Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, December 9, 2011

Mahasiswa Idealis & Dinamika Organisasinya

Mahasiswa idealis, masih adakah? Adalah pertanyaan yang mungkin dapat menjadi simbol dari runtuhnya ”kekuatan” mahasiswa saat ini. Yang dikenal kritis terhadap apapun dan siapapun. Berani dan menjadi pelopor perubahan sosial (agen of change). Pertanyaan diatas menjadi awal dari diskusi kita pada kali ini. Yang sengaja penulis angkat sebagai grand yang sebenarnya sudah lumrah menjadi pembicaraan di beberapa kalangan. Terutama kalangan aktivis kampus.

Berbicara realitas kehidupan, secara umum mahasiswa kini tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kebutuhan dan tuntutan kehidupan pada hari ini. Yang senantiasa menuntut setiap orang tak terkecuali mahasiswa untuk dalam bahasa kasarnya ”bertahan hidup” ditengah himpitan kondisi yang ada. Makanya tidak dapat kita salahkan juga jika ada mahasiswa yang tujuan dan motivasi awalnya untuk kuliah adalah hanya untuk mencari titel semata. Tanpa mampu mengukur kualitas kepribadian dan skill ketika menyandang gelar atau titel yang diraih. Meskipun mengingat saat ini gelar yang disandang juga tidak menjadi jaminan untuk mendapatkan lapangan kerja sesuai dengan yang diinginkan.  

    Mencari sosok mahasiswa yang idealis tentu sangat sulit, apalagi di era seperti ini. Namun bukan berarti sosok tersebut tidak ada. Sekali lagi jika melihat serta berkaca pada realita kehidupan detik ini. Pandangan yang mengatakan bahwa sebenarnya menyandang status sebagai mahasiswa itu sangat sulit, kini tidak lagi menjadi sebuah tanggung jawab yang berat bagi sebagian besar mahasiswa. Sebagian menganggap status ini hanyalah soal tuntutan kebutuhan yang mengharuskan kita untuk melewati jenjang pendidikan setinggi mungkin untuk mendapat lapangan pekerjaan yang layak dan status sosial yang dinginkan. Dan sekali lagi meskipun sama-sama kita ketahui bahwa aktor utama dari keruntuhan negara pada hari ini dilakukan oleh orang-orang bertitel tinggi.  
Yang ingin saya sampaikan adalah hari ini mahasiswa menjadi sebuah entitas dan menjadi kelas sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Kelas ini dalam artian mahasiswa menjadi satu kelompok elit yang terkesan kebiasaannya hidup dalam dunia glamour dan mewah. Hal ini dapat kita lihat penggambarannya dalam realita perfilman Indonesia yang selalu mengesankan bahwa mahasiswa adalah satu kalangan yang hanya sibuk dalam urusan dunianya. Percintaan, mode, dunia malam, narkoba dan sebagainya. Tanpa mengerti atas kondisi sosial dan ketimpangan nyata yang terjadi disekitarnya. Tak banyak mahasiswa yang mau duduk sama rata dan berdiri sama tinggi dengan ”kaum tertindas” yang termarginalkan di negeri ini.
    Kini masyarakat menilai yang menjadi ”musuh” atas penderitaan mereka bukan hanya penguasa, namun salah satunya juga mahasiswa. Kenapa? Selain sudah semakin meluasnya sikap apatis tersebut, mahasiswa juga terkadang dianggap hanya menjual penderitaan yang mereka alami. Yang kemudian disuarakan (aksi) demi membela kepentingan tertentu. Sosok mahasiswa idealis tidaklah menjadi satu pekerjaan rumah yang harus sama-sama diselesaikan. Namun, yang terpenting adalah bagaimana peran mahasiswa dapat kembali dirasakan oleh siapapun. Terutama menjadi pembela sesuatu yang benar. Karena mahasiswa dianggap memiliki nilai, keilmuan dan status pendidikan yang baik.
Keberadaan organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan kini juga tidak dapat menjadi simbol dari keberpihakan (terhadap rakyat) tersebut. Sebuah pertanyaan, apakah hari ini organisasi-organisasi tersebut hanya mampu berorasi di jalan tanpa mampu memberi ide solutif dari persoalan yang ada. Namun evaluasi terhadap kebijakan juga tentu tidak hanya menjadi sebuah realita yang cukup selesai di meja. Harus juga menyentuh pada tataran realita di lapangan yang menjadi orang pertama dan merasakan langsung dari kebijakan yang dibuat.
Mahasiswa idealis seperti yang menjadi pengertian umumnya adalah mahasiswa yang tetap teguh berpegang pada independensinya. Yang tetap bebas menyuarakan dan mampu menilai serta bertindak atas realita yang berjalan tidak sesuai seperti yang dikehendaki bersama. Mahasiswa yang tidak berpihak pada kelompok apapun yang dianggap memiliki kepentingan selain keberpihakan pada kebenaran dan masyarakat. Dan meskipun kita ketahui bersama bahwa sesungguhnya tidak ada mahasiswa yang murni idealisme dan independensinya.
Pengaruh apatisme yang semakin meluas pada mahasiswa dan pemuda juga menjadi penyebab awal tergerusnya nilai kemahasiswaan. Apatisme ini tentu dirasakan oleh seluruh aktivis kampus, baik di organisasi internal maupun eksternal. Bahkan yang sudah menjadi anggota dari organisasi pun terkadang setengah-setengah dan tidak mau beraktivitas karena statusnya bukanlah sebagai pengurus. Ini menyebabkan tidak jarang organisasi tersebut hanya berlaku dan menjadi milik pengurusnya semata. Sehingga tidak dipungkiri sulit untuk mencari generasi baru yang siap meneruskan perjuangan organisasi tersebut. Harus diakui minat untuk belajar di organisasi kini sudah sangat rendah.
Ketergantungan terhadap senioritas adalah menjadi wacana lain yang turut membuat kita (mahasiswa) sulit untuk kritis, mandiri dan bersikap independen. Senior adalah seseorang yang tentunya memiliki banyak pengalaman lebih dahulu. Memiliki peran dan andil yang cukup besar untuk membawa serta membimbing para juniornya agar tetap konsisten dalam perjuangan organisasi. Dalam hal ini para senior dan alumni memiliki beban moril dan tanggung jawab yang harus terus intens serta berkesinambungan. Tetapi dalam konteks yang berbeda para penerus yang kini menjadi tulang punggung organisasi juga memiliki ruang yang sama untuk menentukan arah organisasi. Karena walau bagaimanapun hari ini yang menjadi ”aktor” nya adalah para pengurus. Harus ada kemandirian baik dalam bersikap, berpikir dan betindak dalam kepengurusan. Sehingga organisasi tidak menjadi ”ladang basah” untuk memudahkan bermainnya kepentingan demi kemaslahatan pribadi semata, siapapun itu.         
Terlepas dari hal itu semua, kita tidak dapat melepaskan secara keseluruhan hal-hal yang berkaitan dengan tuntutan yang menyebabkan kita terperangkap pada ruang untuk berpikir pragmatis, apatis serta hedonis. Namun, yang terpenting disini adalah bagaimana kita tetap menjadi mahasiswa yang kritis, solutif dan mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati diri kemahasiswaannya. Sekali lagi tugas kita bukanlah mencari sosok mahasiswa idealis tersebut. Tapi, tetap bertugas untuk memfungsikan dengan fungsi idealnya status kemahasiswaan ini sebagai unsur yang menjadi bagian terdepan dari pengawalan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.    
Anggota HMI

No comments:

Post a Comment