DALAM kurun waktu tertentu dua kata, yakni; “Pendidikan dan Kebudayaan”, disingkat “Dikbud” sangat akrab dan digunakan dalam percakapan keseharian masyarakat kita. Sekalipun telah dipisahkan secara resmi oleh pemerintah, kata pendidikan dan kebudayaan disingkat dikbud masih sering digunakan oleh banyak orang, misalnya ketia mereka menyebut nama satu institusi. Beberata tahun terakhir, rangkaian dua kata tersebut dipisahkan, kata pendidikan tersendiri, sedangkan kata kebudayaan digabungkan dengan kata lain yakni kata pariwisata. Pada waktu itu banyak yang protes atas pemisahan dua kata tersebut. Dua kata tersebut adalah padanan kata yang sangat serasi dan diterima oleh banyak orang. Saat mengumumkan perombakan kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Susilo Bambang Yudhoyono selaku presiden RI kembali menggabungkan dua kata, yakni; “Pendidikan dan Kebudayaan” disingkat “Dikbud” yang sempat hilang untuk beberapa waktu yang cukup lama.
Ada sahabat mengirim sms kepada penulis, menyampaikan ucapan selamat, karena kebudayaan sudah dianggap penting oleh pemerintah dan telah diintegrasikan ke Kementerian Pendidikan. Penulis jawab, sejak dulu pemerintah sudah memperhatikan pembangunan bidang kebudayaan, dan pernah digabungkan ke dalam kementerian pendidikan dan terakhir sebelum digabungkan kembali atau masih berada di Kementerian Pariwisata sepertinya juga diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah memandang kedua bidang ini sama pentingnya, baik dulu hingga sekarang sama saja. Boleh jadi dimasa lalu ketika bidang kebudayaan berada di Kementerian Parawisata dan di Kementerian lainnya, justru pembangunan bidang kebudayaan lebih efektif dan efisien. Keinginan kita, tentu ada penjelasan yang lebih masuk akal dalam hal menggabungkan bidang pendidikan dan kebudayaan agar tidak dikatakan sekadar euporia masa lalu.
Menjadi penting dan bermakna, bukan sekadar alasan masuknya bidang kebudayaan ke dalam Kementerian Pendidikan sehingga menjadi satu kementerian, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan” melainkan yang terpenting makna dari sinergitas atau konvergensi dua bidang tersebut. Bapak Daoed Yoesoef mantan Menteri Pendidikan Nasional menegaskan kembali bahwa “kebudayaan adalah milik dan urusan semua orang. Oleh karena itu ia menjadi masalah yang harus ditangani secara efektif oleh pemerintah” dikutip dari TEMPO, 9 Mei 2010. Pada opini tersebut beliau menegaskan agar kebudayaan diurus lebih serius, karena pendidikan adalah sebuah proses pembudayaan manusia.
Setelah bidang kebudayaan berada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berarti keduanya telah diposisikan di tempat yang tepat dan benar, kebudayaan sudah tidak mati suri lagi karena selama ini dianggap sebagai benda mati yang memiliki nilai komoditas, makna kebudayaan dapat dipahami lebih awal oleh peserta didik. Selama ini, kebudayaan mengalami penyepitan makna karena pemerintah tidak memiliki strategi pengembangan kebudayaan yang jelas. Selama ini kebudayaan hanya diartikan sebagai kesenian yang berujung pada produk materiil dan komersial (Kompas, 19 Oktober 2011). Hal ini bisa saja terjadi sebagai akibat pemahaman masyaarakat yang kurang tentang kebudayaan.
Pendidikan dimaknai sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.Sedangkan kebudayaan dimaknai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat).
Merujuk definisi kebudayaan tersebut di atas, setidaknya terdapat tiga wujud atau bentuk kebudayaan; (1) tata kelakuan; berisi peraturan dan perundang-undangan, tata tertib, kebiasaan, adat istiadat dan sejenisnya; (2) hasil kelakuan, seperti karya seni, karya sastra dan karya-karya lainnya; dan (c) kelakuan itu sendiri; berupa perilaku dan karakter manusia.Terucapkan saat menyampaikan sambutan pengumuman susunan kabinet Indonesia Bersatu II, bapak presiden mengatakan Indonesia sekarang sedang membangun karakter. Sejak setahun yang lalu tepatnya tahun 2010 beliau telah mencanang pendidikan karakter itu. Terkesan kepada penulis apa yang beliau maksudkan dengan pembangunan bidang kebudayaan, salah satunya adalah membangun kelakuan melalui pendidikan atau pendidikan berbasis karakter.
Asumsi penulis, beliau telah mendapat masukan dari banyak pihak terutama tentang kemajuan pendidikan di beberapa negara Asia dan Erofa, seperti China, Jepang, Singapura, dan Finlandia. Kemajuan Ekonomi China karena mereka melakukan reformasi pendidikan. Li Lanqing ketika Menjadi Wakil Perdana Menteri China, beliau dijuluki sebagai bapak reformasi pendidikan China yang terbukti telah berhasil merombak sistem pendidikan di negeri itu menjadi pendidikan berbasis kebudayaan. Bapak Fasli Djalal mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional membenarkan bahwa keberhasilan China dalam dunia pendidikan karena negeri itu mengembangkan pendidikan berbasis kebudayaan dan sejak dini nilai-nilai tradisional ditanamkan ke dalam diri siswanya, dikutip dari Kompas. 19 Oktober 2011.
Untuk lebih jelas konsepsi pendidikan berbasis kebudayaan China dapat pembaca pelajari dari dua buku karya Li Lanqing, masing-masing berjudul “Education for 1.3 Billion” (2004) dan “Breaking Through” (2009). Di dua negara tersebut seperti yang pernah penulis kunjungi dan saksikan sendiri kebudayan; dipelajari, diamalkaan, dijunjung tinggi, dihormati dan dihargai. Segala karya sastra dirawat dengan baik di tempat khusus, setiap kejadian di masyarakat diusahakan untuk ditulis, dikoleksi dan menjadi dokumen penting bagi generasi berikutnya. Hasil kelakuan terlihat jelas dengan contohnya, kita melihat gallery yang disiapkan untuk menyimpan koleksi hasil kebudayaan dibangun sangat megah. Setiap orang dapat belajar mengenai kehidupan masyarakt sebelumnya.(Penulis, Dosen FKIP Untan)
No comments:
Post a Comment