Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, December 5, 2011

Pak Andreas dan Kubu Raya

Oleh: Karim Raslan

DATANG dari pusat ibu kota sedikit membosankan dengan gosip hiruk pikuk suasana politik yang jauh disentuh-dirasakan rakyat kecil tetapi duduk mendengarkan orang ngobrol itu sungguh asyik - mengikuti cerita mereka tentang lika-liku  hidup dan dunia mereka. Ini memang pekerjaan 'tukang cerita' seperti saya, dan saya bisa berada di bagian dunia mana saja untuk menemukan orang-orang tanpa memandang keberadaan status sosialnya dan cerita-cerita seperti ini - kerap kali menginspirasi saya untuk berpikir dan menulis. Baru-baru ini saya berada di Kalimantan Barat, tepat di luar kota Pontianak yang cukup  sibuk. Hari sudah sore dan matahari perlahan mulai terbenam.

Saya sedang bersama Pak Andreas Muhtorein, seorang politikus dan mantan akademisi berusia 60 tahunan, dan juga Wakil Bupati Kubu Raya, salah satu dari banyak kabupaten yang sedang berkembang di Indonesia setelah era otonomi daerah. Pak Andreas orangnya kalem, dan tampak malu-malu menceritakan karir keduanya yang terjadi hampir secara kebetulan.
Ketika saya bertanya tentang ini, jawabannya sungguh tak terduga, keputusan ini diambilnya dalam semalam walau rasa cinta terhadap dunia mengajarnya masih kuat-memang panggilan jiwa untuk mengabdikan diri kepada daerahnya serta membangkitkan semangat berkarya masyarakat demi sebuah kemakmuran jauh lebih praktis dan penting. "Calon bupati waktu itu bertemu dengan saya sehari sebelum hari pencalonan. Saya tidak punya banyak waktu untuk menimbang-nimbang. Lalu, saya memutuskan untuk ikut mencalonkan diri. Saya tidak menyesal, tapi saya tidak tahu apakah mau mencalonkan diri lagi. Jiwa saya ini sebenarnya jiwa guru."
Lalu kami berbincang tentang kabupatennya yang luas dan penuh keanekaragaman. Dengan besar 7.000 km2, Kubu Raya adalah rumah bagi berbagai kelompok etnis, termasuk Melayu (31%), Madura (24%), Jawa (18%), China (11%) dan Dayak (7%). Banyaknya jumlah orang Madura dan Jawa (termasuk Pak Andreas sendiri) adalah warisan dari transmigrasi, sebuah kebijakan Orde Baru, dimana komunitas dipindahkan dari area padat hunian atau daerah yang tertimpa bencana, ke pulau-pulau lain di Indonesia yang belum padat, seperti Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi.

Menurut Pak Andreas, perekonomian Kubu Raya sebagian besar bersifat agrikultural, walaupun kedekatannya dengan Pontianak membuka kesempatan lain seperti bisnis hotel kecil dan restoran, tempat di mana kita sedang berada saat itu. Walaupun begitu, kemiskinan masih menjadi masalah besar, dengan sekitar 46% rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan tantangan ini, jelas memimpin daerah seperti ini membutuhkan kecakapan dan komitmen.

Setelah beberapa saat mengobrol, saya menjadi lebih ingin tahu tentang masa lalu Pak Andreas dibanding Kubu Raya sendiri. Dan benar saja, setelah saya korek-korek sedikit, ternyata dia punya cerita hidup yang kaya - yang merupakan refleksi dari pulau tempat kelahirannya, Jawa, dan kampung halaman barunya, Kalimantan. Berasal dari Magelang, ayah Pak Andreas yang seorang Muslim meninggal sebelum dia lahir tahun 1954. Ibunya kemudian menikah lagi dengan seorang Katolik ketika dia baru berumur tiga tahun. Kemudian Andreas berpindah agama menjadi Katolik di usia ke-13.

Tapi, ketika ditanya tentang namanya yang terdengar tidak biasa - 'Muhrotein' - penjelasannya mencerminkan riwayat keturunan Muslimnya: Muhammad (Muh-), Suroh ('berani' dalam bahasa Jawa) dan Anak Yatim (atau -tien) terang beliau. 
Setelah Gunung Merapi meletus 1976, Andreas dikirim ke Ketapang di Kalimantan Barat, sebuah daerah yang terpencil di sebelah selatan Pontianak. Waktu itu dia tidak bahagia. Usianya baru awal 20-an, dan dia sangat kesepian, apalagi setelah ibunya dikirim lebih jauh lagi, ke Jambi di Sumatra. Dia tidak bertemu ibunya sampai 10 tahun kemudian. Untungnya dia terhibur dengan kehadiran teman-teman Dayaknya, dan kemudian dia bisa pindah ke Pontianak untuk sekolah, lalu melanjutkan ke Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Setelah kembali, dia menjadi guru dan tenaga administrasi. Sampai sekarangpun dia masih mengajar di sebuah perguruan tinggi Katolik di daerahnya - sesuatu yang tetap dikerjakannya di tengah jadwalnya yang sibuk.

Lebih jauh lagi, dia tetap memelihara tradisi Jawa di daerahnya, dengan menjadi dalang untuk beberapa acara. Memang para transmigran Jawa yang tersebar di Indonesia tampaknya masih lekat dengan tradisi daerah asal mereka, bahkan lebih dibandingkan orang Jawa yang masih tinggal di Jawa.

Pak Andreas sendiri melihat ironi ini: "Kami orang Jawa di Kalimantan lebih menggemari wayang dibanding teman-teman dan saudara kita di Jawa." Pak Andreas sangat mencintai kedua sisi yang ada dalam dirinya. Bahkan, salah satu saudara laki-lakinya dari Nahdatul Ulama sering membawanya ke mesjid waktu kecil.
Kisah Pak Andreas ini bercerita banyak pada kita tentang apa yang terjadi di pinggiran Indonesia. Di sana, identitas etnis, budaya dan agama lebih elastis dibandingkan di daerah Jawa dan Sunda yang lebih kaku dan terkategori.
Mungkin ini justru membuka pintu bagi dinamisme yang lebih kaya dan - dalam kasus Pak Andreas - potensi politik bagi pemimpin-pemimpin justru muncul dari daerah, dan bukannya dari pusat. Karena itu, cerita desentralisasi Indonesia bukan hanya tentang politik dan ekonomi, tapi juga tentang ...perubahan pada wajah dan identitas Indonesia, penting lagi bahwa meski dimanapun mereka berada tak peduli daerah atau lintas negara rasa cinta terhadap warisan budaya mereka tetap dijaga dan dilestarikan.

Kisah Pak Andreas bisa menjadi contoh bagi kabupatennya yang baru saja berdiri-perjuangan yang gigih, Kubu raya untuk masa depan adalah kota yang menjanjikan. Juga merupakan titik awal perluasan pembangunan dari imbas kemacetan dan kepadatan Kota Pontianak. Kubu Raya memerlukan suatu penataan yang disiplin jauh kedepan-kota ini akan menjadi tawaran yang menarik bagi investor dari dalam maupun luar negri. **

No comments:

Post a Comment