Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, January 10, 2012

Era “Abu-abu”

 Oleh: Syamsul Kurniawan


TAHUN 2011 yang baru saja kita lewati, abu-abu terjadi hampir di semua aspek kehidupan. Antara yang benar dan yang salah sesuatu yang kabur. Lihat saja misalnya, orang mulai sulit membedakan antara korupsi dan komisi, uang suap dan tali asih, studi banding dan piknik, antara kekerasan dan solusi, dan seterusnya. Nilai-nilai menjadi kabur. Pedoman nyaris tidak ada lagi. Kalaupun ada, pedoman itu biasanya hanya berada di atas kertas, di pidato-pidato, atau di seminar-seminar, dan, dan diskusi. Entah pedoman itu berupa undang-undang, peraturan-peraturan pemerintah, atau apapun, seringkali tidak dapat diterapkan di lapangan karena yang berlaku di sana adalah prinsip abu-abu.

Benar bisa disalahkan, salah bisa dibenarkan. Seorang terhukum bisa tetap menjadi menjadi pimpinan lembaga negara, wakil rakyat yang seharusnya bertindak demi rakyat pun bisa melakukan tindakan yang justru menyakitkan rakyat. Lalu orang pun mulai tidak percaya diri melihat gejala seperti itu, mulai sulit melihat secara jernih mana yang benar dan mana yang salah. Atau setidaknya banyak orang yang mulai apatis, acuh tak acuh, dan tidak peduli terhadap hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai.

Dampaknya, orang-orang lebih menyukai “relativisme”. Semuanya bisa direlatifkan, termasuk persoalan moral dan tidak bermoral. Orang dengan mudah mengatakan, “Ah, itukan relatif” dalam memandang suatu realitas. Masalah kolusi, korupsi, manipulasi, dan sejenisnya pun lalu bisa direlatifkan. Tergantung dari sudut mana kita menilai, begitu yang biasa dikatakan orang.
Akibatnya, substansi dari suatu fakta menjadi abu-abu. Fakta bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Yang merepotkan, sudut pandang itu dilandasi oleh berbagai kepentingan (interest) yang berbeda-beda. Kebenaran sejati dari suatu fakta menjadi kabur. Orang menjadi sukar mengerti, apakah suatu “realitas” itu betul-betul realitas atau hasil rekayasa “sudut pandang” tadi. Semuanya serba relatif. Serba abu-abu. Relativitas itu memang benar, karena tidak ada yang absolut di dunia ini, kecuali Tuhan. Akan tetapi, ada kecenderungan untuk merelatifkan segalanya, termasuk sesuatu yang sudah jelas duduk persoalannya. Jadilah, korupsi bukan korupsi, kolusi bukan kolusi, manipulasi bukan manipulasi, kebenaran bukan kebenaran, dan kekeliruan bukan kekeliruan. Bermoral menjadi seperti tidak bermoral, sebaliknya tidak bermoral menjadi seolah-olah bermoral.
Kecenderungan merelatifkan segala persoalan seperti itulah yang tampaknya mengaburkan batas antara “bermoral” dan “tidak bermoral”. Masyarakat kemudian sepertinya menerima saja kekaburan itu.

Jalan Keluar
Jika bangsa ini ingin segera keluar dari berbagai krisis “abu-abu” di atas, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan: Pertama, Keteladanan pemimpin. Keteladanan ini dimulai dari pemimpin tingkat keluarga, RT, RW, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi hingga Pusat. Lemahnya kepemimpinan dari tingkat yang paling bawah hingga tingkat yang paling atas menjadi penghambat tumbuhnya kepribadian bangsa yang beradab: kepribadian yang tidak abu-abu. Pemimpin tingkat nasional harus menjadi teladan bagi pemimpin di daerah. Demikian seterusnya.
Kedua, Dukungan media. Ya... media!. Media? Media jika diibaratkan antara lain sesuatu yang memiliki kepribadian ganda, satu sisi berhati malaikat, dan satu sisinya berhati iblis. Media saat ini hemat saya juga ikut mendukung munculnya fenomena abu-abu yang sudah saya paparkan di atas: dirasa sangat jauh dari kode etiknya, tidak bisa membedakan mana yang harus dikonsumsi oleh publik, dan mana yang tidak layak dikonsumsi oleh publik, media sebagai sumber informasi nomor satu seharusnya dapat memberikan informasi yang layak dicerna oleh publik, bukannya malah menjadi inspirasi seseorang untuk melakukan tindakan yang dirasa negatif. Tentu saja tidak semuanya media memberikan informasi yang dirasa negatif, terkadang juga media memberikan sumber-sumber yang positif. Jika bangsa ini ingin segera keluar dari berbagai krisis “abu-abu” diatas, kita membutuhkan dukungan media.
Ketiga, Dukungan pendidikan. Pada aras ini, pelaksanaan pendidikan moral memang tidak bisa ditunda-tunda lagi, karena selain seperti yang telah disebutkan diatas, saat ini telah terjadi pembusukan moral pada lembaga-lembaga pendidikan kita. Pendidikan kita juga “abu-abu”, mengajarkan moral sebagai sesuatu yang abu-abu”. Tentunya kita masih ingat dengan kasus contek massal yang terjadi di Sekolah Dasar Negeri Gadel II Surabaya, Jawa Timur. Kasus yang terjadi pada pertengahan tahun 2011 yang lalu ini menjadi pelajaran penting di tahun ini, tentang dampak dari buruknya sistem pendidikan Indonesia saat ini yang lebih mengedepankan kecerdasan intelektual sebagai standar kesuksesan, di mana standar keberhasilan peserta didik diukur dari seberapa bagus nilai ujiannya. Dampak yang muncul kemudian adalah para peserta didik menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan nilai terbaiknya dalam ujian: “termasuk mencontek”. Sekolah mempunyai fungsi yang sangat urgen untuk menciptakan makhluk bermoral, yang dibentuk sesuai kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu kita perlu memusatkan sekolah sebagai titik sentral pendidikan moral, bukan sebaliknya.
Tanpa dukungan ketiganya (pemimpin, media, dan pendidikan), hemat saya bangsa kita akan terus berada pada era abu-abu: antara yang benar dan yang salah menjadi kabur. ** 


*) Penulis, Dosen Luar Biasa STAIN Pontianak.

No comments:

Post a Comment