Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, December 8, 2011

Polemik Putusan Bebas Hakim Tipikor

Oleh: Dr. H. M. Juliadi Razali, SH., S.Ip., MH

Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan putusan bebas dari hakim Tipikor. Putusan yang memancing polemik berbagai kalangan masyarakat, diantaranya melahirkan sikap kecewa dan antipati terhadap Mahkamah Agung. Mahkamah Agung ditempatkan sebagai pihak yang paling kompeten dan bertanggungjawab atas pengangkatan Hakim Tipikor sejak tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung. Terhadap fenomena demikian, adalah sah-sah saja berbagai kalangan berpendapat tentang lembaga peradilan di Indonesia. Namun yang perlu dipahami juga oleh masyarakat adalah secara normative, Mahkamah Agung secara maksimal telah bekerja sesuai dengan UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. 

Meskipun lembaga penegak hukum sebagaimana Kejaksaan dan Kepolisian telah ada, namun berbekal argumen tekad kuat upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, maka DPR RI merasa perlu meloloskan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau lebih dikenal sebagai KPK. Dengan kehadiran KPK dapat dikatakan lengkaplah perangkat yang diperlukan atas suatu hajat besar untuk memberantas korupsi. Kehadiran KPK ternyata tidak lepas dari sorotan kritis terutama dari kalangan akademisi. Ahmad Ali, Guru Besar Hukum dari Universitas Hasanuddin pada dasarnya kurang setuju dengan adanya lembaga KPK.
Sebab yang diperlukan sebenarnya adalah peningkatan dan pemberdayaan lembaga penegak hukum yang sudah ada yaitu Kejaksaan dan Kepolisian. Apabila Kejaksaan dan Kepolisian dinilai tidak maksimal dalam bekerja atau tidak optimal dalam pemberantasan korupsi, yang perlu diganti adalah personilnya tanpa membentuk lembaga baru. Mengingat Kejaksaan dan Kepolisian berada dibawah Presiden secara langsung, sesungguhnya melalui mekanisme yang telah ditentukan, Presiden dapat mengganti pimpinan Kejaksaan yang dinilai tidak mampu bekerja maksimal khusus untuk Kepolisian perlu persetujuan Komisi III DPR-RI dalam hal penggantian Kapolri.

Pandangan akademisi tersebut untuk sebagian ternyata berseberangan dengan dinamika masyarakat. Artinya, banyak kalangan masyarakat memandang perlunya dilahirkan KPK. Sehingga saat ini secara de jure terdapat tiga lembaga yang memiliki kewenangan “mengurusi” pemberantasan korupsi, yaitu Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK. Ketiga lembaga negara tersebut seolah diperintahkan berlomba menunjukkan kinerja yang baik dalam memberantas korupsi.

Permasalahannya sekarang adalah, secara faktual para pelaku tindak pidana korupsi banyak diputus bebas oleh peradilan Tipikor. ICW mencatat 40 kasus di Bandung, 1 kasus di Semarang, 14 kasus di Samarinda, dan 21 Kasus di Surabaya mendapat putusan bebas. Harian Kompas menyoroti Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi di sejumlah dengan nada prihatin, mengingat betapa sudah susah payahnya bangsa ini memerangi korupsi. Untuk itu tampaknya perlu dilakukan kajian mendalam untuk mengetahui adanya kemungkinan adanya upaya pelemahan pemberantasan korupsi secara sistematis.

Sedangkan pada sisi lain, Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman mengatakan betapa beratnya beban Komisi Yudisial dalam pengawasan tingkah laku Hakim. Diperlukan kecermatan dalam penafsiran dan perspektif yang tepat, namun tetap di dalam koridor yang dapat dipertanggungjawabkan.  Banyak faktor yang dapat  membuat terdakwa di vonis bebas di Pengadilan Tipikor di daerah, sehingga bukan semata-mata faktor Hakim, namun dapat saja dikarenakan dakwaan Jaksa atau penyidik oleh Polisi yang lemah, atau dapat pula muncul kemungkinan sebagai permainan Polisi atau Jaksa.

Secara hukum positif, putusan seorang Hakim menjatuhkan putusannya tidaklah terlepas dari koridor instruksi Mahkamah Agung dengan Nomor KMA/015/INS/VI/1998 tanggal 1 Juni 1998. Mahkamah Agung menginstruksikan agar para Hakim memantapkan profesionalisme dalam mewujudkan Peradilan yang berkualitas dengan menghasilkan putusan Hakim yang eksekutable yang berisikan ethos (integritas), fathos (pertimbangan yuridis yang utama), filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat) serta logos (dapat diterima oleh akal sehat). Instruksi tersebut harus dilaksanakan dengan penjabaran dan penafsiran yang diserahkan sepenuhnya kepada Hakim yang menyidangkan perkara. Demikian pula yang paling penting dan perlu selalu diperhatikan adalah, Hakim dalam menjatuhkan putusannya selalu independen dan bertanggung-jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan bunyi irah-irah Demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Masalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa apapun bentuk dan isinya, baik penghukuman atau putusan bebas murni (vrijkspraak) atau onslag itu semuanya hak prerogatif  Hakim yang menyidangkan perkara. Muncul anggapan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang ada di daerah perlu dibubarkan, atau dipikirkan sebaik-baiknya manfaat dan mudaratnya karena faktor efektifitas dan efesiensi. Karena tugas Hakim adalah selain mengadili, menerima dan memutus perkara yang diajukan, adalah juga menegakkan kebenaran dan keadilan. Sedangkan kita ketahui bersama bahwa mana keadilan bersifat subjektif dan interpretatif, sehingga putusan perkara tindak pidana korupsi untuk sementara dengan mudah mendapat stigma tidak pro rakyat.

Untuk itu perlu diambil langkah komprehensif. Pertama, Dalam hal putusan Hakim yang dijatuhkan oleh Hakim yang menyidangkan perkara tindak pidana korupsi tersebut silakan isi putusan tersebut dieksaminasi hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kedua, Sejak zaman reformasi ini Mahkamah Agung setahun sekali membuat laporan tahunan dan melaksanakan rapat kerja nasional perlu ditingkatkan setelah ada evaluasi dari hasil rakernas tersebut dan diberdayakan secara optimal Pengadilan Tinggi sebagai Pintu Gerbang Mahkamah Agung di Daerah untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan hubungan dengan kesalahan personil dan pengawasan rutin yang ada di daerah wilayah hukum Pengadilan Tinggi.  Ketiga, karena Undang-Undang No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik sebagai salah satu badan publik Kejaksaan Agung yang ada di Jakarta dan Kejaksaan Tinggi yang ada di daerah, baik menyangkut Surat Dakwaan dan Surat Tuntutan (REQUISITOIR) perlu dieksaminasi mengingat Surat Dakwaan sebagai dasar untuk membawa terdakwa di Pengadilan dan dalam Pasal 197 KUHAP dicantumkan sebagai isi putusan dan termasuk berita acara di Kepolisian pada tahap penyidikan perlu dieksaminasi.

Keempat, Dengan eksaminasi secara keseluruhan barulah kita bisa mengetahui dimana letak kesalahan dan ketidakbenaran dalam suatu putusan. Kelima, Mahkamah Agung hanya melaksanakan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 dan telah mengangkat Hakim AD HOC baik itu tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Tingkat Mahkamah Agung bahkan sebelum diangkat telah dipublikasikan kepada masyarakat baik sebagai LSM, masyarakat itu sendiri untuk memberi masukan, saran sebelum diangkat menjadi Hakim AD HOC Tipikor. Keenam, Mahkamah Agung dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sekarang diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 dan Peradilan dibawahnya seperti Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum adalah lembaga pengadilan bukan lembaga penghukuman secara normatif disebutkan lembaga pengadilan dan melaksanakan sistem peradilan, dalam hukum acara pidana menganut asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sepanjang itu belum putus dan inkrah terdakwa harus tetap didudukkan sebagai orang yang tidak bersalah. Hal ini perlu kita renungkan dengan seksama dan bijaksana. Terakhir poin ketujuh, Peradilan Tindak Pidana Korupsi yang ada sekarang jelas perlu dipertahankan dalam rangka terwujudnya peradilan cepat dan biaya murah, akhirnya memang kita perlu dan merenungkan yang lebih mendalam mengenai masalah perkara tindak pidana korupsi ini. Perlu direnungkan pendapat mantan Ketua Mahkamah Agung RI Bagir Manan agar kita bisa bersama-sama menjadikan Mahkamah Agung menjadi yang Agung. **

* Penulis, Dosen STIH Singkawang, Kalbar.

No comments:

Post a Comment