Sederhananya, pembiaran bahasa terjadi biasanya dipicu oleh sebagian pemahaman bahwa yang penting komunikatif antarkedua belah pihak dalam berbahasa. Memang, sikap seperti itu tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena fungsi berbahasa demikian. Akan tetapi, toleransi terhadap berbahasa yang demikian akan menyebabkan pengabaian terhadap kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang benar. Perlu diingat, penggunaan bahasa Indonesia tidak semata baik, tetapi memerhatikan sisi benarnya.
Semata komunikatif dititikberatkan maka kesalahan berulang-ulang galib terjadi dalam penulisan bahasa Indonesia. Contoh kecil, penulisan HUT TNI ke-66 masih sering digunakan dalam ruang publik. Penulisan tersebut memang cenderung komunikatif sebab keseringannya digunakan. Padahal, penulisan tersebut mengandung kesalahan yang sangat berarti. Penulisan tersebut berarti TNI urutan ke-66 yang berulang tahun, sementara yang dimaksudkan adalah ulang tahun ke-66 TNI satu-satunya yang akan menjaga kedaulatan NKRI. Kasus yang sama juga terjadi pada penulisan HUT RI ke-66.
Pemahaman di atas cenderung memberi kesan njlimet dalam berbahasa. Hal demikian harus ditempuh agar berbahasa Indonesia tidak selalu terjebak dalam ranah komunikatif semata, tetapi tetap memerhatikan ranah kaidah bahasa Indonesia. Di sisi lain, kecermatan berbahasa Indonesia dengan kaidah-kaidah berlaku secara tidak sadar membiasakan berpikir ilmiah-sistematis yang tentu akan bermanfaat bagi kehidupan.
Selanjutnya, Pembiaran bahasa cepat atau lambat dapat mengakibatkan bahasa Indonesia tidak menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Apalagi, gempuran informasi global telah memberikan dampak berarti bagi keberadaan bahasa Indonesia. Ruang-ruang publik telah nyata-nyata dan jelas dipenuhi oleh kata-kata asing. Jika tidak disadari sebagai ancaman atau malah dianggap sebagai konsekuensi globalisasi, beberapa kosakata bahasa Indonesia cepat atau lambat akan menjadi arkais, kosakata yang tidak dipergunakan lagi.
Pembiaran bahasa harus segera disadari oleh segenap komponen bangsa dan negara Indonesia supaya bahasa Indonesia tidak hilang fungsi keberadaannya. Faktor bahasa memang tidak memberikan dampak nyata dan segera bagi keberlangsungan berbangsa dan bernegara dibandingkan faktor lain, seperti hukum. Pembiaran bahasa yang tidak disadari pelan-pelan menggrogoti identitas bangsa dan Negara dan dampaknya akan meluas. Sebelum pembiaran bahasa menjadi kanker ganas bagi kehidupan bangsa dan negara, komponen bangsa dan negara Indonesia harus menunjukkan sikap berbahasa Indonesia, di samping yang baik, juga yang benar. Tidak kalah penting, bangsa Indonesia jangan sampai sadar melakukan pembiaran bahasanya setelah bangsa lain mengambil manfaat dari kepeduliannya terhadap bahasa Indonesia. (*)
No comments:
Post a Comment