Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, November 6, 2011

Memaklumi Perbedaan Lebaran

Oleh : Rasmi Sattar

Perbedaan melaksanakan lebaran Idul Fitri di negeri kita memang sudah sering terjadi. Perbedaan tersebut belum bisa diatasi. Penyebabnya karena kelompok yang berbeda ini memang masing-masing memiliki dasar dalam menentukan hari lebaran. Muhammadiyah berdasarkan hisab (perhitungan) wujudul hilal, artinya keberadaan hilal dianggap sudah ada walau hanya beberapa saat di ufuk, maka ditetapkanlah sebagai satu Syawal. Sementara Pemerintah dan umat Islam lain berdasarkan hisab dan rukyat, artinya perhitungan dan penglihatan bulan.
Tentu saja adanya perbedaan yang terjadi seperti lebaran Idul Fitri yang lalu, dimana ada yang lebaran hari Selasa 30 Agustus , dan hari Rabu 31 Agustus 2011 menimbulkan kebingungan dan kepanikan di kalangan umat. Bahkan ada yang menyesalkan sikap Pemerintah agak lambat memberi keputusan, karena dikaitkan kegalauannya dengan persiapan lebaran dalam penyiapan makanan seperti paklau dan ketupat serta daging gulai sudah telanjur dimasak. Sementara itu ada pula yang sudah menyiapkan beberapa macam kue di ruang tamu, seperti lapis legit dan lapis belacan.

Namun tidak sedikit umat yang dengan sabar menunggu keputusan Pemerintah, dengan antisipasi, jika lebaran hari Selasa, makanan disiapkan apa adanya. Jika lebaran hari Rabu juga tidak apa-apa, makanan tentu lebih memadai. Kelompok yang menunggu keputusan Pemerintah ini jauh hari sebelumnya sudah memaklumi kemungkinan terjadi perbedaan lebaran. Sedangkan yang hakkul yakin lebaran pada hari Selasa memang sudah menyiapkan makanan, walaupun belum open house secara terbuka. Selain itu ada juga yang menyikapi perbedaan ini misalnya lebarannya hari Selasa, tapi shalat Idul Fitri-nya hari Rabu.

Terjadinya perbedaan ini sebenarnya harus dimaklumi oleh umat. Karena seperti yang diuaraikan diatas, bahwa selama belum ada persepsi yang sama antara kelompok yang berbeda tentang penentuan awal Syawal, maka selama itu pula perbedaan lebaran akan sering berulang. Kita harus memaklumi bahwa  Muhammadiyah yang berlebaran 30 Agustus adalah  berdasarkan wujudul hilal yang dilandasi dengan hisab. Walaupun wujudul hilal ini hanya bisa terlihat di Indonesia bahagian Barat seperti di Pelabuhan Ratu (Banten) pada tanggal 29 Ramadhan 1432 H posisi hilal 1,8 derajat,  sementara di Indonesia bahagian Tengah di  Sulewesi  0,1 derajat, serta Indonesia bahagian Timur seperti Maluku dan Papua wujudul hilal tidak mungkin terjadi, tapi Muhammadiyah tetap menganggap apabila salah satu bahagian wilayah negara sudah wujudul hilal, maka bahagian yang belum wujudul hilal harus mengikut. Ini disebut  mengikuti titik mathlak (tempat dilihatnya hilal), maka wilayah lain dalam satu negara harus mengikuti yang telah melihat bulan atau dianggap hilal sudah wujud pada wilayah tersebut.

Muhamadiyah menyebut wilayatul hukmi (suatu kawasan berlaku hukum yang sama). Muhammadiyah mengibaratkan sebuah perahu yang panjang, kalau kepala perahu itu sudah dianggap masuk ke sebuah dermaga, maka keseluruhan perahu tersebut dianggap masuk semua. Bagi Muhamadiyah pergantian bulan bukan masalah tampak atau tidak tampak, tapi yang penting bahwa  keyakinan berdasarkan ilmu hisab. Tentu saja pendapat ini masih ada yang mendiskusikan, dengan alasan jika di Indonesia bahagian tengah dan timur tidak wujudul hilal, dan Ramadhan tetap digenapkan 30, kenapa harus memakasakan diri untuk berlebaran. Karena beribadah harus menyesuaikan keadaan waktu dan tempat.  Hal ini dianalogikan juga dengan waktu shalat. Apakah bisa waktu shalat zuhur di Medan disamakan dengan waktu shalat zuhur di Makassar, atau sebaliknya kalau di Makassar sudah masuk waktu magrib apa mungkin orang di Medan juga boleh shalat maghrib, tentu tidak mungkin. Di Medan orang masih berada pada waktu ashar, sedangkan di Makassar sudah masuk waktu maghrib. Diskusi ini memang cukup menarik untuk menambah wawasan ilmu kita.

 Kita juga harus memaklumi sikap Pemerintah yang berdasarkan hisab dan rukyat, bahwa  hilal baru bisa dianggap tanggal 1 Syawal jika sudah diatas dua derajat. Jika menurut  hisab, hilal dipastikan sudah dua derajat keatas maka tidak ada keraguan lagi, walupun tidak dirukyat. Tetapi jika hilal ternyata diperkirakan dibawah dua derajat , maka disinilah sangat diperlukan rukyat. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad Saw yang menyatakan : “Jika kamu melihat bulan (awal Ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kamu melihat bulan (awal Syawal) maka berlebaranlan besok, numun jika kamu tidak melihat bulan (dan meragukan) maka genapkanlah puasamu tiga puluh hari.” Nampaknya sikap fleksibilitas yang dilakukan Rasulullah yang menjadi acuan Pemerintah menetapkan awal bulan syawal tersebut.

Menurut Dr. Thariq As Suwaidan dalam bukunya Tabel Puasa Empat Mazhab, bahwa keempat mazhab tersebut ( Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) sepakat bahwa perlu diadakan ru’yah hilal pada tanggal 29 Ramadhan. Apabila hilal tidak terlihat, maka keempat mazhab tersebut sepakat wajib menggenapkan puasa menjadi 30 hari.  Makna hilal tidak terlihat masih menjadi pertanyaan, apakah tidak terlihat karena tertutup awan, atau memang tidak mungkin terlihat karena diperhitungkan masih dibawah dua derajat. Pemerintah pada prediksi lebaran yang lalu menganggap hilal tidak mungkin dirukyat karena masih dibawah dua derajat. Sedangkan Muhammadiyah mengganggap tidak perlu dirukyat karena sudah wujudul hilal.

Ada juga yang mempertanyakan,  di Arab Saudi sudah lebaran kenapa di Indonesia belum lebaran. Bagi yang memahami ilmu hisab dan geografi, tentu tidak akan bertanya sejauh itu. Karena Arab Saudi jauh berada di bahagian barat, sedangkan orang yang berada di bahagian barat lebih cepat melihat hilal daripada orang yang berada di bahagian timur. Sebaliknya orang yang berada di timur lebih cepat melihat matahari terbit dibanding dengan orang yang berada di belahan barat. Seperti yang diuraikan di atas , di PelabuhanRatu pada tanggal 29 Ramadhan sore bertepatan 29 Agustus 2011 diperkirakan hilal 1,8 derajat, sementara di  Sulawesi hilal masih 0,1 derajat. Padahal masih satu negara. Apalagi Makkah (Arab Saudi) selisih waktu dengan Indonesia empat jam tentu hilal disana sudah cukup tinggi. Jadi tidak perlu diherankan kalau di Arab Saudi lebih dahulu lebaran dibanding Indonesia.

Tentu saja diharapakan kepada Pemerintah bisa menempuh suatu kebijakan, agar kedepan perbedaan hari lebaran diupayakan tidak terjadi lagi, dengan pendekatan dan kompromi terhadap pihak dan pemuka agama Islam untuk menyamakan persepsi tentang dasar penetapan awal bulan hijriah, baik awal Ramadhan,  Syawal, Zulhijjah dan bulan lainnya, sehingga keresahan umat masalah perbedaan lebaran ini tidak terus berulang. **

* Penulis, Dosen STAIN Pontianak.

No comments:

Post a Comment