Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, November 8, 2011

Hanya Sebatas Baliho Dan Spanduk

Oleh: Hendrasyah Putra

Dalam pengalaman saya ke setiap kota yang pernah saya kunjungi (Jakarta-Depok-Bandung-Solo-Pontianak-Sungai Raya-Mempawah-Singkawang-Sambas-Sanggau-Sekadau-Sintang), gerbang kota (biasa juga disebut tugu selamat datang) adalah hal yang pertama kali selalu menyambut saya.Selain menandakan batas wilayah, sekilas setiap gerbang kota yang berdiri kokoh dan cantik itu menggambarkan secara umum pengaruh budaya yang mengakar disetiap kota tersebut. Indah memang, dan seakan gerbang yang bagus itu juga menggambarkan kondisi kemajuan dan perkembengan penduduk kota tersebut.
Selain gerbang kota, ada lagi hal lain yang bagi saya cukup menarik ketika berkunjung ke kota-kota tadi.  Selogan kota adalah hal yang cukup menarik perhatian saya. Selogan BESTARI dan PERMAI misalkan, jika melihat selogan yang biasanya dituliskan dalam prasasti yang terdapat pada tugu kota itu seakan membuai kalbu, begitu indah, damai, tentram dan sejahtera kota-kota itu.

Selain gerbang dan selogan kota, ada lagi sesuatu yang sekilas menggambarkan semangat dan tekad masyarakat kota tadi. Dalam pengalaman saya, Baleho dan spanduk juga biasanya menjadi andalan untuk menenangkan hati dengan kata-kata yang indah walau terkadang hal itu menambah semeraut kota. Ketika membaca kata-kata yang ada dalam baliho dan teman-temannya itu, harapan akan keburukan di bumi Indonesia ini serasa akan diberangus dan rakyat pasti terjamin kesejahteraannya. Biasanya hal ini saya temukan ketika hari-hari besar nasional dan tentunya ketika Pemilukada akan dihelat.
Saya memang tak pernah menjelajahi seluruh kota di Indonesia, tetapi sempat terlintas dipikran saya, apakah setiap kota-kota yang ada di Indonesia seperti itu juga? Jika iya, berarti sebenarnya setiap kota mempunyai ide dan semangat luhur dalam menciptakan Indonesia yang baik. Sempat terbesit dipikiran saya, apakah benar kesamaan itu pada semangat membaikan Indonesia atau hanya pada perilaku menuliskan selogan pada prasasti kota serta dalam baliho dan teman-temannya itu?
Dalam konteks Indonesia yang kekikinian, saya jadi  teringat dengan perkataan seorang pemikir diabad ke-18, Ia mengatakan bahwa realita itu adalah kenyataan yang terbalik. Terbalik dimana selogan dalam prasasti dan baliho beserta teman-temannya itu berbanding terbalik dengan citra Indonesia yang dikenal cukup buruk dimata dunia.
Kita sudah begitu terbiasa melihat, mendengar dan membaca pemberitaan tentang keburukan atau tindakan yang tidak baik di media massa atau secara langsung di bumi Indonesia, seakan perbuatan itu sudah tidak malu-malu lagi tampil telanjang menari-nari didepan mata. Mengutuk, mungkin itulah yang dilakukan masyarakat dalam menyikapi setiap tindakan kejahatan yang diberitakan oleh berbagai media. Dalam hati saya mengatakan, mengapa setelah sekian kali dikutuk tetapi aksi-aksi kejahatan yang menjadi sorotan dunia itu tetap saja timbul dan kian menjadi-jadi. Mungkin saya terlalu berharap dan berkhayal bahwa kutukan itu akan seperti apa yang menimpa Malinkundang.
Harapan dihati saya kian pupus ketika membaca  pemberitaan di Equator yang berjudul “Puluhan Warga Singkawang Tertipu sindikat penipuan CPNS”(Equator, 27/09/11 hal 9). Dari hati saya yang paling dalam, saya sedih atas terjadinya peristiwa ini. Bagaimana tidak sedih, sekitar 50 warga Singkawang yang melakukan persengkokolan jahat itu (bisa juga dikatakan permufakatan jahat) merasa ditipu Calo CPNS.
Saya bingung mengapa mereka merasa ditipu Calo CPNS? Bukankah sebenarnya mereka itu yang ingin menipu dengan jalan menyogok untuk menjadi abdi negara? Bukankah kita sebenarnya tahu bahwa perjanjian atau kontrak itu harus karena hal ikhwal yang baik? Bagi saya kejadian tersebut adalah kejadian yang sangat tercela, dimana 50 orang warga Singkawang itu melakukan persekongkolan jahat agar dapat duduk sebagai abdi negara.
Mengapa kasus ini saya katakan persengkokolan jahat? Hal ini desebabkan karena tindakan mereka itu dilakukan dengan sengaja untuk menjadi abdi negara dengan jalan yang jahat. Inilah sebenarnya yang membuat hati saya sedih, saya betul-betul tidak memahami apa yang ada dipikiran ke 50 warga Singkawang yang merasa ditipu itu. Sekali lagi saya tekankan, meraka itu bukan ditipu, tetapi persengkokolan jahat mereka itu gagal dilakukan.
Saya tidak bisa membayangkan jika ke 50 warga Singkawang itu berhasil dalam melaksanakan aksi persengkokolan jahatnya. Saya bisa pastikan ada 50 orang Indonesia yang baik, jujur dan punya potensi untuk membaikan Indonesia dengan jalan menjadi abdi negara akan hilang. Secara pribadi, saya juga sangat meragukan ke 50 warga Singkawang itu ketika menajdi abdi negara bisa melayani masyarakat dengan baik.
Kejadian ini bagi saya begitu ironi, ironi dimana 50 warga Singakwang yang melakukan persekongkolan jahat ini melaporkan gagalnya “niat jahat” mereka tersebut kepada Sofyan Fachri yang juga kepala BKD dan Diklat Kota Singkawang dengan alasan penipuan. Normalnya orang yang “niat jahatnya” ketahuan itu harusnya malu. Tetapi apa yang terjadi pada kasus ini malah sebaliknya dan bertindak seakan mereka itu di zholimi dengan cara di tipu oleh Calo.
Rasa malu yang biasanya ditunjukan oleh orang timur itu menjadi hilang. Saya tak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Saya sendiri sadar betul opini publik tentang adanya mafia CPNS. Saya sendiri tidak membantah opini tersebut, tetapi saya ingin menanyakan kepada kita semua, kemana rasu malu kita? Apakah hati nurani kita sudah mati? Apakah mencari rejeki dengan cara jujur itu tidak bisa?
Masyarakat yang tengah kehilangan rasa malunya dan menghalalkan segala cara itu harusnya diperbaiki cara pandangnya. Meraka itu harusnya ditindak tegas dengan diberikan sanksi atas niat jahatnya itu. Bagi saya pemberian sanski itu menjadi penting sehingga perbuatan mereka ini tidak diikuti oleh masyarakat yang lain, sehingga alasan “yang lain seperti itu, mengapa saya tidak” tidak lagi menjadi pembenar atas niat dan tindakan yang salah dalam masyarakat.
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak Sofyan Fachri, harusnya beliau tidak mengatakan “penipuan yang dilakuan sindikat atau sekelompok orang”. Beliau harusnya menegaskan dengan mengatakan kasus ini adalah persengkokolan jahat antara penyogok (50 warga Singkawang) dan makelar/perantara (Calo CPNS) dalam mencapai tujuan penyogok untuk duduk sebagai abdi negara dengan cara melawan hukum yang gagal dilakukan.
Saya sendiri berharap pihak kepolisian cerdas melihat kasus ini. Jika kita cerdas melihat kasus ini, maka kita bisa melihat bahwa kasus ini adalah kasus suap. Kasus ini sebenarnya sama halnya dengan kasus suap Wisam Atlet, dimana penyuap-nya adalah pengusaha (El-Idris), makelar/perantara adalah Mindo Rosalina Manulang dan penerima suap yang tertangkap tangan adalah Sesmenpora Wafid Muharam.  Walau dalam kasus ini tidak ditemukan penerima suap, tetapi yang paling penting adalah “niat jahat dan berencana” Calo dan 50 warga Singkawang itu.
Sadar atau tidak, buruknya pelayanan publik dan meningkatnya prestasi korupsi Indonesia dikancah dunia itu adalah hasil dari segala apa yang telah kita perbuat. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan kita hanya berhenti sampai pada mengutuk perbuatan jahat itu saja, tetapi kita tidak serius untuk mulai merubah diri kita untuk menjadi pribadi baik yang membaikan Indonesia dari kerterpurukan ini.
Mengapa juga saya tulis judul artikel ini hanya sebatas Baliho dan Spanduk? Hal itu dikarenakan kita hanya bisa berwacana saja, dan wacana itu hanya dituangkan dalam aksi pembutan baliho, spanduk atau pamflet saja. Kita lebih suka melihat kata-kata atau selogan anti kejahatan dan hal-hal yang membaikan Indonesia hanya tertulis diatas kain atau kertas.
Kita harusnya bertindak, bukan sibuk dengan pembuatan baliho dan teman-temannya itu serta memajangnya di penjuru kota. Bagi saya hal itu tidak berguna dan hanya menjadi pemborosan model baru. Bagi saya inilah klimaks dari ketidakseriusan kita sebagai warga negara dalam memberantas keburukan. Alih-alih mengutuk perbuatan jahat tetapi kita secara sadar turut membidani dan melahirkan perbuatan jahat dengan kedok “kami tertipu”.
Bagi saya hal terbaik yang harus dilakakukan adalah memulai bertindak untuk menghentikan semua perilaku dan niat buruk kita. Mimpi Indonesia sebagai negara yang sejahtera dan makmur itu bukan berakhir pada kata-kata yang dicetak diatas baliho, tapi mimpi itu berakhir dari sikap tindak dan keseriusan kita membaikan negara ini.





hendrasyah putra

No comments:

Post a Comment