Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, November 6, 2011

Pendidikan Paripurna dan Berkelanjutan

Oleh : dr. Soewarno

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang di perlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut ada tiga jalur pendidikan yaitu jalur pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan non formal adalah pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan juga mencakup 3 jalur yaitu kognitif, psychomotorik, dan apektif. Melalui 3 jalur tersebut pendidikan menghasilkan manusia cerdas, mandiri, dan berakhlak mulia, disertai dengan pertumbuhan dan perkembangan ketiga domain yang serasi, selaras, dan seimbang. Ketiga domain ini harus tumbuh dan dikembangkan secara terencana, terukur dan terpadu melalui semua jalur pendidikan, jenis dan jenjang pendidikan. Pendidikan yang tumbuh dan dikembangkan dengan mengedepankan dan memadukan kemampuan pikir (kognitif), keterampilan (psychomotorik), dan akhlak (apektif) inilah merupakan pendidikan paripurna.


Pendidikan paripurna ini akan memghasilkan manusia cerdas, mandiri, dan berakhlak mulia. Manusia cerdas, mandiri, dan berakhlak mulia adalah manusia yang dapat menggunakan akal secara sempurna dalam berpikir dan bertindak, tidak bergantung orang lain dalam mengerjakan sesuatu, tidak menyandarkan hidup pada orang lain, bertabiat, dan berbudi pekerti mulia. Manusia cerdas dan berkarakter mulia, dalam praktiknya hanya dipahami dan dimaknai dalam pengertian sempit yaitu hanya menyangkut domain kognitif saja, domain psychomotorik dan domain apektif sangat kurang mendapat perhatian.

Hal ini dapat dilihat dan tampak nyata pada ujian yang dilakukan di jalur pendidikan formal mulai tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Memang penilaian terhadap domain kognitif relatif mudah diukur, penilaian kemampuan kognitif merupakan penilaian sesaat terhadap materi pelajaran yang diujikan. Penilaian kemampuan psychomotorik juga tidak jauh berbeda dengan penilaian kemampuan kognitif, penilaian seperti memberi kesan bahwa kemampuan kognitif dan psychomotorik dianggap sebagai kemampuan statis. Padahal kemampuan kognitif dan psychomotorik tidak statis, tapi dinamis yang dapat dikembangkan dan seharusnya selalu dikembangkan melalui 3 jalur pendidikan sehingga mempunyai nilai tambah. Kemampuan apektif dapat diukur atau dinilai dari prilaku, sikap, dan tanggung jawabnya. Pemerintah dan masyarakat pada umumnya menganggap bahwa keberhasilan pendidikan diukur atau dinilai dengan ujian yang hanya mengutamakan untuk menilai kemampuan kognitif saja.
Hal ini dapat dilihat sikap dan respon pemerintah dan masyarakat terhadap hasil ujian. Kalau yang lulus banyak mendekati seratus persen dianggap hasilnya baik atau bagus. Domain apektif merupakan domain yang berkaitan dengan tabiat, akhlak atau karakter. Tabiat, perangai, dan sifat -sifat melekat dan berada dalam jiwa, ada yang sulit untuk diintervensi (dihilangkan), dan ada juga yang masih dapat diintervensi (dapat dihilangkan). Yang sulit dihilangkan tersebut akan merupakan karakter orang yang bersangkutan. Tabiat, perangai dan sifat-sifat tersebut ada yang baik misal adil, jujur, bertanggung jawab, sabar, penolong, suka kerja keras, dan sifat-sifat baik lain yang akan melahirkan atau mewujudkan akhlak mulia atau karakter mulia. Sebaliknya, tabiat, perangai dan sifat-sifat yang jahat akan melahirkan atau mewujudkan karakter jahat. Manusia dalam kehidupannya mempunyai tabiat, perangai dan sifat-sifat yang baik sekaligus juga mempunyai tabiat, perangai dan sifat-sifat yang jahat.

Dalam pendidikan melalui jalur formal, tabiat, perangai, dan sifat-sifat baik harus ditumbuh dan dikembangkan. Akhlak mulia harus ditanam dan dikembangkan sejak dini, tidak putus-putus dan berkelanjutan. Pendidikan akhlak (karakter) harus mendapat perhatian dan prioritas utama dalam pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan usia dini dan pendidik dasar. Tabiat, perangai, dan sifat-sifat jahat yang tertanam di usia dini dan di usia anak sekolah dasar akan sangat sulit untuk dihapus atau dihilangkan.
Domain apektif harus ditanam dan dikembangkan melalui pembiasaan, pembinaan dengan contoh-contoh perilaku yang baik. Domain apektif ini yang telah diajarkan dengan baik di jalur pendidikan formal, tetapi pengaruh melalui jalur pendidikan nonformal dan informal dapat sangat bermakna atau pengaruh sangat dominan. Sifat tidak disiplin, bohong, suka melanggar peraturan dan etika moral, dan sifat-sifat jahat lain yang ada di lingkungan masyarakat dan keluarga sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan karakter.
Paradigma atau anggapan bahwa pendidikan karakter atau akhlak merupakan tanggung jawab pendidikan formal saja adalah anggapan yang kurang tepat. Justru pendidikan karakter lebih banyak merupakan tugas atau beban pendidikan nonformal dan informal. Anak usia dini dan anak usia sekolah dasar sebenarnya sudah mendapat pendidikan akhlak yang baik di sekolah formal, tetapi sayangnya setelah berada di luar pendidikan formal, maka hidup dalam lingkungan masyarakat dan lingkungan keluarga yang situasi dan kondisinya bertentangan dengan lingkungan sekolah. Akhlak jahat menjadi dominan dan dapat mengalahkan akhlak mulia. Korupsi, kolusi, nepotisme, pembohong, munafik, dan malas merupakan contoh bahwa kemampuan kognitif yang baik tidak menjamin terwujudnya manusia berakhlak mulia. Karakter jahat seperti KKN dan pembohong banyak dijumpai pada manusia yang berpendidikan tinggi, dan menyandang gelar S1, S2 dan S3. Sayangnya pemerintah di orde reformasi justru sangat menghargai dan menghormati orang berijazah sarjana, tanpa memperhatikan keterampilan apalagi akhlaknya.
Pendidikan merupakan usaha dan terencana untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi dirinya sepanjang hidupnya, pendidikan merupakan usaha yang paripurna dan berkelanjutan. Berkelanjutan harus dimaknai bahwa pendidikan tidak hanya melalui sekolah dan perguruan tinggi, tetapi yang sangat penting dan berpengaruh adalah pendidikan melalui jalan nonformal dan informal. Pendidikan melalui jalan nonformal dan informal kurang mendapat perhatian pemerintah, bahkan nyaris tidak mendapat perhatian pemerintah. Sudah cukup bukti bahwa seorang yang hanya menyelesaikan pendidikan formal sampai pendidikan menengah bahkan ada yang hanya sampai pendidikan dasar saja tetapi dapat mencapai prestasi setingkat dengan yang berijazah sarjana, dan memegang jabatan pimpinan atau manajemen. Penilaian melalui ujian yang hanya menilai kemampuan kognitif, dan sedikit kemampuan psychomotorik, sudah harus dilengkapi dengan kemampuan apektip-nya.
Penilaian seharusnya merupakan penilaian paripurna dan berkelanjutan. Jangan terlalu berlebihan menghargai ijazah, karena ijazah umumnya hanya merupakan penilaian domain kognitif saja dan sifatnya statis. Pemerintah dan masyarakat idealnya memaknai pendidikan secara paripurna dan berkelanjutan. Penilaian hasil pendidikan atau hasil belajar melalui ujian yang berlaku seperti sekarang ini mungkin perlu dipertimbangkan kembali. **
* Penulis, Anggota Dewan Pendidikan Propinsi Kalimantan Barat.





No comments:

Post a Comment