Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, December 28, 2011

Refleksi Akhir Tahun (Kembali ke Fitrah)

Oleh: Hendrasyah Putra

Refleksi akhir tahun. Ya begitulah kira-kira ide yang terlintas di pikiran saya ketika dihadapkan dengan masa-masa penghujung tahun seperti saat ini. Tulisan ini sejatinya ingin mengambarkan cerminan Indonesia masa lalu dan harapan saya terhadap Indonesia kedepannya seperti kata-kata “kembali ke fitrah” diatas. Pada kesempatan kali ini, sebelumnya ijinkan saya untuk mengucapkan keprihatinan saya atas kejadian di Bima dan Mesuji (Lampung). Untuk itu, dari hati saya yang paling dalam saya mendoakan agar para korban dari peristiwa tersebut mendapat tempat yang layak disisi Tuhan Yang Maha Esa dan semoga pertumpahan darah yang telah membasahi bumi Indonesia ini tidak kembali terulang.

Baiklah, kembali pada tulisan kali ini dan pada artikel-artikel sebelumnya, sesungguhnya saya ingin memberikan sisi lain dari keterfokusan kita selama ini kepada struktur dan substansi. Kultur, adalah dimana saya lebih menekankan sudut pandang dari semua artikel-artikel saya. Berawal dari kultur tersebut, dalam setiap artikel yang saya tulis, saya sengaja menggunakan pisau bedah berupa kultur untuk mengkaji dan menguak fenomena-fenomena yang muncul di Indonesia.

Secara sadar, saya sengaja menampilkan contoh-contoh perilaku orang Jepang dalam menghadapi situasi yang susah (bencana) dan senang (makanan gratis dari swalayan). Walaupun sesama negara Asia, tentunya Jepang memiliki kultur sendiri dan demikian pula dengan Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa ketangguhan Jepang tersebut dipengaruhi kuat oleh budaya Jepang. Budaya Jepang itu sendiri ditengarai kuat dipengaruhi oleh Rasa malu, harga diri clan dan penghormatan kepada leluhur. Bagi saya hal ini tentunya tidak akan tumbuh dengan sendirinya di Jepang.

 Saya jadi teringat ketika berdiskusi dengan rekan saya tentang Thesis Lawrance Harison. Dalam thesis L Harison mencoba menguak apakah budaya yang mempunyai pengaruh terhadap pembangunan atau pembangunan yang mempengaruhi budaya. Lawrance Harison berusaha untuk meyakinkan kita (dengan mengambil contoh dua negara yang merupakan keajaiban Korea Selatan dan Jepang) bahwa budayalah yang mempunyai pengaruh besar terhadap kemajuan. Pada titik ini, saya jadi teringat dengan makalah Prof. Satjipto Rahardjo yang berjudul ’Wanita Dalam Trnsformasi Kemasyarakat Industri.’  Kiranya makalah Pendek Pak Tjip ini sedikit banyak memberikan gambaran bagi saya bahwa teknologi yang membawa budaya baru. Jepang juga jika kita melihat sejarah ada faktor teknologi yang dipaksa masuk yang berawal dari "moncong meriam" Komodor Perry.  Menurut hemat saya, teknologi dan industri punya tempat masing-masing dalam transformasi suatu negara.

Dalam kasus teknologi ini, beberapa waktu lalu saya sempat mengkritik kekisruhan dalam mendapatkan telepon genggam BlackBerry serta kasus joki three in one dalam kasus jalur three in one di Jakarta. Disini terlihat ketika teknologi (mobil dan blackberry) masuk dalam masyarakat terjadi sebuah interaksi. Interaksi anatara teknologi dan masyarakat itu sendiri ternyata melahirkan sebuah benih perilaku yang sangat memalukan. Saya kira kita setuju bahwa perilaku tidak tertib antre dalam mendapatkan Blackberry dan menggunakan  Joki three in one untuk mengakali aturan lalu lintas sangat bertentangan dengan etika dan moralitas bangsa Indonesia (secara tertulis).

Jika kita setuju mengatakan bahwa perilaku tidak mau antre dan menggunakan jasa joki bertentangan dengan etika dan moral, tetapi mengapa perilaku buruk tersebut malah sering tampil di negeri ini. Saya sebenarnya semakin pesimis ketika mendengar seorang ahli politik Amerika mengatakan seberapa kuat paksaan terhadap suatu prinsip, perilaku jika tidak sesuai dengan budaya yang ada, maka akan sia-sia.

Jika melihat fenomena mafia yang tumbuh subur di negeri ini, apakah memang benar hal itu sesungguhnya keinginan dari bangsa ini sendiri? Apakah ini sebenarnya perilaku kita? Mungkin. Barangkali. Setidaknya Ishanuddin Nursi pernah mengatakan bahwa Indonesia Negara Atheis. Setidaknya ini menjawab mengapa aplikasi nilai agama tidak mendominasi dalam cermin perilaku bangsa Indonesia sehari-hari. Jika kita melihat demografi Indonesia  di tahun 2010, kira-kira 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katholik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha (Wikipedia).

Data persentase tingkat keagamaan di Indonesia ini bagi saya sekilas terlihat indah, tetapi sangat mengecewakan ketika melihat fenomena yang muncul malah sebaliknya. Saya mungkin tak perlu mengungkit ranking negara kita dalam hal prestasi korupsi. Saya hanya bisa katakan ini “mengerikan.” Pesimistis saya ini kiranya bukan ingin membuat sebuah kesimpulan bahwa di Indonesia ini tidak ada yang baik atau saya ingin mengatakan bahwa Indonesia negara gagal. Dalam pandangan saya ini, saya menyadari betul kekurangan dan bahaya-bahaya yang saya hadapi (tergesa-gesa dalam menyimpulkan atau menghilangkan struktur makna dari apa objek yang saya selidiki) dalam menerapkan metode kultur atau mungkin lebih familiar dengan nama  metode sosiologi ini.

Kebiasaan saya membandingkan perilaku orang Indonesia dan orang Jepang bukanlah untuk menghina atau merendahkan orang Indonesia. Sebenarnya kebiasaan membanding-bandingkan prilaku itu saya lakukan untuk mengingatkan dan menyadarkan bahwa ada yang salah dengan perilaku kita.  Untuk itu, pada detik-detik di akhir tahun 2011 ini adalah baik untuk kita melakukan intropeksi diri. Berani melihat borok di cermin adalah langkah awal untuk menyadari dan memperbaiki diri. Dari hati yang paling dalam, pada kesempatan kali ini, saya begitu menaruh harapan besar untuk kita kembali kepada fitrah. Fitrah dimana apa yang dituliskan bahwa bangsa Indonesia itu adalah bangsa yang besar, aman, damai dan sejahtera. **

No comments:

Post a Comment