Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, November 6, 2011

Kemana “Ruh” Sumpah Pemuda?

Oleh: Syamsul Kurniawan

MENURUT sejarah pada tanggal 28  Oktober 1928 di Gedung Oost-Java Bioscoop, Jakarta diselenggarakan Kongres Pemuda II. Pada penutupan Kongres II ini, selain diperdengarkan Lagu Indonesia Raya oleh WR  Supratman melalui gesekan biolanya, juga dibacakan rumusan hasil kongres tersebut yang selanjutnya disebut sumpah  pemuda yang merupakan sumpah setia para pemuda masa sulit itu. Sumpah Pemuda dikumandangkan oleh pemudi-pemuda karena keterkaitan yang erat secara batin memiliki Tanah air satu, ber Bahasa satu dan ber Bangsa satu yaitu Indonesia. Mengapa hal ini dapat terwujud? Tiada lain karena pemuda kita saat itu memiliki kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi kepada Bangsa dan Negara Republik Indonesia tanpa pretensi lain.

Namun, melihat rupa-rupa krisis yang dialami bangsa kita saat ini, muncul pertanyaan: apakah rasa tanggung jawab kebangsaan pemuda saat ini telah hilang?. Kemana “ruh” sumpah pemuda pada hari ini? Perhatikanlah bagaimana perayaan Hari Sumpah Pemuda diperingati, kebanyakan hanya seremonial belaka. Tidak memberi inspirasi bagi kemajuan seluruh rakyat. Para murid berkumpul di halaman sekolah, lalu seorang siswa membacakan butir-butir sumpah pemuda, diikuti seluruh yang hadir, kata sambutan dari pimpinan upacara, selesai. Itupun kalau ada. Padahal, kondisi pemahaman masyarakat termasuk pemuda kita dalam memaknai sumpah pemuda sudah demikian tergerus, sama halnya dengan nilai-nilai nasionalisme di kalangan pejabat/ pimpinan yang semakin memudar.


Memudar di Era Reformasi?
Era reformasi semestinya menjadi momentum penting bagi persatuan bangsa, mengapa demikian? Kita tentu ingat bagaimana para pemuda dan mahasiswa yang datang dari kampus berbeda, dengan latar belakang berbeda, mereka kompak menyuarakan reformasi menumbangkan penguasa rezim Orde Baru tahun 1998. Tapi setelah itu rasa nasionalisme para pemuda dan ruh “sumpah pemuda” seolah-seolah semakin memudar. Nasionalisme, rasa persatuan dan persatuan di kalangan pemuda itu barangkali masih ada, tapi tidak dibina dan diberdayakan sehingga yang menonjol malahan sikap yang negatif, seperti narkoba, budaya tawuran yang kita lihat makin marak belakangan.

Kondisi demikian tentu juga merupakan kesalahan pemerintah dan para pendidik di negeri kita. Pengelola negara dan pendidikan tidak mampu membuat kebijakan yang dapat dijadikan pembelajaran. Nilai-nilai kepemimpinan dan keteladanan semakin tidak terlihat dari kalangan elite politik dan kekuasaan. Yang muncul adalah sikap egoistis dari para pejabat dan pengusaha yang semakin rakus/tamak menumpuk kekayaan, tidak memperlihatkan kepemimpinan dan keteladanan sehingga kalangan anak mudanya mengambil jalannya sendiri-sendiri.

Dalam kondisi bangsa yang kian terpuruk/miskin saat ini, utang negara makin banyak, pengangguran meningkat, kepastian hukum makin semu, dan mahalnya biaya pendidikan, maka semakin sulit untuk bisa menyadarkan masyarakat, khususnya di lapangan pemuda untuk menjiwai makna sumpah pemuda. Tak berlebihan jika dikatakan bangsa Indonesia saat ini “rapuh”, kehilangan jati diri, bahkan nyaris mencapai titik kelumpuhan sosialnya.
Saatnya kita merenungkan kembali perjalanan bangsa ini, bagaimana para pemuda di masa lalu bisa bersatu dalam kondisinya yang terbatas, belum ada lagi tanda-tanda kemerdekaan tapi mereka menyadari pentingnya persatuan guna memperkuat  pegangan menghadapi masa depan yang  lebih baik. Lahirnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 tidak terlepas dari perjuangan sebelumnya yaitu tahun 1908, di mana konsep dasar dari “Ruh” sumpah pemuda itu sendiri adalah persatuan dan kesatuan demi terwujudnya kemerdekaan Bangsa Indonesia. Munculnya konsep dasar tersebut didasari oleh adanya patriotisme dan nasionalisme dari rakyat dan pemimpin bangsa Indonesia.

Tumbuhnya jiwa kepahlawanan antara para pemimpin saat itu didasari dengan keikhlasan dan ketulusan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, hal ini tidak dalam bentuk kata-kata, tetapi dalam bentuk karya nyata yang dibeli dengan darah dan air mata, serta rasa tanggung jawab serta rasa memiliki terhadap rakyat dan negara Republik Indonesia. Mereka wujudkan semua itu dalam bentuk perjuangan “tanpa pamrih” sehingga menghasilkan generasi militan dalam perjuangannya, baik itu perjuangan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya. Dalam bidang politik kita kenal yang namanya Soekarno-Hatta, Muhammad Yamin, Sutan Syahrir, dan lain-lain. dalam bidang Sosial dan Budaya kita kenal tokoh militan seperti HAMKA.

Kita juga bisa melihat bagaimana para pemuda negeri ini di masa lalu dalam memaknai sumpah pemuda. Sekalipun mereka datang/ berasal dari berbagai daerah, tapi bisa menyatukan visi dan misi pentingnya kemajemukan, bukan untuk menampilkan ego masing-masing tapi bersatu meraih cita-cita. Meskipun suku bangsa kalangan pemuda kita berbeda, dari Young Ambon, Young Sumatra, Young Selebes, Young Java dan lain-lain namun mereka dapat bersatu untuk masa depan negerinya. Itu sebabnya mengapa makna sumpah pemuda menjadi bukti pengakuan kemajemukan perlu kita kembalikan, kita perkuat, kita kokohkan  kita isi kembali agar tetap melekat erat dan tidak kian memudar, khususnya di era reformasi sekarang ini.

Perlu Dibicarakan & Dihidupkan lagi
“Ruh” Sumpah Pemuda pada hari ini (era reformasi) perlu kembali dibicarakan, bukan dalam artian melepaskan diri dari cengkraman penjajah, tapi berusaha melepaskan diri dari “rasa ketidakadilan” yang dirasakan langsung oleh masyarakat Indonesia, baik dalam bidang ekonomi, politik dan sebagainya. Ambon, Papua, Kalimantan tidak akan terbelah bilamana komitmen kebangsaan terus dipelihara bersama dan pesta bom tidak akan terjadi kalau memang “keadilan itu merata di bumi nusantara ini”.

“Ruh” Sumpah Pemuda ini perlu dihidupkan lagi, dalam artian menghidupkan nilai-nilai persatuan, kesatuan bangsa Indonesia dalam bentuk “komitmen” terhadap “roh-nya” sumpah pemuda tersebut. Bagi pemuda saat ini nilai ruhnya Sumpah Pemuda memiliki makna yang berarti untuk dihayati, dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, dengan tidak berusaha membuat “kotak-kotak” dalam lingkup pemikiran kebangsaan, melainkan harus memiliki visi dan misi yang jelas bagi terciptanya moralitas bangsa Indonesia sejati.
”Oleh karena itu, maka kita pertama-tama haruslah mengabdi pada roh dan semangat itu. Ruh muda dan semangat muda yang harus meresapi dan mewahyui segenap kita punya perbuatan. Jikalau ruh ini sudah bangkit,  maka tiadalah kekuatan duniawi yang dapat menghalang-halangi bangkit dan geraknya, tiadalah kekuatan duniawi yang dapat memadamkan nyalanya,” demikian perkataan Bung Karno dalam Suluh Indonesia Muda, 1928.**

*) Penulis, Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini beraktivitas sebagai Dosen Luar Biasa di STAIN Pontianak.


No comments:

Post a Comment