Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, November 14, 2011

Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI . Bagian Pertama dari Dua Tulisan.

Syarif Ibrahim Alqadrie

BHINNEKA Tunggal Ika (BTI) dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagai prinsip adalah dua entitas yang memiliki satu jiwa dan semangat yang tidak terpisahkan. Keduanya saling berhubungan dan pengaruh-mempengaruhi. BTI sebagai prinsip, yang diwujudkan dalam suatu bentuk  semboyan (symbol) kenegaraan yang terletak pada kaki burung Garuda, menjiwai dan mendasari bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebaliknya NKRI merupakan konsekuensi logis dan wujud konkrit dari prinsip BTI.
Karena kedudukan masing-masing, BTI dan NKRI menjadi dua entitas sangat penting dalam kehidupan negara, bangsa dan rakyat Indonesia. Peranan mereka tidak saja merupakan dua teknis atau cara dan sekaligus alat bagaimana rakyat dan negara di Republik ini, yang diwakili oleh pemerintah dan bangsa ini, dapat bersatu padu dan tidak bercerai-berai atas dasar fisik geografis dan kelompok etnis, agama dan asal usul keturunan yang berbeda-beda. Namun, kedua prinsip dan entitas ini juga menjadi sumber pemersatu dan strategi kebijakan dan perjuangan dalam menciptakan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan melalui persatuan dan kesatuan.

Dalam rangka menyosialisasikan BTI dan NKRI sesuai dengan kedudukan dan peranan mereka, artikel ini berusaha untuk menggambarkan secara singkat kedudukan dan sekaligus mengungkapkan peranan BTI dan NKRI dalam melengkapi strategi kebijakan dan tujuan pemerintah dan negara Indonesia untuk menciptakan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan dengan tidak mengorbankan persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk merealisasikan keinginan dalam tulisan ini, pertama dan utama sekali saya berkeinginan untuk memperlihatkan BTI sebagai suatu yang sangat pokok (essential thing) yang di dalamnya mengandung tiga hal: (1) symbol yang berbentuk fisik materi, (2) ideology dan sekaligus  budaya politik. Setelah itu, saya ingin (3) menghubungkan BTI dengan NKRI yang dilihat dari sudut dua paradigm yang saling berbeda dengan konsekuensi logis terhadap kebijakan politik yang juga saling berbeda.

Simbol Fisik Tertulis & Tidak Tertulis
Berbicara tentang BTI, kita tidak dapat melepaskannya dari Burung Garuda Pancasila (BGP). Hal ini disebabkan bukan saja karena keduanya menyatu dan tidak dapat dipisahkan, satu dengan lainnya, tetapi juga mereka adalah sebuah lambang fisik tak tertulis (a physically unwritten symbol) –BGP yang mengandung maknah khusus berdasarkan figure kelengkapan yang tergambar melingkupi anggota badan burung tersebut-- serta BTI sebagai simbol fisik tertulis terletak disekitar kaki burung garuda.
Makna khusus pada lambang  fisik tak tertulis ini secara keseluruhan yang tidak terpisahkan menggambarkan tanggal 17 bulan Delapan/Agustus tahun 1945 sebagaimana dapat terlihat pada jumlah bulu-bulu diseluruh anggota badan BGP. Lambang fisik tak tertulis berikutnya khususnya yang terletak pada dada BGP mengandung makna lima dasar atau Pancasila yang menjadi dasar, ideologi dan falsafah Negara yaitu Ketuhanan yang Maha Esa,  Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.).  
Selanjutnya lambang fisik tertulis menyebutkan bahwa Bhinneka tunggal Ika melambangkan kondisi bangsa Indonesia  yang walaupun berbeda-beda atau beragam tetapi tetap bersatu dan berada dalam satu kesatuan. Lambang tertulis itu mengandung makna tentang kondisi Bangsa Indonesia yang beragam atau plural namun memiliki karakter multikultural yaitu saling menerima, menghargai dan menghormati perbedaan dan keberagaman.
Uraian di atas menunjukkan bahwa BGP dan BTI secara keseluruhan sebagai dasar dan ideology negara memiliki kedudukan sangat penting dan peranan sangat menentukan bagi kehidupan dan hari depan bangsa dan negara Republik ini. Namun, dalam perjalanan sejarah, bukti empiris menunjukkan bahwa BGP sebagai lambang negara dan BTI sebagai bagian dari lambang, dasar dan ideologi negara mengalami banyak percobaan, hambatan, rintangan dan tantangan yang kebanyakannya berasal dari dalam bukan dari luar.    

Hambatan, Rintangan dan Tantangan      
Hambatan dan rintangan bagi dasar dan ideologi Negara, Pancasila, beserta prinsip BTI, terletak pada fakta sejarah bahwa pada Rezim sebelumnya ideologi dan prinsip tersebut tidak hanya dijadikan hiasan atau permainan bibir (lip service). Fakta menunjukkan bahwa, tidak ada satu kata dengan perbuatan dalam menjiwai, menyikapi, merealisasi dan mengimplementasikan prinsip dan ideologi tersebut.
Sampai  sekarang kemunafikan berada dimana-mana terutama pada unsur/bagian yang terdapat baik di dalam struktur politik tingkat supra/atas (super political structur) dalam sistem politik negeri ini seperti misalnya para anggota baik lembaga Legislatif, Eksekutif,  dan Yudikatif, maupun di dalam sebagian dari struktur politik tingkat infra/bawah  (inferior political structure) yaitu seperti partai-partai politik, para tokoh dan elit social, politik dan ekonomi, golongan penekan dan golongan kepentingan (pressure and interest groups). Sebagian terbesar dari para anggota dalam dua struktur politik di atas bekerja untuk  kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek dari partai-partai dan kelompok dari struktur politik yang berkuasa, bukan untuk kemaslahatan masyarakat dan rakyat kecil (societal political structurs) di negeri ini.
 Namun, ideologi dan falsafah pencasila serta prinsip BTI telah disalahgunakan secara langsung/sengaja atau tidak langsung sebagai cara (techniques), pendekatan (approaches)  dan alat pemungkas (destroying equipments) bagi kelompok-kelompok yang berseberangan dengan struktur supra dan yang memperjuangkan HAM, kebenaran dan keadilan. Adanya cap dan tuduhan tanpa fakta dan proses pengadilan sebagai anti dan musuh pancailais terhadap mereka yang berjuang demi kebenaran dan keadilan merupakan trik politik demi status quo.
Status quo berdasarkan strategi dan trik “buldoser” politik, yang sebenarnya merusak jiwa dan esensi Pancasila dalam struktur politik supra seperti itu, menjadi “langgeng dan berakar” yang melemparkan demokrasi dan HAM. Kelanggengan dan keberakaran strategi “buldoser”  itu tampaknya menggunakan kolaborasi kekuatan-kekuatan sipil dan non sipil yang menjadi alat politik struktur supra, yang tunduk dan mengabdi pada kepentingan ekonomi dan politik eksekutif, bukan seharusnya menjadi kekuatan atau alat negara, yang mendukung kepentingan bangsa dan rakyat.

Reformasi ABRI
Dengan bergemanya lonceng reformasi yang dimulai 1998, kita –bangsa ini—sangat beruntung dan bersyukur pada Allah dengan proses reformasi yang terus berjalan secara konsisten di tubuh ABRI. Kalau kita bangga dengan reformasi di tubuh ABRI yang terus berjalan dengan konsisten dan konsekuen sampai sekarang, tidak demikian halnya dengan proses reformasi di dalam tubuh struktur politik supra: Eksekutif dengan Birokrasinya, Legislatif dan Yudikatif. Ketiga unsur dari struktur politik di atas masih menjadi dan merupakan cengkraman “gurita raksasa tangan sejuta.”

Dua dekade sebelum era reformasi menguak di ufuk Timur, corporate militer dan kekuatan ABRI progresif yang bersumber dari kekuatan rakyat mulai menyadari kesalahan dan penyimpangan dari ideologi dan paradigm konstruksi sosial (social contruction). Beberapa ideoloog dan pemikir militer telah sengaja atau tidak sengaja demi kepentingan jangka pendek mereka dan penguasa mengarahkan ABRI ke paradigm dan ideology fakta social (socil fact) sehingga militer berkutat dengan Dwi Fungsi. Sebagai konsekuensibya, pergeseran paradigm itu  tidak saja membuat militer tidak professional dan terpuruk ke dalam dilemma politik praktis. Namun, kekuatan ABRI kita juga sangat tidak disegani dan tidak juga berwibawa di Asia Tenggara sekalipun. Paradigma dan ideology fakta social yang didasari pada paradigm positivisme menganggap militer adalah netral dan bebas nilai untuk dimanfaatkan oleh siapa saja demi kepentingan pengguna (users) untuk kepentingan politik mereka. Ini  menyebabkan militer  masuk ke dalam prangkap kepentingan ideologi dan alat politik penguasa.(Penulis dosen & Peneliti Senior FISIPOL UNTAN, dan
Alumni KSA VII/1998 LEMHANNAS, 1998)
     


No comments:

Post a Comment