari kawasan seberang perbatasan, tidak dapat dianggap sebagai  perbuatan yang tidak setia pada NKRI. Anak-anak dalam usia sekolah dari penduduk setempat yang bermukim di sepanjang perbatasan sekitar 800 km, berbondong-bondong memanfaatkan pendidikan gratis dan bermutu di sekolah-sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di kawasan seberang perbatasan. Ini hendaknya disikapi secara arif dan bijaksana dan tidak lagi dianggap sebagai anti pemerintah dan musuh bangsa. Sebagian penduduk dewasa setempat di sepanjang perbatasan yang bekerja di berbagai perusahaan dan perkebunan di negara Jiran, menjadi anggota Asjkar Wataniah dan menyeberang menjadi warganegara Negara Bagian Sarawak, seharusnya tidak dituduh sebagai tidak memiliki nasionalisme dan anti Pancasila. Percobaan pengibaran bendera negara tetangga hendaknya dipandang bukan lagi sebagai ancaman terhadap kewibawaan dan membahayakan NKRI. Semuanya itu merupakan reaksi dari keputusasaan dari WNI yang menderita karena miskin dan malu.

Kawasan Perbatasan: Ancaman NKRI?
Sebagai bangsa yang sedang mengalami reformasi, telah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dan disegani dengan Pancasila-nya, kita sebaiknya menjadi lebih arif dan bijaksana dalam memahami kondisi kawasan perbatasan sekarang ini.  Karena itu, kita seharusnya tidak memandang kondisi di kawasan tersebut sebagai ancaman, halangan dan gangguan (AHG) terhadap NKRI, sehingga perlu pemusatan pasukan di sepanjang perbatasan. Namun, sebaliknya, kondisi buram itu hendaknya dianggap sebagai tantangan (T) bagi seluruh aparatur negara untuk memperbaiki dan memerangi kemiskinan di kawasan tersebut. Itulah ancaman dan musuh kita bersama. Dengan begitu, kita akan meningkatkan martabat kemanusiaan di kawasan itu, dan pemerintah kita yang demokratis dan Pancasilais tidak lagi dianggap sebagai pelanggar HAM terbesar terhadap rakyatnya sendiri. Kebijakan untuk mengatasi tantangan tersebut dengan sendirinya akan memperkuat TANNAS dan melindungi NKRI.

Dalam pendekatan TANNAS kedua, kesejahteraan dan keamanan  seharusnya berjalan seimbang. Kesejahteraan sosial ekonomi seharusnya menjadi prioritas utama, dan keseimbangan moral dan mental spiritual dengan fisik material dan jasmani hendaknya diperhatikan. Kesenjangan dalam bidang dan sektor sosial seperti rendahnya standar pendidikan, kepastian dan penerapan hukum yang amburadul; ekonomi, seperti lapangan kerja yang jalan di tempat; prasarana seperti jalan vertikal ke pusat perbatasan dan jalan horizontal antar pemukiman yang sangat terbatas; sarana transportasi dan komunikasi antara kelompok dan antar negara, serta jaringan TV dan telepon celuler yang sangat terbatas sehingga masyarakat hanya dapat menonton TV dan berkomunikasi dengan jaringan HP Malaysia; kesemuanya merupakan halangan dan tantangan (HT) bagi aparatur negara dalam menerapkan keadilan, dan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di sepanjang garis perbatasan.

Pendekatan TANNAS hendaknya dipahami dalam dua perspektif: keamanan aktif dan keamanan positif atau rasa aman. Keamanan aktif berkaitan dengan bebas dari gangguan berbagai kriminalitas, dan kejahatan lainnya, bukan bebas ketakutan dari serangan militer musuh. Keamanan positif atau rasa aman berkaitan dengan bebas dari kelaparan, penyakit, kecelakaan dan kekhawatiran terhadap biaya hidup di masa depan dan pendidikan anak-anak. Semua hal tersebut adalah tantangan. Kemampuan atau ketidakmampuan pemerintah mengatasi tantangan berkaitan dengan keamanan aktif dan positif cenderung berpengaruh terhadap TANNAS dan intergritas NKRI.(Penulis, Dosen FISIPOL Untan dan Alumni Lemhannas KSA VII 1998)

No comments:

Post a Comment