Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, November 10, 2011

Seratus Persen Orang Katolik Indonesia

Oleh : Leo Sutrisno

DIBERITAKAN bahwa tahun ini, 8 November 2011, pemerintah menganugerahi tujuh orang anak bangsa terbaik gelar pahlawan nasional. Mereka itu adalah:
1. Syafruddin Prawiranegara (Alm) Tokoh Pejuang dari Jawa Barat
2. KH Idham Chalid (Alm)Tokoh Pejuang dari Kalimantan Selatan
3. Prof Dr Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) (Alm) Tokoh Pejuang dari Sumatera Barat
4. Ki Sarmidi Mangunsarkoro (Alm) Tokoh Pejuang dari DIY Yogyakarta
5. I Gusti Ketut Pudja (Alm) Tokoh Pejuang Bali
6. Sri Susuhanan Pakubuwono X (Alm) Tokoh Pejuang Jawa Tengah
7. Ignatius Josep Kasimo Hendrowahoyono (Alm) Tokoh Pejuang asal Yogjakarta.
Bagi sebagian pembaca mungkin belum begitu mengenal tokoh pejuang yang ke-7, almarhum Ignatius Josep Kasimo Hendrowahoyono, yang biasa disapa  ‘Pak Kasimo’. Tulisan ini sedikit mengenalkannya yang didasarkan pada buku “Biografi I.J. Kasimo: Politik yang bermartabat”, karya J.B. Soedarmanta [Penerbit Buku Kompas, Mei 2011]. Pak Kasimo, secara singkat digambarkan oleh Chris Siner Key Timu [hal. 296] sebagai: seorang tokoh masyarakat,  seorang tokoh pergerakan, seorang eksponen angkatan ’28, dan seorang negarawan.


Pak Kasimo dilahirkan pada tanggal 10 April 1900  dari keluarga Ronosentiko, seorang prajurit Mantrijeron, Kasultanan Yogyakarta. Pendidikannya dimulai dari Sekolah ’Ongko Loro’, di Kampung Gading yang berada hanya beberapa ratus meter dari rumahnya. Sekolah ini dikhususkan bagi Bumiputera.
Pada suatu hari sebelum liburan Puasa, tahun 1912, seorang tuan Belanda berkunjung ke sekolahnya. Tidak seperti tuan Belanda yang lain, tuan yang satu ini menyapa semua orang yang ditemuinya dengan bahasa Jawa. Ia menawari Kasimo melanjutkan sekolah di Muntilan. Tuan Belanda itu, ternyata Romo van Lith, Kepala Sekolah Guru di Kolese Xaverius Muntilan. Kasimo belajar di Kolese Xaverius hingga tamat kelas V. Karena tidak ingin menjadi guru, Kosimo melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pertanian Menengah Atas di Bogor hingga tamat pada tahun 1921.





Pak Kasimo diangkat menjadi pegawai gubernumen dengan jabatan aspirant landbauw consulent di perkebunan karet milik negara di Merbuh, kabupaten Kendal. Karena  berani mengatakan ’kera’ kepada  teman sejawatnya yang Belanda, pak Kasimo ’terusir’ dari perkebunan itu dan di-blacklist. Tetapi, berkat batuan Kepala sekolahnya di Bogor dulu, pak Kasimo dapat ditempatkan sebagai guru sekolah pertanian di Tegalgondo, Delanggu, Klaten.

Mulai dari sinilah, karir politik pak Kasimo bergerak. Pada tahun 1923, bersama beberapa kawan sealmamater Muntilan, Pak Kasimo mendorikan Pakempalan Politik Katolik Jawi. Ia menjadi sekretaris. Tahun 1924 ia terpilih sebagai ketua. Pada tahun 1931 ia diangkat menjadi anggota Volksraad-Dewan Rakyat. Dewan Rakyat  ini pada awalnya berfungsi sebagai penasehat Gebernur Jendral. Belakangan Dewan ini juga memiliki kewenangan  kolegislatif bersama Gubernur Jendral.
Dalam masa perjuangan ia bersama-sama dengan para pejuang yang lain ia menjadi anggota KNIP, Komite Nasional Indonesia Pusat, yang berfungsi sebagai parlemen sementara RI. Selanjutnya ia duduk diberbagai jabatan kenegaraan dan kepartaian. Pada tahun 1960 ia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Pada tahun 1970, pak Kasimo bersama tiga orang yang lain diangkat menjadi anggota Komisi Empat yang bertugas untuk meneliti dan menilai kebijakan serta hasil-hasil pemberantasan korupsi.

Usia semakin senja. Kesehatan mulai memudar. Setelah sempat berobat ke Belanda, pak Kasimo meninggal dengan tenang pada hari Jumat, 1 Agustus 1986 di RS Sint Carolus. Dalam sejarah hidupnya pak Kasimo sungguh seratus persen orang Katolik dan seratus persen orang Indonesia. Baginya, agama memberikan visi hidup, inspirasi, orientasi, serta motivasi hidup pribadi dan bermasyarakat. Menurutnya, politik akan bermartabat kalau benar untuk kesejahteraan bangsa.
Kesederhaan, jujur dan tekun bekerja menjadi ciri yang menonjol untuk menggambarkan dirinya. Bukan hanya sederhana dalam bertingkahlaku tetapi juga sederhana dalam cara berpikir sehingga mudah ditangkap dan dimengerti orang lain. Ia jujur dalam menjalankan tugas. Partainya tidak pernah digunakan untuk kepentingan dirinya. Ia juga jujur terhadap diri sendiri. Pada suatu waktu ia mengatakan pada diri sendiri bahwa sudah waktunya mengundurkan diri dari partai agar para juniornya berkesempatan menggantikannya. Ia juga tekun. Selama 55 tahun tekun bergerak melayani baik lawan maupun kawan dalam berbagai bidang. Ia tidak pernah mengeluh dan berkata kasar.

Buku doa yang tidak lepas dari kehidupanya adalah ’Padupan Kencana” sebuah buku doa Katolik berbahasa Jawa. Dalam buku itu tertulis ”Padha meleka lan sembahyanga, supaya aja tumiba ing panggodha”-Berjaga-jagalah dan berdoalah agar tidak jatuh dalam percobaan”[Matius 26,41].Ada empat hal yang diwariskan bagi para politisi Indonesia masa kini. Pertama, para politikus harus tulus menjadikan politik sebagai sarana perjuangan bagi kemerdekaan, bagi demokrasi, dan bagi kesejahteraan bangsa. Harus mampu memberi tempat dan kesempatan kepada pemimpin yang bermoral dan mau mengabdi untuk kesejahteraan bangsa. Dan, keempat, seorang politikus harus berpikir operasional tidak berpikir akademis dan teoritis saja.
Pesan itu mungkin juga sebagai pesan seorang pejuang yang mengedepankan sikap ”Sepi ing pamrih ramé ing gawé”. Suatu sikap yang kini mulai ditinggalkan banyak orang. Kedua, demokrasi bukan hanya sebagai tujuan tetapi sebagai sarana rakyat berdaulat. Ketiga, mekanisme kelembagaan bangsa Indonesia.**

No comments:

Post a Comment