Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, November 6, 2011

Air Mata Sang Haji

Oleh: Siti Rodhasah 

Tahun lalu saya turut hadir mengantar orang yang akan berangkat ibadah haji. Pada hari itu diadakan semacam proses pelepasan mirip seperti melepas seseorang yang meninggal dunia. Mengapa demikian, sebab ada tangis dan air mata di sana. Air mata dari orang yang melepas dan air mata dari sang calon haji sendiri. Doa-doa pelepasan yang dibacakan disertai sebutan asma Allah menambah bulu kuduk saya berdiri. Rasa haru pun menyelimuti. Benar-benar mirip dengan  melepas kepergian jenazah, pikir saya.

Mengapa harus ada tangis dan air mata pada saat seseorang berangkat untuk beribadah haji? Bukankah ia hanya akan pergi sesaat untuk beribadah menunaikan panggilan Allah, Tuhan Penguasa Alam. Mengapa harus disedihkan? Pendapat sederhana seorang teman mengenai hal itu, orang pergi haji laksana orang meninggal dunia. Orang berangkat pergi haji, walau untuk beribadah beberapa saat untuk menghadap panggilan Allah. Hal ini persis seperti orang meninggal dunia yang pada hakikatnya juga dipanggil Allah. Jadi pada peristiwa berangkat haji dan wafatnya seseorang terdapat satu situasi yang kurang lebih sama; adanya perpisahan. Alhasil, tangis, air mata, dan rasa haru pasti hadir pada tiap-tiap perpisahan.

Ibadah haji adalah sebuah ibadah khusus yang memerlukan kemampuan fisik, mental, dan materi. Dan yang pasti iman. Tanpa iman, sesehat dan sekaya apapun ia tidak akan pernah menunaikan ibadah yang satu ini. Itulah mengapa ibadah haji tidak seperti ibadah lainnya yang tertuang dalam rukun Islam. Karenanya, (mungkin) ibadah haji diletakkan pada nomor lima dalam rukun Islam. Alasannya sederhana, tanpa mengamalkan secara istiqomah rukun Islam yang empat, mustahil seseorang akan mengamalkan rukun Islam nomor lima, yaitu ibadah haji. Jadi seperti ada hierarki atau jenjang yang mesti ditapaki untuk dapat menunaikan ibadah yang terdapat dalam rukun Islam. Jika benar demikian, maka ibadah haji bisa dikatakan ibadah yang cukup berat karena selain harus berkorban materi ia juga butuh kekuatan mental dan fisik.

Ibadah haji disebutkan sebagai napak tilas perjalanan keluarga Nabi Ibrahim as. Sebagaimana kita tahu bahwa Nabi Ibrahim as dikenal sebagai bapak para rasul yang pertama-tama menanamkan pondasi tauhid (monoteisme) di dunia. Walau telah berlalu di belakangnya para rasul, namun sejarah terlanjur mengakui bahwa Nabi Ibrahim lah bapak monoteisme. Perjuangan Nabi Ibrahim as dalam mencari Tuhan yang sejati dilaluinya dengan rintangan yang besar, bahkan harus melawan orangtua yang sangat dikasihinya. Ia juga rela dibakar hidup-hidup oleh kaum paganis demi mempertahankan keyakinannya. Bukan hanya Ibrahim, tetapi istri dan anaknya pun harus ikhlas menghadapi berbagai ujian dalam menegakkan kalimat tauhid. Ketika Siti Hajar dan Ismail, istri dan anak Ibrahim, ditinggal di tengah gurun tandus tanpa bekal apapun, mereka ikhlas menerima dan tabah menghadapinya.

Bekal materi memang tidak ada, namun bekal taqwa mereka punya. Itulah mengapa orang berangkat haji harus berbekal utama taqwa. “Dan berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal itu adalah taqwa” (QS. Al Baqarah). Dan ternyata memang benar. Bekal taqwa itulah yang akhirnya mampu menolong mereka dari segala kesulitan hidup di tengah gurun tandus sewaktu ditinggal oleh Ibrahim as. Diceritakan, setelah sabar melewati cobaan dari Tuhan berupa kesendirian di tengah gurun yang tandus, dengan turun naik bukit mencari air untuk bayinya yang haus, akhirnya Allah memberikan pertolongan kepada Siti Hajar dan bayinya dengan memancarkan mata air yang kita kenal sekarang dengan sebutan mata air zam-zam.

Sungguh panjang cerita perjalanan keluarga Nabi Ibrahim as untuk diceritakan. Tapi benang merah dari kisah perjalanan keluarga sang kekasih Allah itu, yang hingga kini diabadikan dalam praktek ibadah haji adalah bagaimana menanamkan kesabaran dan ketaqwaan dalam diri. Tentunya kesabaran dan ketaqwaan seperti yang dimiliki oleh keluarga nabi Ibrahim as. Dengan memiliki kesabaran dan ketaqwaan seperti itu, maka seseorang akan mampu menghadapi berbagai cobaan hidup seperti kelaparan, kekerasan, teror, bencana alam, bencana ekonomi, sosial, politik, dan lain sebagainya, layaknya kesabaran Siti Hajar dan Ismail as. Hal-hal seperti itulah yang harus membekas pada jiwa seseorang yang melaksanakan ibadah haji.

Kini, ada sekitar 200 ribu jamaah haji asal Indonesia yang tengah mengasah kesabaran dan ketaqwaan di tanah suci menunaikan panggilan Allah SWT. Mereka tengah menapaktilasi kisah keluarga sang nabi suci. Dan, jika mereka kembali, diharapkan menjadi haji yang mabrur, yang meneladani sifat keluarga Nabi Ibrahim as. Dengan begitu, adalah wajar jika seseorang berangkat haji dilepas dengan tangis dan air mata. Karena mereka akan berjuang untuk meneladani sifat-sifat nabi Ibrahim as dan keluarganya.

Dan, air mata sang calon haji yang tertumpah pada saat pelepasannya merupakan sebuah ungkapan dari beban dan tanggung jawab yang akan dipikul kelak sepulang dari tanah suci. Beban dan tanggung jawab untuk menjadi haji yang mabrur, menjadi seseorang yang berjiwa seperti Ibrahim as yang tegas bersikap dalam menjaga ketauhidan, serta beban untuk menjadi manusia-manusia yang sabar, tawakal, serta senantiasa berupaya untuk istiqomah dalam mencari keridhoan Tuhan.  Ya Allah, jadikanlah mereka kuat dalam iman, taqwa, dan kesabaran di tanahMu. Dan kembalikan mereka kepada masyarakatnya dengan membawa sifat-sifat kekasih-Mu nabi Ibrahim as dalam berjuang menyebarkan ajaran-Mu. Amin. **

* Penulis, warga Sungai Duri.

No comments:

Post a Comment