Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, November 30, 2011

Etika Kebijaksanaan Toleran pada Penyimpangan

EDITORIAL Pontianak Post Senin 28 November 2011 mengangkat moralitas aparat yang memprihatinkan. Diilustrasikan seorang jaksa dan dua orang hakim yang bertindak asusila terhadap para perempuan yang sedang perkaranya mereka tangani. Kejadian itu serta sejumlah kasus lain yang mirip menunjukkan pengawasan melekat lemah. Disarankan agar tindakan para penegak hukum ini diproses secara hukum dengan tegas. Jika perlu sanksinya diperberat. Diingatkan juga agar semangat korps untuk melindungi aparat yang bersangkutan seharusnya ditinggalkan. Tindakan tegas semacam ini diharapkan menimbulkan efek jera. Benarkah!
Tindakan hukum setegas apa pun tidak akan menimbulkan efek jera bagi yang bersangkutan. Mengapa? Hingga saat ini, masyarakat Indonesia mengembangkan etika kebijaksanaan yang mengedepankan kerukunan dan kedamaian. Setiap orang diharapkan menjaga diri agar tetap rukun dengan yang lain. Karena, hanya dengan rukun itu kedamaian dapat diwujudkan.


Prinsip rukun menghendaki agar tidak terjadi konflik terbuka dengan siapa pun, baik teman sejawat maupun dengan yang lain, apalagi dengan atasan. Atasan dipersepsikan sebagai ‘wadah kekuasaan ilahi kosmis’. Karena itu, hubungan bawahan-atasan bersifat satu arah, atas pembawa berkah bawah penerima berkah. Tidak ada hak bawahan terhadap atasan. Akibatnya, semakin ke atas semakin meraja-lelalah yang bersangkutan. Rukun juga menjadi acuan tindakan. Setiap orang diharapkan menomorduakan kepentingan diri sendiri jika mengancam kerukunan. Karena itu, jika ada tindak pelanggaran reaksi negatif masyarakat hanya  membuat yang bersangkutan merasa malu bukan merasa bersalah.

Para pejabat, jika melakukan pelanggaran tidak akan merasa bersalah. Mereka hanya merasa sungkan dan mungkin merasa malu. Tidak lebih dari itu. Masyarakat umum bersikap toleran terhadap penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan para pejabat. Bahkan, sering terdengar cemoohan dilontarkan kepada mereka yang tidak toleran terhadap penyelewengan itu dengan berkata: ”Ya, kau tidak setuju karena kau tidak berkesempatan, jangan munafik” dst. Dengan itu, keprihatian Pontianak Post itu pun tidak akan diperhatikan oleh para penyeleweng. Mereka tidak menganggap tindakannya itu salah. Sebaliknya, tidakan itu dipandang sesuatu yang sudah biasa, sesuatu yang sudah lumrah (dilakukan oleh siapa saja yang saat itu sedang berkuasa). Jika seseorang tidak melakukan penyelewengan dianggap sebagai hanya masalah waktu dan kesempatan. Mereka dan juga masyarakat umum berpendapat, siapa pun jika punya kesempatan tentu akan menyeleweng. Karena itu, pengawasan melekat juga tidak dapat berbuat banyak. Bahkan para pengawasjuga  memiliki persepsi seperti itu. Mereka, para pengawas, mengatakan: ”Maaf, ini hanya menjalankan tugas yang diemban. Tidak lebih dari itu.”

Apa yang dapat dikerjakan? Bagi sebagian masayarakat yang masih menghargai diri sendiri sebagai manusia yang bermartabat hendaknya mulai ’menyebarkan virus’ etika kewajiban. Dalam etika kewajiban, setiap orang bernilai mutlak. Setiap orang wajib menghormati ’keutuhan’ pribadi seseorang termasuk diri sendiri. Sikap hormat ini menjadi prasyarat normatif  dari setiap kegiatan manusia. Setiap orang wajib menghormati orang lain. Setiap orang, tanpa kecuali wajib menghormati hak azasi orang lain. Setiap pihak menjalankan kewajibannya dan harus dihormati hak-haknya.Karena itu, setiap penyelewengan, betapa pun kecilnya dianggap melanggar hak orang lain, baik hak hidup, hak milik maupun hak atas kebebasan. Itu berarti melanggar kewajibannya. Karena melanggar kewajiban berarti yang bersangkutan bersalah.

Etika kewajiban tidak toleran terhadap penyelewengan, termasuk terhadap penyelewengan yang dilakukan oleh para penguasa, para pejabat dan oleh diri sendiri. Karena itu, jika terbukti melakukan penyelewengan yang bersangkutan akan mengundurkan diri dari jabatannya. Ia merasa bersalah. Itu berarti bertentangan dengan pendapat yang mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada kebudayaan mengundurkan diri, yang ada ’diundurkan, dicopot, dipecat atau dilengserkan.  Jika setiap orang Indonesia mengamalkan etika kewajiban ini penyelewengan dan tindak amoral dapat diturunkan intesitasnya. Masing-masing akan menjadi pengawas baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri. Pada gilirannya, mereka akan memiliki kepribadian yang kuat. Sehingga, sekalipun memiliki kesempatan seseorang tidak akan menyeleweng. Karena, setiap penyelewengan berarti merendahkan harga dirinya dan juga tidak menghormati orang lain. Semoga!

No comments:

Post a Comment