Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, November 6, 2011

Kasus Sedot Pulsa; Konflik Air Mata & Mata Air

Oleh : Lianto


Kasus hukum mirip Prita Mulyasari kembali terulang. Kali ini melanda Mohammad Feri Kuntoro (36), warga Matraman, yang nekad melaporkan provider berbagai content untuk telepon seluler ke Polda Metro Jaya. Feri adalah satu diantara jutaan pemakai telepon seluler yang merasa tercurangi oleh sebagian content provider (CP) yang bekerja sama dengan operator dengan modus penyedotan pulsa. Tindakan Feri selaku korban mendapat serangan balik dari Colibri Networks selaku CP. Feri diadukan telah melakukan tindak pidana pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik, pasal 311 KUHP tentang fitnah, dan pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Tampaknya, tidak lama lagi, pertarungan antara pencucur air mata (rakyat kecil) dan penimba mata air (kaum terpelajar, berduit, namun tak beretika) akan kembali terulang.
Akankah nasib buruk Prita yang divonis bersalah pada tingkat kasasi kembali menimpa Feri? Nasib Feri sangat tergantung pada sejauh mana rasa dan nilai keadilan dan kebenaran dalam diri para penegak hukum di negeri kita. Setiap manusia sejauh dia manusia pasti memiliki nilai dan rasa itu. Masalah apakah dia menjadi perhatian utama bergantung pada hierarki nilai dan kepentingan yang dianutnya. Menilik berita-berita tentang masalah penyedotan pulsa, tampaknya pihak CP berambisi untuk memberangus semua hambatan yang dapat mengancam kelangsungan bisnisnya. Menurut kuasa hukum CP terkait, pihaknya tidak akan melakukan upaya komunikasi untuk menjelaskan duduk permasalahan. “Tidak ada kata damai, masyarakat harus belajar dari kasus ini,” tegas kuasa hukum PT CN. Setidaknya dapat dikemukakan tiga kemungkinan latar belakang di balik “garang”-nya para pelaku usaha menuntut balik pelaporan dari pelanggan.

Pertama, kemungkinan telah tertemukan “pasal-pasal karet” yang multitafsir dalam regulasi terkait yang dapat dimanfaatkan untuk menyetir jalannya perkara. Kedua, putusan bersalah yang dikeluarkan Mahkamah Agung kepada Prita Mulyasari diharapkan dapat menjadi yurisprudensi untuk menindak dan menghukum para konsumen rewel yang dianggap mencemarkan nama baik. Ketiga, the last but not least, jika Feri tidak digebuk, maka ancaman bagi keberlangsungan bisnis bernilai triliunan rupiah itu semakin besar.

Rumusan hukum positif negara mana pun punya keterbatasan. Pada waktu menyusun rumusan hukum, bisa terjadi si perumus belum memiliki gambaran serba lengkap tentang kondisi-kondisi yang berhubungan dengan hukum itu. Ditemukan ketidaksempurnaan dan celah di sana-sini yang memungkinkan ketidaksempurnaan penerapan kebenaran dan keadilan di masa depan. Dalam konteks ini, epikeia dibutuhkan untuk mengoreksi hukum positif yang belum lengkap dan atau multitafsir, yang oleh banyak pihak dinilai sebagai “pasal karet”.
Kata Yunani “epikeia” dapat didefinisikan sebagai tafsiran atas hukum bukan melulu berdasarkan apa yang tertulis, melainkan maksud dan semangat si perumus yang tersirat di dalam hukum itu. Epikeia dapat menjembatani jurang waktu penerapan hukum pada saat tertentu dengan saat hukum dirumuskan, ketika terdapat banyak kasus dan kondisi yang belum terpikirkan oleh si perumus. Seringkali wawasan si perumus hukum (pada saat tertentu) terlalu sempit dan atau kurang lengkap melihat sejumlah kemungkinan atau kekecualian. Keterbatasan bahasa juga acapkali menghambat keleluasaan untuk menerjemahkan maksud dan hakikat isi pikiran ke dalam bahasa formal. Penerapan epikeia dalam upaya menggapai keadilan di balik rumusan hukum menyaratkan ketulusan hati dari para praktisi hukum untuk mencari kebenaran. Tafsiran tersirat tidak bisa kontradiktif dengan yang tersurat.

Epikeia tidak dimaksudkan untuk mereduksi peranan suatu hukum, kendati di dalam praksisnya tampak seolah demikian demi mencapai kebaikan yang lebih besar. Kebaikan yang lebih besar bisa berbentuk rasa keadilan, kepentingan, atau pun kesejahteraan orang yang lebih banyak. Dalam konteks titik berat kesejahteraan umum, Thomas Aquinas bahkan memandang epikeia sebagai “virtue”. Dalam mengisi lubang ketidaksempurnaan hukum, epikeia bukanlah upaya pelarian diri dari hukum, melainkan tanggapan  dan akomodasi atas dan untuk hukum yang lebih agung, yakni keadilan.  Sebenarnya, gagasan epikeia tidaklah baru dalam produk hukum Indonesia. Gagasan ini terdapat dalam acuan yang ada pada KUHAP pasal 183 yang berbunyi, “Hakim dalam memutuskan perkara didukung minimal dua alat bukti dan keyakinan hakim.” Jika penegak hukum mau menggarisbawahi “keyakinan hakim”, kontribusi epikeia dalam mengisi kekosongan rumusan hukum akan semakin nyata.

Demi kebaikan yang lebih besar untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, semua orang yang peduli dengan keadilan sepatutnya turut dalam partisipasi publik untuk menciptakan people power. Kasus yang menimpa Feri, rakyat kecil korban penyedotan pulsa, harus dikawal oleh rakyat sendiri. People power sebagai buah bela-rasa terhadap keadilan harus ditampilkan. Kekuatan itu tidak bermaksud untuk mengintervensi supremasi hukum, melainkan justru menjadi pengawal agar para penegak hukum memprioritaskan fitrahnya sendiri, yakni keadilan dan kebenaran. Tia merupakan reaksi (bukan aksi) atas ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Rakyat memang belum sepenuhnya melek hukum, tapi mereka tidak mati rasa terhadap keadilan. Lebih gampang dipikirkan adanya segelintir penegak hukum korup yang tidak mendapat kepercayaan rakyat daripada kemungkinan adanya massa besar yang sekongkol membela ketidakbenaran.

Para penegak hukum, pihak-pihak yang bersekutu melawan rasa keadilan, dan segenap khalayak ramai, marilah merenungkan kata-kata sarat makna dari Pramoedya Ananta Toer ini: “Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminal, biar pun dia sarjana.” **

* Penulis, Dosen STIE Widya Dharma Pontianak



1 comment: