Namun sayangnya outcome SMK tidak sesuai harapan. Pada Seminar Nasional Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) di Bandung beberapa tahun lalu, salah seorang narasumber menyampaikan hasil penelitian tentang efektivitas penyelenggaraan SMK, yakni sebagai berikut; “Kompetensi keahlian lulusan SMK tidak lebih baik dari lulusan SMA. Sekalipun berbeda hanya dalam waktu tidak lebih dari 3 (tiga) tahun. Setelah tiga tahun berikutnya, siswa lulusan SMA justru lebih cepat berkembang pengetahuan dan ketrampilannya, sementara siswa lulusan SMK cendrung stagnan. Dampak selanjutnya, banyak lulusan SMA menempati posisi lebih baik dan memperoleh penghasilan lebih tinggi di tempat mereka bekerja.”
Fenomena ini tidak hanya terjadi pada jenjang sekolah menengah kejuruan, melainkan juga terjadi pada jenjang pendidikan tinggi, sering dicontohkan lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) lebih adaptif terhadap perubahan yang terjadi sehingga mereka akses bekerja di banyak profesi dan sukses, misalnya tidak sedikit mereka sukses bekerja di perbankan, media, wirausaha, dan lebih aneh lagi mereka tidak bekerja di bidang pertanian. Keberhasilan IPB tersebut perlu dicontoh oleh perguruan tinggi lainnya di Indonesia, demikian permintaan Satrio Brodjonegoro Dirjen Dikti pada waktu itu.
Belum lama ini, Direktur SMK menyatakan, “telah tersedia 1.250.000 lapangan pekerjaan bagi siswa lulusan SMK. Pada waktu yang sama terdapat 900.000 siswa lulus SMK, diasumsikan sebanyak 100.000 siswa lulusan SMK tersebut melanjutkan studi ke perguruan tinggi, sisanya sebanyak 800.000 siswa lulusan SMK mencari pekerjaan. Kenyataannya lulusan SMK yang jumlahnya lebih kecil dari jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia untuk mereka tidak diisi, mereka tidak berhasil mengikuti seleksi karena dinilai tidak trampil dalam bekerja.
Faka tersebut mengindikasikan bahwa lulusan SMK belum memiliki ketrampilan sebagaimana pekerjaan yang ditawarkan kepada mereka atau karena sikap kemandirian dan kewirausahaan lulusannya yang masih sangat rendah, barangkali masih ada diantara mereka mempersepsikan bekerja adalah menjadi pegawai negeri. Lulusan SMK memiliki pengetahuan yang cukup, tetapi kurang memiliki ketrampilan dalam bidangnya masing-masing. Kompetensi lulusan yang demikian itu dikenal sebagai “SMK Sastra”, yakni SMK yang menghasilkan lulusan layaknya seorang pengarang atau penyair yang ahli bercerita tentang kehidupan manusia fiktif melalui media bahasa yang estetis, baik dalam bentuk prosa (novel, dan cerpen), roman dan drama.Pertanyaannya adalah mengapa “SMK Tidak Bisa? Padahal tidak sedikit uang dihambur atau dihabiskan untuk sebuah iklan “SMK Bisa”.
Jujur penulis akui, mereposisi SMK tidaklah mudah, karena; (1) perubahan dari waktu ke waktu semakin cepat atau kencang, kehidupan, masyarakat dan perekonomian semakin kompleks, tidak pasti dan tidak menentu. Sifat dasar pekerjaan berubah sangat pesat, jenis pekerjaan menghilang dengan kecepatan tidak terbayangkan, dan masa lalu semakin tidak dapat dijadikan pedoman atau pelajaran bagi masa depan; (2) mengukur mutu lulusan SMK tidak selalu dari bekerja atau tidak bekerja, karena persoalan tidak bekerja terkait banyak faktor, barangkali orang tidak bekerja karena tidak ada lapangan pekerjaan atau pekerjaan yang tadinya ada saat mereka lulus pekerjaan tersebut telah hilang.
Namun tidak bisa menapik bahwa kompetensi lulusan SMK belum memadai untuk bekerja, sekalipun mereka dari domain kognitif atau penguasaan ilmu pengetahuan sangat baik. Persoalannya adalah mereka kurang trampil bekerja, karena ketiadaan sarana dan prasana belajar; (3) Selain itu ketidak berdayaan SMK karena masih banyaknya guru SMK yang belum layak mengajar. Informasi terakhir menyatakan bahwa terdapat 986 orang guru SMK di Kalimantan Barat, dan sebagaian besar (80%) belum layak mengajar; (4) Fakta lain, kurang minat siswa masuk SMK Dibuka SMK Baru tetapi kurang peminatnya. Mereka yang masuk SMK bukanlah berasal dari siswa terbaik SMP/MTs, melainkan berasal dari siswa kelas II atau mereka masuk SMK karena tidak mampu bersaing masuk SMA; (5) kegagalan dan kesalahan adopsi inovasi pendidikan kejuruan, seperti Link and Mach atau Sistem Ganda yang digagas oleh Bapak Wardinam Djojonegoro. Menteri Pendidikan di waktu itu; (6) kemitraan yang kurang efektif antara SMK dengan dunia usaha sebagai akibat dari kemitraan yang tidak didasarkan atas prinsip; (a) adanya masalah bersama; (b) komitmen bersama untuk menyelesaikannya; (c) terintegrasi; (d) setara; (e) saling menguntungkan dan (f) untuk kebaikan bersama.
Untuk menjawab pertanyaan di atas SMK Bisa, maka reposisi pendidikan kejuruan sebagai upaya penataan kembali konsep, perencanaan, dan implementasi pendidikan kejuruan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mengacu kepada kecedrungan (trend) kebutuhan pasar kerja, baik lokal, nasional, regional, maupun internasional terus dilakukan.
Meningkatkan keprofesionalan guru, antara lain memberikan keahlian dalam profesnya. Menghasilkan lulusan SMK sesuai kebutuhan pekerjaan adalah penting, tetapi menghasilkan lulusan yang siap dilatih dan siap diajar jauh lebih penting.Peterson mengatakan sebaik apapun lembaga pendidikan tidak pernah mampu mempersiapkan peserta didiknya untuk tetap eksis dengan berbekalkan pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya, semua harus belajar kembali setelah lulus atau belajar terus menerus.
Rose dan Nicholl (2006) dalam bukunya “Accelerated Learning” mengatakan hal yang sama, bahwa “Keberhasilan pada abad ke-21 akan tergantung terutama pada sejauh mana kita dan anak-anak kita mengembangkan berbagai ketrampilan yang tepat untuk menguasai kekuatan kecepatan, kompleksitas dan ketidakpastian, yang saling berhubungan satu sama lain”. MacGilchrist, Myers dan Reed (2006) dalam bukunya “The Intelligent School” menegaskan esensi dari sekolah cerdas adalah tumbuhnya budaya belajar terus menerus untuk setiap orang, baik pendidik, tenaga kependidikan maupun peserta didk.”(Penulis, Dosen FKIP Untan)
No comments:
Post a Comment