Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday, December 31, 2011

Kolom Akhir Tahun Refleksi Sengketa Perbatasan Tahun 2011

Oleh: M.D. La Ode
     
      Sepanjang tahun 2011 media dan masyarakat Kalimantan Barat (Kalbar) hingga di tingkat nasional diriuhkan dengan sengketa perbatasan darat antara Indonesia—Malaysia. Menjelang akhir tahun 2011 (baru-baru ini), dari masyarakat kecil di Kalbar yang tidak pernah menyinggung masalah politik dalam kesehariannya, hingga Menkopolhukam dan DPR RI, semuanya riuh karena munculnya berita di media massa lokal dan nasional, bahwa wilayah Tanjung Datu/Camar Bulan di Kabupaten Samnbas, Kalbar, seluas 1.499 hektar telah dicaplok oleh Malaysia.
      Kontan saja berita itu membangun berbagai persepsi. Ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu dengan kebenaran berita tentang pencaplokan wilayah Camar Bulan oleh Malaysia. Pihak yang percaya menganggap pengamanan wilayah perbatasan Indonesia—Malaysia  lemah. Pihak yang tidak percaya menganggap bahwa berita itu adalah isu politik untuk popularitas dalam Pilkada Gubernur Kalbar 2012. Pihak yang ragu menganggap bahwa bagaimana mungkin terjadi pencaplokan? Waktu Kalbar masih hanya Korem 121/ABW tidak ada pencaplokan wilayah. Tetapi setelah ada Kodam XII/Ptr kok ada pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia? Demikian juga dengan isu politik pilkada rasanya terlalu berisiko tinggi.

      Ketiga persepsi itu tidak ada yang pasti benar dan tidak ada yang pasti salah. Namun yang pasti tidak terbantahkan bahwa wilayah perbatasan darat dan laut antara Indonesia—Malaysia masih banyak terdapat sengketa yang dapat memicu konflik tradisonal militer antar kedua Negara Indonesia—Malaysia. Di antaranya adalah sengketa blok ambalat (ambang permukaan laut), daerah-daerah bermasalah yakni D-400, Gunung Raya, Sungai Buan, dan Batu Aum, serta paling menonjol akhir-akhir ini hingga sekarang adalah sengketa Tanjung Datu/Camar Bulan dan Sajingan Besar.
      Mari kita tinggalkan sejenak detail sengketa di atas. Kemudian mari kita perhatikan sejenak tiga dimensi bagi pertahanan negara kita. Dimensi pertama, kita selalu menuntut TNI untuk bekerja dengan hasil maksimal. Tetapi DPR RI terperosok dengan isu infiltrasi dari musuh Indonesia bahwa ke depan tidak akan  ada perang tradisional militer. Itu sebabnya anggaran pertahanan kita tidak ditingkatkan dengan cepat oleh DPR RI. Dewasa ini alutsista kita berada di bawah standar keperluan minimum. Salah satu contohnya adalah kapal selam kita Manggala dan Cakra. Cakra baru selesai dioverhoul di Korea Selatan. Sekarang gantian dengan Manggala yang dioverhaul. Ditambah lagi kontrak pembuatan 3 (tiga) kapal selam baru dengan Korea Selatan. Tapi jadinya kapan belum tau. Pada hal sebenarnya, kita perlu banyak kapal selam karena kita punya banyak ALKI. Jadi kita memerlukan 8 (delapan) buah kapal selam hybrid (Hybrid Submarine) buatan Jerman. Di samping itu kita juga memerlukan banyak kapal cepat rudal (Fast Patrol Boat) panjang antara 50-60 meter dan lebar 10 meter. Kedua jenis alusista Angkatan Laut itu diperlukan untuk mengamankan SDA di laut dan mencegah serta menghancurkan musuh sebelum memasuki wilayah perairan Indonesia.  Sekedar informasi perbandingan kapal selam di Asean: Singapura punya 6 kapal selam, Malaysia  punya 3 kapal selam dan Indonesia punya 2 kapal selam. Asia Timur: Cina punya 62 kapal selam, Korea Utara punya 63 kapal selam, Jepang punya 16 kapal selam, Korea Selatan punya 12 kapal selam, Taiwan punya 4 kapal selam.   Asia Selatan: India punya 16 kapal selam.  Australia punya 6 kapal selam.  Begitu pula dengan Angkatan Udara di Kalbar. Tidak punya radar untuk memantau seluruh wilayah Kalbar karena dari corong Utara jangkauan radar kosong. Di samping itu bermasalah dengan faktor sentral alat komunikasi. Kalau pesawat-pesawat tempur Kalbar mau patroli di Ranai, harus bilang sama Singapura dan Malaysia lebih dahulu, sebab FIR-nya di Singapura. Pada hal FIR itu milik Indonesia. Ironis kan, mau nengok-nengok pekarangan rumah sendiri kok harus bilang sama tetangga lebih dahulu. Kalau tidak bilang dituduh melanggar! Angkatan Darat di Kalbar tidak kalah sulitnya dengan Angkatan Laut dan Angkatan Udara! Pamtasnya sudah digelar. Mobilisasi personil dan alutsistanya sulitnya setengah mati. Mugkin kalau Malaysia bergerak dari pos A ke pos B hanya perlu waktu 2-3 jam sudah sampai. Tetapi Indonesia, mungkin bergerak dari pos A ke pos B perlu waktu 2-3 hari baru sampai sebab jalan paralel belum dibangun.
      Dimensi kedua, pada tahun 2015 kita sudah memasuki Asean Community. Harusnya semua Negara-negara Asean sudah menyelesaikan semua sengekta berbatasan negaranya masing-masing serta telah didaftarkan di PBB. Dimensi ketiga, harus ada pembangunan pilot project wilayah perbatasan berupa kota otonom (kota terpadu) yang ditempatkan di Kalbar, Kaltim, Papua, dan NTT masing-masing 1 buah. Menurut informasi terakhir bahwa akan dimulai di Kaltim, persisnya di Pulau Sebatik serta mempercepat pemekaran Kaltara dan Kapuas Raya sebagai indikator kehadiran  peran Negara dalam pelayanan publik di wilayah perbatasan Indonesia—Malaysia. 
      Mari kita kembali kepada detail sengketa perbatasan di atas. Sangat tidak adil DPR RI menuntut TNI senantiasa bekerja dengan hasil maksimal sementara alutsistanya dibatasi karena ketidak mampuan anggotanya menganalisis informasi yang bersifat infiltrasi musuh untuk melemehakan pertahanan Indonesia. Dengan perkataan lain, jika mau melihat Indonesia menjadi Negara yang tangguh dalam mengamankan SDA dan seluruh wilayah Laut, Darat, dan Udara, serta menjadi Negara juru damai di Dunia, maka bangunlah alutsistanya dengan sembaoyan “militer tangguh rakyat makmur dan berwibawa”. (Direktur Eksekutif CISS dan Pakar Ketahanan Nasional)
      

No comments:

Post a Comment