Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, January 9, 2012

Menggapai Harapan Masyarakat Perbatasan

Oleh : Dra. Hj. Herawati, M.Si 


Kenyataan sekarang menuju Entikong hanya dalam waktu kurang dari 5 (lima) jam,   dengan melintas di jalan trans Kalimantan yang masih belum diresmikan dan walaupun masih ada seruas jalan yang kira- kira ± 10 km masih rusak, dengan tanah merah belum dihampar batu. Dari Pontianak menuju Tayan dengan jarak tempuh sekitar 3 jam, bertemu dengan jalan yang apabila dilewati pinggang akan terasa remuk. Sebetulnya lewat jalan darat dinikmati saja karena sangat  menakjubkan, jalan- jalan yang berliku, mendaki dan menurun  seperti ular, melewati jurang, membelah bukit dan gunung, jika pada malam hari belum ada penerangan jalan. Tetapi sesekali disorot oleh sinar bulan purnama seolah- olah menyatu dengan alam penuh kesyahduan.

Disisi lain, kondisi jalan yang licin dan mulus  tak jarang ditemui mobil  jatuh ke jurang dan ada yang terjungkal di jalan raya karena ada tikungan  berbahaya, yang masih belum sempurna pemasangan rambu- rambu lalu lintas.  Sekitar setengah kilometer memasuki kota Entikong, sudah tercium aroma. Entikong sudah di depan mata, pintu masuk ibu kota kecamatan disambut dengan bangunan- bangunan yang  tak jelas ukuran dari sempadan jalan. Apakah belum ada peraturan ataukah masyarakat yang membangun semaunya dengan mengabaikan aturan dengan dalih untuk mencari hidup, sehingga bangunan liar di kiri kanan pinggir jalan raya sangat merusak pemandangan.

  Geliat kehidupan ekonomi yang masih dibawah rata- rata PDRB dibanding  kecamatan lain se-kabupaten yaitu hanya dengan PAD 3,5 juta rupiah setahun. Maka  masyarakat Entikong dapat mengimbangi ketahanannya dengan harmonisnya keberadaan budaya yang terdiri dari berbagai suku yang didominasi oleh suku Dayak, yang dapat hidup dengan harmonis, tentram damai dengan segelintir saudara- saudaranya menunjukkan ke-Indonesiaan, walaupun kadang- kadang adakalanya juga terjadi gesekan- gesekan konflik. Adapun sebab konflik  hanya masalah Tenaga Kerja yang illegal, traffiking atau kecemburuan sosial. Semuanya tidak sampai melibatkan  pemerintah, cukup diselesaikan oleh pemuka adat atau tokoh masyarakat.

Perkembangan pendidikan multikultural kental dengan kearifan lokal yang dikemas dalam pembinaan sikap toleransi yang diinternalisasikan oleh guru- guru kepada peserta didik sejak Pendidikan Anak Usia Dini, SD/MI, SMP/MTS, Pondok Pesantren/Sekolah Seminari, SMK sampai ke Perguruan Tinggi (STKIP Melawi) keberadaan alat- alat musik sebagai  miniatur budaya dan taman lalu lintas yang terpajang  di Rumah Pintar, sebuah bangunan yang diberikan oleh SIKIB (Solidaritas  Istri- istri Kabinet Indonesia Bersatu yang dipimpin oleh Ibu Ani SBY) yang diserahkan oleh Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia beberapa tahun lalu. Sedangkan pengelolaannya diberikan kepada Angkatan Darat, yang rencana kedepan akan didirikan TK Kartika kemudian akan bekerjasama dengan STKIP PGRI Melawi. Dengan maksud kehadiran Rumah Pintar dapat menjadi pusat Teknologi Informasi dan aktifitas masyarakat dari semua lapisan golongan serta gender.

Berikut seiring pula disemarakkan dengan lincahnya kehadiran dan aktifitas mobil pintar ( juga sumbangan dari SIKIB ) yang dioperasikan oleh seorang perempuan energik dan penuh pengabdian kepada bangsa dan negara beliau adalah  bu Wahyu Widiyanti AR, S.Hut. Sekolah membentuk karakter pribadi mulia, beriman, berakhlak, berkompetensi dan terasah dalam kompetisi, kerja ikhlas dan belajar keras, serta sadar hidup di beranda terdepan negara yang memiliki ilmu pengetahuan etika pergaulan global. Peserta didik sudah secara bertahap dikenalkan dengan pendidikan multikultural,  ketika mengadakan acara di sekolah, dan kegiatan menjamu tamu terhormat. Yang ditampilkan hanya  dua budaya dari komunitas masyarakat yang terbesar saja, yaitu budaya Dayak dan Melayu.

Dua komunitas tersebut ada di kedua negara Indonesia dan Malaysia, tidak jarang mereka masih dalam keadaan  serumpun keluarga. Nenek moyangnya di Indonesia sedangkan anak cucunya ada sebagian di Malaysia. Begitu juga sebaliknya, nenek moyangnya  di Malaysia dan anak cucunya sebagian ada di Indonesia. Tak jarang  setelah saling mengikat tali pernikahan ternyata masih ada kaitan keluarga. Walaupun mereka serumpun tetapi karena sudah berdomisili di negara lain, dan memiliki aturan masing- masing negara, sehingga menyebabkan  seolah-olah tidak saling ada ikatan atau saling tidak kenal.

Dengan adanya irisan budaya tadi, memberikan warna tersendiri dalam perkembangan  masyarakat multikultural dari dua negara yang menjadi beranda terdepan. Menelisik Entikong sekarang, ada titik terang untuk ke depannya karena ada hal yang dapat membanggakan yaitu  adanya pemuda- pemuda yang mendorong untuk menjadi pelopor berdirinya Perguruan Tinggi. Mereka ada berperan sebagai pendorong, pelopor atau penggagas berdirinya Perguruan Tinggi. Kemudian ada pula pemuda yang berperan sebagai fisabililllah yang menuntut ilmu di  kampung halaman sendiri dengan penuh percaya diri dan rela menuntut ilmu dalam serba terbatas, hal tersebut sungguh membanggakan.

Ada hal yang istimewa  yang harus ditumbuhkembangkan di dada para pemuda yang sedang menuntut ilmu di PT di daerah sendiri. Walau masih dalam tahap rintisan, tumbuhkan  rasa bangga dapat menuntut ilmu di kampung sendiri akan efisien dan mendorong untuk berdirinya PT di perbatasan yang berkualitas global. Dan bertekad yang datang menuntut ilmu ke Entikong bukan saja berasal dari Entikong atau Indonesia, juga akan datang saudara- saudara dari negara tetangga.

Dulu setiap tamu yang datang dari Entikong, seperti juga perbatasan di daerah Badau dan lainnya hampir 90% kebutuhan bahan pokok lebih mudah diperoleh dari produksi luar negeri seperti yang disebutkan tadi, dan sudah terbiasa para tamu walaupun  sebentar akan menyeberang ke Tebedu untuk membeli beberapa jenis makanan yang katanya lebih enak, lebih murah, asli, lebih hiegenis dan aman kemasannya. Dari jenis produksi soft drink, semua jenis susu, gula, gas, miyak goreng, snack, racikan aneka bumbu, pakaian pantas yang di kemas dari dalam karung sampai kepada kresek plastik yang tahan membawa beban seberapapun beratnya tetap awet tak mudah koyak. Ada tradisi belum ke Entikong kalau belum berbelanja ke Tebedu. Akan datang dapatlah berlaku sebaliknya di semua lini perbatasan.

Sudah 65 tahun merdeka, keadaan infrastruktur  masih juga belum memadai. Jalan- jalan kampung yang belum dikeraskan sehingga sulit untuk dikendarai oleh kendaraan roda empat. Sehingga sulit untuk berangkat ke sekolah atau mengangkut hasil bumi dan kebutuhan pokok dari desa ke kota atau sebaliknya dengan jalan darat, harus lewat sungai dengan melewati jeram, batu- batu yang jika dalam keadaan kemarau perahu tidak mustahil untuk dipikul oleh penumpang.

  Kini, untuk meretas budaya bangga dengan produksi luar negeri, yang perlahan- lahan akan bergeser dengan giliran bangga dengan produksi dalam negeri, walaupun mahal karena sulit mendatangkannya karena transportasi lebih jauh. Dan ketiadaan bangunan fisik gudang untuk penyimpanan barang- barang kebutuhan rakyat yang didatangkan dari dalam negeri, yang konon katanya rendah kualitasnya, sangat sulit mendapatkannya. Semuanya tentu dimulai dengan mengubah pola pikir atau mentalitas para pemuda dengan kehadiran Pendidikan Tinggi, yang membuat masyarakat tergugah untuk fikir, zikir dan ikhtiar diwujudkan dengan berkarya ikhlas, berfikir keras,  bekerja tuntas yang sudah dirintis  oleh pemuka masyarakat dengan memberikan suri teladan yang tak pernah mengenal putus asa.

Semua hal yang membanggakan tadi tentu sudah dilakukan oleh elemen masyarakat yang secara sadar untuk mewujudkan  misi ke 11 dari pemerintah Sanggau yaitu Percepatan pembangunan wilayah perbatasan yang sinergis, terukur dan berkelanjutan pada kawasan cepat tumbuh dan tertinggal merupakan penjabaran visi Sanggau Bangkit dan Terdepan. “Kami bangga menjadi orang Indonesia”, karena pejabat kami sering datang mengunjungi atau sebaliknya kami pun sering mengunjungi pejabat  yang sudah berkomitmen untuk membangun daerah secara sinerji dan berkesinambungan, demikian menurut pengakuan Kepala Desa Pala Pasang, Imran. Tak kalah menariknya tentang seni pemerintah Sanggau dalam mengurai permasalahan TKI menggiring kepada komponen yang terkait dan berkompeten untuk menentukan solusi yang strategis dalam isu besar bangsa ini.

Saya cuplik ada kata yang menggelitik hati dalam paparan yang dibuat Bapak Bupati, sungguh sangat logis dan luar biasa  nuansa makna humanistik yang tersirat, yaitu “cerita indah TKI di luar negeri tentunya tidak serta merta dapat memberikan manfaat kepada Daerah”, tetapi sebaliknya, jika terjadi permasalahan- permasalahan yang menyangkut TKI yang dideportasi atau pelarian melalui perbatasan darat yang ada di Daerah, maka peran seorang perempuan tengah baya bu Arsinah Sumitro akan menyambutnya dengan rasa kemanusiaan yang tulus dalam serba keterbatasan. Dengan kesederhanaannya maju ke depan membantu pemerintah dengan bendera LSM Anak Bangsa menembus kewenangan, pendanaan dan kelayakan yang menjadi gumpalan hitam yang masih belum terpecahkan ketika duduk satu meja dengan Deputi Perlindungan Perempuan dan Anak menyampaikan permasalahan. Dengan harapan agar ada kebijakan pusat dan menjadi skala prioritas dengan kekuatan sederet regulasi yang sudah ada dari Pusat, Propinsi sampai ke Daerah. Mari berbuat menuju Indonesia yang bermartabat. **

* Penulis, Pengawas Sekolah TK/SD Kota Pontianak.

No comments:

Post a Comment