Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, November 28, 2011

Memaknai Tahun Baru Hijriyah

Oleh: Moch. Sada’i.

Lazimnya dari dulu hingga saat ini tidak terlalu banyak yang peduli dengan tahun baru hijriyah. Tidak ada film dibuat, tidak ada terompet diproduksi, tidak ada jubelan masyarakat di tempat-tempat umum untuk menunggu dan merayakan detik pergantian tahun. Tidak ada blow up media besar-besaran. Apakah masih ada yang menjadikan pergantian tahun baru Islam ini sebagai titik perenungan untuk perbaikan?

Entahlah. Paling-paling yang diselenggarakan adalah perayaan seremonial formalitas yang mengusung spanduk SELAMAT TAHUN BARU 1433 H, keramaian lomba-lomba tertentu untuk menghibur diri atau ceramah secukupnya. Tahun baru Islam seringkali gagal menjadi tonggak perubahan. Seakan peristiwa paling bersejarah bagi umat Islam hilang begitu saja dari peredaran, momen hijrahnya Nabi dari Makkah ke Madinah.


Bukankah perubahan mendasar, radikal, reformatif –atau apapun namanya—itu yang sangat didambakan oleh mereka yang berpikir untuk kemajuan Islam dan Negara ini? Walaupun tidak sedikit pula yang merongrong kewibawaan Islam dengan kedok agama itu sendiri. Lihatlah betapa banyak mereka yang menyandang predikat terhormat dalam agama, tetapi azaz normatif dalam agama sengaja dipinggirkan, moralitas dikoyak, ajaran dikangkangi dan supremasi hukum agama diabaikan. Dahulu perubahan yang gegap gempita diperjuangkan dan diteriakkan dengan pengorbanan darah dan nyawa  di bawah kibaran bendera Islam oleh Nabi Muhammad serta mujahid yang lain dan dilanjutkan oleh pengikutnya, ,hari ini semangat itu seakan musnah. Semangat yang sempat membangkitkan optimisme dan harapan besar yang diusung oleh Rasulullah pada abad pertama Hijriyah seakan tidak menggema lagi. Tidak ada semangat untuk kembali bangkit di atas basis yang lebih sehat. Tidak ada perubahan yang signifikan, kalaupun ada,perubahan itu menggelinding terseok-seok dan kini terancam macet atau boleh jadi mundur.

Bagaimana dengan potret Islam negeri ini? Kalau umat Islam saja dari 200 juta lebih penduduk Indonesia berubah, pasti wajah ibu pertiwi kembali cerah. Tetapi menilik potret umat Islam Indonesia atau dunia Islam secara umum belakangan ini menjadikan kita harus menahan nafas optimisme itu. Bagi saya, gambar dunia Islam masih mendung cenderung bergerak ke gelap. Dari mana kita mesti merunut? Tadinya, terus terang, saya bangga dengan berkecambahnya intelektual dan kader muslim yang memainkan peran di arenanya masing-masing, namun kebanggaan itu segera saja menguap. Kalau saja mereka tetap di posisi menjadi benteng sesuai predikatnya, secara khusus mengembangkan kibaran bendera Islam secara maksimal, seperti yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh pendahulu, niscaya simpati umat Islam akan tetap dalam genggamannya. Namun sayang, para pemangku dan pembesar agama Islam kini bermain day today politic di arena dalam negeri dengan mengerahkan massa dan menggunakan simbol-simbol agama.Tahun-tahun belakangan ini adalah hari-hari pertarungan politik kekuasaan yang mencemaskan dalam konstelasi politik negeri ini.

Bergeser ke wilayah organisasi keagamaan dan parpol Islam membuat kita bakal menemukan pemandangan yang lebih memilukan. Dalam situasi Negara yang kacau balau oleh virus korupsi,  para politisi yang berteduh di bawah payung agama Islam malah bertarung terbuka dalam bidak permainan yang sama, tidak ada usaha untuk merubah system perampokan uang rakyat tersebut, bahkan lebih parah lagi . Politik kekuasaan memang seringkali membutakan mata hati dan akal sehat.

Indonesia saat ini adalah cerita tragedi peradaban manusia yang sangat memilukan. Setiap hari, hak orang-orang tak berdosa di negeri ini dirampas. Mereka dizalimi oleh para pejabat korup. Walaupun media banyak mengecam prilaku busuk ini, pencuri-pencuri itu seakan tidak bergeming sedikitpun karena hokum di negeri ini tidak berkutik. Kebiadaban menyengat sangat kuat. Pejabat, wakil rakyat, kelompok penjilat tak henti-henti menyalak mencari mangsa. Situasinya sangat komplikatif. Tidak jelas betul siapa makan siapa. Tahun-tahun ini, saya kira, Indonesia masih akan terluka.

Kemana lagi kita mesti menoleh? Mereka yang selama ini diharapkan mampu merubah wajah negeri ini malah menusukkan belatinya ke jantung ibu pertiwi yang membuatnya mati suri. Tokoh-tokoh agama yang digadang-gadang mampu mengedepankan moralitas dalam visi politiknya malah tergelincir dari rel ‘siyasah syar’iyyah’. Tokoh  muda, pengasuh pesantren, penjaga mushalla dan kaum pengajar malah ikut meramaikan kegamangan ini yang menambah carut-marutnya konstelasi politik nusantara. Ajaran agama tergadaikan, moralitas berada diruang hampa.

Rezim yang labil dengan kondisi ekonomi yang carut marut atau rezim yang sangat kuat dengan kontrol yang tidak memungkinkan kekuatan tandingan menjadi dua ciri menonjol negara dengan komunitas muslim terbesar sampai dengan pergantian tahun ini. Presiden SBY memang terlihat lebih progressif dalam pembangunan sosial ekonomi Indonesia. Proyek-proyek ekonomi berskala besar banyak diluncurkan, anggaran pendidikan dinaikkan, santunan sosial masyarakat miskin ditambah. Ada penyegaran geliat ekonomi yang kentara beberapa tahun belakangan. Namun, semua itu sangat bergantung niat baik presiden atau sekelompok penguasa. Ketika yang berkuasa berubah atau melampaui batas, siapa yang bisa mengontrol? Tidak ada!. Kalaupun ada, kontrol biasanya sangat lemah.

Lantas, apa artinya semua ini bagi umat Islam di tahun barunya? Terlalu muluk untuk berharap umat Islam bersatu diikat oleh keislamannya untuk dibumikan di dunia realitas. Terlalu banyak palang rintang sejarah yang harus dilompatinya. Kalau memang harus berharap –karena tidak putus asa--, setidaknya tahun ini bisa menggugah bahwa Islam-lah harta paling berharga yang kita miliki. Tidakkah kita mencoba untuk kembali mendalaminya buat mengarungi masa depan yang memang tidak mudah?

Sadai Mch <mch.sadai@yahoo.com>

No comments:

Post a Comment