Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, November 23, 2011

Relasi Emosi Indonesia-Malaysia

TAK hanya di dunia nyata, lapangan bola, di dunia maya, media sosial, pendukung tim Garuda Muda dan Harimau Muda berseteru. Sebagai hiburan, tentu SEA Games ke-26 menarik karena pertemuan dua negara serumpun memantik emosi. Di facebook, warga dua negara mengganti foto profil dengan lambang garuda dan harimau kuning, dari kalangan biasa hingga elite.

Betapa, melalui Twitter, Novriantoni menyebut pertarungan akhir antara dua tim ini sebagai jihad besar bagi Indonesia. Khairy Jamaluddin, ketua pemuda UMNO, pun tak kalah bersemangatnya dengan menyuntik semangat warga jiran melalui Twitter-nya seraya mengolok-olok mungkin setelah kalah pada babak penentuan grup, #malaysiacheatlaser akan menjadi trending topic.  Namun, di dunia Twitter, trending topic dimenangkan #otw GBK dan


#forzaindonesia, bukan #harimaumuda#. Tampaknya, pengguna Twitter di Malaysia tak menggelorakan auman Harimau Muda. Andaikan itu pertanda kemenangan, tentu Indonesia dengan mudah membuat Malaysia tersungkur. Tapi, bola itu bundar dan berada di dunia nyata. Meramalkan kemenangan adalah menyodorkan dua pilihan: menang atau kalah. Tim besutan Rahmad Darmawan menelan kekalahan. Bahkan, trio penyerang Garuda Muda tak bisa membobol gawang Khairul Fahmi Che Mat di babak penentuan sehingga memaksa dua tim untuk beradu tendangan penalti. Lagi-lagi, timnas muda ini tak meraih emas.

Sebagai negara-bangsa, Malaysia masih keteteran. Di sana warga Tionghoa sebagai pengguna internet tak turut merayakan kebesaran Harimau Muda, demikian pula meskipun pelatih Malaysia besutan Ong Kim Swee itu berdarah keturunan, namun ia tenggelam ditengah pemain Melayu. Warga Tionghoa tak begitu antusias. Pendek kata, permainan bola di negeri tetangga belum mampu menyatukan rakyat.Tentu, ini merupakan tantangan bagi Najib Tun Razak yang  memperjuangkan Satu Malaysia, dimana batas etnik luruh dalam satu dengusan napas.

Persaingan Serumpun
Perseteruan dua negara ini hampir tidak pernah berhenti, selalu saja muncul tenggelam terkait dengan banyak isu, klaim kebudayaan, buruh migran, dan perbatasan. Adalah tak aneh jika masalah kepemilikan batik, reog, angklung tiba tiba menjadi isu.Bola sebenarnya tak mempunyai kaitan dengan semua itu. Namun, adukan emosi seperti ini akan membangkitkan  dukungan sehingga ratusan ribu pendukung Harimau Muda menyemuti Stadion Gelora Bung Karno.

Bagaimanapun, persaingan serumpun sepatutnya tak lagi berkutat pada masalah apakah lagu Rasa Sayange itu milik Indonesia atau Malaysia, sementara lagu tersebut lahir sebelum dua negara ini lahir. Prof Sohaimi Abdul Aziz, dosen Universitas Sains Malaysia, menyanyikan lagu ini semasa kecil. Dia telah menjadi ekspresi kebudayaan.

Demikian pula, Prof Mohamad Haji Salleh tak kikuk menyusuri pantun dan peribahasa di seluruh Nusantara karena sastrawan ternama Malaysia ini berkakek asal Madina, Medan. Merampas hak mereka untuk menikmati karya nenek moyangnya adalah ketidakadilan yang terang-benderang. Karena itu, Muhammad menegaskan bahwa sastra menjadi pemersatu Malaysia dan Indonesia sebagai bangsa serumpun di gugusan Nusantara. Peraih hadiah Sasterawan Negara ini mencontohkan bahwa Sulalat al-Salatin karangan Tun Seri Lanang mengandaikan tautan negara bagian Pahang dan Aceh sekarang. Saat Pahang diserang Kesultanan Samudra Pasai, hampir semua bangsawan Melayu Pahang –termasuk Tun Sri Lanang– dibawa ke Aceh. Berkat kecerdikan Tun, penguasa Aceh menjadikannya sebagai penasihat dan diberi wilayah kuasa di Samalanga tempat tokoh tersebut mengarang Sulalat al Salatin.

Perang Lain
Mungkin sepak bola bisa dijadikan ukuran untuk menilai kemajuan dua negara itu meskipun tidak dimasukkan ke dalam Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Bagaimanapun, peringkat PSSI (Persatuan Se pakbola Seluruh Indonesia) berada di atas FAM (Football Association of Malaysia). Rekor pertemuan kedua tim juga ma sih memihak Indonesia. Bahkan, kemenangan Malaysia juga belum mengubah posisi itu. Tetapi, Malaysia berada jauh lebih baik dalam penyediaan ruang publik untuk rakyat bermain bola. Sementara, menurut kesaksian Gunawan Mohamad dalam kicauan Twitter, banyak lapangan sepak bola di sini telah beralih fungsi menjadi mal atau bangunan komersial yang lain.

Belum lagi, dalam persaingan di bidang pendidikan, kesehatan, dan gaya hidup, Indonesia telah jauh tertinggal karena Malaysia menempati posisi ke-61. Bandingkan dengan negeri ini yang terpuruk di 124. Jadi, kalau kita ingin bersaing dengan negeri jiran adalah naif jika kita selalu menyanyikan lagu lama, seperti klaim kebudayaan, buruhmigran, danperbatasan.

Mengenai masalah tenaga kerja Indonesia di Malaysia, seharusnya Departemen Tenaga Kerja dan Trans migrasi bekerja keras agar persoalan buruh di negeri jiran itu diselesaikan secara terukur dan bermartabat. Demikian pula, kedaulatan perairan dan daratan harussegera diselesaikan oleh tim kerja yang dibentuk atas kesepakatan kementerian luar negeri masing-masing. Rakyat jangan dijadikan pion dari percaturan ini.

Jadi, perang masa kini tak lagi dengan senjata dan menggertak, tapi upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Demikian pula kesadaran bahwa kebudayaan adalah hak milik yang tak bisa  dipatenkan adalah kenyataan yang harus diterima agar kita tak selalu mendengungkan tuduhan pencurian. Apalagi banyak pelaku kebudayaan di Malaysia yang bernenek moyang daerah se antero Indonesia, seperti Aceh, Minangkabau, dan Jawa.Justru, kita harus memanfaatkan diaspora untuk menarik mereka kembali ke akarnya, yang ini berarti menyuburkan dunia pariwisata, yang juga masih jauh tertinggal dengan negeri bekas jajahan Inggris itu. Maukah kita menemukan musuh pada diri kita sendiri?(Penulis Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia)

No comments:

Post a Comment