Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, December 6, 2011

Guru, Budaya Antri & Buang Sampah

Oleh : Syarif Ibrahim Alqadrie


DENGAN berbagai alasan seorang rekan akrab saya menolak tawaran panitia penataran guru pada sebuah salah satu kabupaten di Kalbar untuk menyampaikan semacam obrolan tentang pendidikan. Rekan itu didaulat untuk memberi ceramah dadakan pada kesempatan penataran guru-guru SLTP yang diadakan di salah satu hotel di kota itu.

Tak Ada Persiapan dan Ketidakrapian
Alasan utama penolakan itu bukan disebabkan oleh tidak adanya honorarium karena tidak dianggarkan sebelumnya. Mengenai hal ini, kawan tersebut sudah bahagia seandainya panitia hanya mengucapkan terima kasih. Bahkan, rekan tadi pernah harus menanggung sebagian terbesar biaya ketika menjadi ketua panitia suatu pertemuan di kecamatannya. Namun ia tetap bersyukur karena dipinjamkan gedung serbaguna kecamatan dan Pak Camat mau tanda tangan undangan.

Alasan lain bukan pula disebabkan tidak ada bahan untuk diceramahkan karena diminta secara dadakan. Alasan yang mustahak adalah sang rekan berpakaian santai pada saat itu: celana panjang Lee, baju kaos belang-belang, bertopi pet dan bersandal kulit dengan rambut awut-awutan layaknya wisatawan kere. Mana mungkin ia akan berhadapan dengan para guru pencipta masa depan bangsa.

Setelah berbagai alasan penolakan berhamburan lawan bujukan memelas yang masuk akal. Akhirnya daulat para guru tidak bisa ditolak. Ia menyerah tak berkutik untuk kemudian dibawa ke ruangan utama penataran. Sang ”penatar” dadakan diminta 10-15 menit  saja untuk berbicara tentang pengalaman ketika ia pernah menjadi guru.

Setelah diperkenalkan kepada para peserta yang 65% terdiri dari guru wanita, sang rekan mulai celotehnya tentang guru, lilin dan petromaks. Para guru tidak boleh menjadi lilin: selesai menerangi kegelapan, lalu habis tak tersisa. Jadilah petromaks, setelah menerangi menjadi barang antik. Untuk itu, para guru harus meningkatkan wawasan, pengetahuan dan ilmu baik formal maupun non-formal dan informal. Tapi, mereka tak boleh hanya mengejar ijazah dan gelar formal sebagaimana dilakukan oleh para oknum pejabat yang kuliah sambilan: dapat gelar tapi tulisan ilmiah mereka dibuatkan oleh makelar kasus skripsi/tesis (Markusis)

”Kita belum pantas disebut bangsa besar,” sang kawan meneruskan ocehannya: ”Dalam urusan buang-membuang sampah dan kebiasaan baris-berbaris atau antri, bangsa ini tidak masuk ke dalam kelompok bangsa yang memiliki dua budaya tersebut.” Contoh konkrit paparnya, ”pada kelas masyarakat menengah ke bawah, sungai, parit, selokan, danau dan kolam menjadi tempat ’sampah raksasa.’  Pada kelas menengah ke atas, tangan-tangan dan jari-jari penuh emas berlian bermunculan dari jendela-jendela mobil mewah melemparkan kulit-kulit, biji-biji rambutan, langsat, duku, pisang, sawo, durian dan sampah lainnya di tengah jalan. Bahkan, sudah semestinya dipertanyakan adakah berbagai kelas mulai dari TK, SD, sekolah lanjutan sampai ke PT memiliki tempat sampah di dalam ruangan-ruangan kelas tersebut?”

Budaya antri juga belum tercipta. Walaupun setiap akan masuk kelas, para siswa SD, SLTP dan SLTA diwajibkan antri di luar kelas, mereka tidak pernah memperoleh penjelasan dari guru-guru mereka tentang makna dan hakekat antri dalam berbagai kepentingan dan kegunaan dalam realitas kehidupan masyarakat. Tanpa mengetahui maknanya, antri di sekolah cenderung membentuk kemunafikan. Karena seorang guru yang meminta para siswanya masuk terlebih dulu ke dalam kelas yang dipandangnya berada dalam barisan paling rapi, tertib dan teratur, tidak lebih dari hanya menciptakan keberpura-puraan siswa agar mereka bisa masuk ke kelas lebih dahulu.

Tanpa menjelaskan makna, hakekat dan kegunaan antri kepada para siswa, para guru tidak akan pernah berhasil menciptakan generasi baru yang memiliki budaya antri di negeri ini. Seorang peserta lain bertanya tentang cara terbaik mengurangi korupsi dan perbuatan curang dalam pendidikan tidak hanya oleh murid dengan ngepek, copy paste dan ceating lainnya, tetapi juga oleh oknum tenaga pengajar seperti guru, dosen dan pengelola dalam satu jaringan dengan menjual nilai, membuatkan tulisan ilmiah dan menghancurkan sistem.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan.

Pertama, pihak atasan hendaknya memberlakukan sistem seimbang antara ganjaran (reward) dengan hukuman atau sanksi (punishment). Keseimbangan antara dua sub sistem ini sangat perlu dan sangat mendesak untuk dilaksanakan agar tidak ada kesan jujur atau tidak jujur sama saja dan untuk menjadi pemimpin orang harus melakukan premanisme terlebih dulu.     Kedua, pemberdayaan hukum tanpa ”tebang pilih.” Artinya, sanksi tidak diberlakukan karena pelanggar hukum adalah pendukung setia atau kelompoknya sendiri. Kehancuran pendidikan, khususnya di perguruan tinggi (PT) cenderung terjadi karena pemimpin menutup mata terhadap mereka yang menghancurkan kualitas, standar dan sistem pendidikan. Perbuatan sangat negatif itu dibiarkan hanya karena para pelaksananya adalah kelompoknya sendiri atau asal mereka memilih pemimpin tersebut.

Untuk mencegah dan memperbaiki kebobrokan seperti itu setiap orang secara moral harus rela dan memiliki daya tahan luar biasa untuk menghadapi suasana memprihatinkan itu. Sebaliknya masyarakat secara keseluruhan harus mampu menghilangkan kebobrokan itu: Ketidakbahagiaan atau kepedihan adalah harga dari kejujuran (misery is the price of honesty). Bagaimana memperbaiki kehancuran sistem kemasyarakatan yang mengarah pada negara gagal (fail state), kalau orang-orang jujur, konsisten, konsekuen dan bertanggung jawab disingkirkan, diperlakukan agar tidak betah dan tidak pernah diakui keberadaannya. Dalam kondisi seperti itu, orang-orang jujur dan tawadhu’ terpental ke gurun pasir tandus dan gersang mematikan. Sebaliknya, orang yang tidak jujur dan merusak sistem berpesta pora dan menjadi orang yang dianggap paling berhasil dan bahagia (happiness is the price of dishonesty). Kalau begitu, kasihan bangsa dan daerah ini. 


*) Penulis, mantan guru SD Islamyah Kamp. Bangka, SMEP & SMEA Negeri I Pontianak & Alumni KSA VIII/ LEMHANNAS  1998.

No comments:

Post a Comment