Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, December 11, 2011

Kekuataan Maaf Memaafkan

Oleh: Aswandi

MEMAAFKAN dan meminta maaf sama pentingnya. Keduanya adalah perbuatan mengulurkan diri kita karena kita lebih mementingkan hubungan yang kita bina ketimbang kebutuhan untuk meraasa atau menjadi benar. Memaafkan adalah ciri orang baik, Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an; (1) Surah Al-Imran:134 berbunyi, “Orang yang memaafkan kesalahan orang lain, dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan; (2) Surah At-Taqabun:14 menyatakan  “Jika kamu maafkan dan santuni serta ampuni mereka, maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang; (3) Surah As-Syura:40 berbunyi, “Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang sertimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah Swt”.

Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Allah pasti menambah kemuliaan kepada seorang hamba yang memiliki sifat memaafkan. Tidak ada balasan bagi seseorang yang rendah hati kepada Allah, kecuali Allah meninggikannya”.

Nabi Muhammad Saw, adalah seorang utusan Allah yang suka memaafkan. Rasulullah Saw memaafkan pembunuh Hamzah ra, Abdullah bin Ubai, Tsumamah bin Atsal, Hathib bin Abu Balt’ah, Ikrimah dan Abu Jahal, Abdullah bin Abu Sarah, memaafkan seorang Yahudi yang menyihir beliau, memaafkan perempuan Yahudi yang meracun beliau, memaafkan laki-laki Badui yang kencing di masjid dan menarik kain beliau dengan keras, memaafkan seorang musyrik yang hendak membunuh beliau.


Sikap pemaaf beliau diikuti oleh para khalifah (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) serta para sahabat Rasulullah Saw dan orang-orang shaleh lainnya.  Nelson Rolihlahla Mandela seorang pejuang menentang penindasan rasial di Afrika Selatan meraih hadiah nobel perdamaian dan jabatan presiden di negaranya dikenal luas oleh dunia karena sifat pemaafnya. Menjelang pembebasannya di tahun 1990 setelah dipenjara lebih 27 tahun oleh pemerintah Apartheid. Ditanya, apa yang pertama dilakukan setelah memperoleh kebebasan tersebut. Satu jawaban pasti yang menggetarkan seantero dunia dan mengundang para pemimpin dunia untuk menghadiri acara pelantikannya menjadi presiden, yakni keinginan yang kuat untuk memberi maaf atau pengampunan bukan meminta maaf kepada semua orang yang pernah menyakitinya, demikian Nelson Mandela (2000) dalam outobiografinya berjudul; “Menuju Jalan Kebebasan”.
Abraham Lincoln juga dikenal seorang pemimpin sejati karena kepribadiaan pemaafnya. Suatu ketika beliau  meminta maaf kepada Kolonel Scott karena sebagai seorang presiden atau pemimpin merasa telah berkata kasar dan tidak sopan kepada bawahannya.
M. Quraish Shihab dalam bukunya “Wawasan Al-Quran” memberikan sebuah penjelasan yang sedikit beerbeda mengenai dua terminology memaafkan tersebut.. Beliau mengatakan bahwa kata memaafkan (Al-Afw) dalam Al-Qur’an sebanyak 34 kali yang bermakna keterhapusan. Memaafkan berarti menghapus luka atau bekas luka yang ada di dalam hati. Ternyata tidak ditemukan satu ayatpun yang menganjurkan agar meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah untuk memberi maaf atau memaafkan. John Kador (2011) dalam bukunya “Effective Apology’ menegaskan bahwa melukai dan terlukai perasaan adalah bagian tak terpisahkan dari keberadaan kita sebagai manusia. Hal ini mengindikasikan tidak perlu menanti permohonan maaf dari seseorang yang bersalah, melainkan memberi maaf atau memaafkan sebelum diminta.
Terlepas dari perbedaan tersebut, permintaan maaf yang tulus tidak untuk mencari pembenaran, membela diri, atau berusaha membuat kesalahan yang telah dilakukan terlihat lebih ringan.
Meminta maaf merupakan reaksi sempurna manusia terhadap ketidaksempurnaannya. Dan meminta maaf harus dipandang sebagai pilihan pertama, bukan pilihan terakhir karena permintaan maaf, setidaknya manipestasi dari; (1) kebaikan sang peminta maaf; (2) petanda sebuah kekuatan bukan kelemahan; (3) ada harga yang harus dibayar, namun harga tersebut jauh lebih murah ketimbang usaha pembelaan diri dan membayar sebuah kebohongan; (4) ketrampilan yang sangat penting bagi para pemimpin dalam mengembangkan akuntabilitasnya; dan (5) mendorong kepemimpinan yang lebih terbuka...
Hal ini berarti memaafkan merupakan kebutuhan spiritual setiap orang yang akan selamat hidupnya baik di dunia maupun di akhirat. Orang bijak berkata; “Semakin lama anda memberi maaf, semakin cepat kelemahan anda dikatakan sebagai kejahatan”. Sementara tidak pemaaf atau gemar membalas adalah racun yang mematikan. Mereka akan kehilangan kesenangan, ketenangan, dan ketentraman dalam hidupnya.
Tempo dulu,Jika ada sesuatu yang tidak beres, hal pertama yang cendrung dilakukan oleh banyak orang adalah mencari orang lain untuk disalahkan dan memintaa maaf dihindari karena dipandang sebagai pengakuan kelemahan dan kekalahan. Dewasa ini berbeda, meminta maaf semakin dilihat sebagai manifestasi dari ssebuah kekuatan, karakter dan integritas seseorang. Meminta maaf merupakan sebuah ketrampilan kepemimpinan, Namun sayang, masih kita jumpai, tidak sedikit pemimpin di negeri ini yang hatinya sekeras batu, kalah atau menang saat pilkada tetap saja mereka bermusuhan, semestinya mereka saling memaafkan karena “memaafkan adalah pintu terbesar menuju terciptanya rasa saling mencintai diantara sesama manusia”, demikian Mahmud al-Mishri (2009) dalam kitabnya “Mausu’ah min Akhlaqir Rasul”. Tidak memaafkan adalah racun yang mematikan, mereka akan kehilangan kesenangan, ketenangan, dan ketentraman dalam hidupnya.
Permintaan maaf yang efektif tidaklah mudah. Terdapat tiga ciri yang memberikan daya menyembuhkan pada sebuah permintaan maaf; (1) permintaan maaf adalah sesuatu yang harus dipraktikan dan tidak sebatas diucapkan, melainkan dilakukan  dalam konteks sebuah hubungan. (2) permintaan maaf menuntut kita untuk mengulurkan diri, menjangkau sesuatu yang lebih besar dari kita demi kebaikan hubungan yang kita bina; (3) permintaan maaf menantang kita untuk merendahkan hati. Oleh karena itu, kekuatan maaf memaafkan setidaknya terdapat pada lima dimensi permintaan maaf yang efektif, yakni; (1) Pengakuan dalam arti menyadari dan mengakui adanya pelanggaran; (2) Tanggung Jawab terhadap konsekwensi perbuatan; (3) Penyesalah sang pelaku atas kesalahannya; (4) Penggantian kerugian dalam arti usaha memulihkan kembali hubungan sebelum merusaknya, dan (5) Pengulangan sebagai tindakan pemberian kepastian pada korban bahwa pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya. Dalam terminologi agama, dikenal dengan sebutan ”Taubat” yang berdimensi; mengakui kesalahan, tidak mengulangi kesalahan tersebut, dan melipatgandakan amal perbuatan baik

.(Penulis, Dosen FKIP Untan).

No comments:

Post a Comment