Pada dasarnya proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam program pembangunan kerapkali dilakukan secara 'top-down' (dari atas ke bawah). Karena itu program yang dilakukan dengan pendekatan dari atas ke bawah sering kali tidak berhasil dan kurang memberi manfaat kepada masyarakat. Masyarakat kurang terlibat sehingga mereka merasa kurang bertanggung jawab terhadap program dan keberhasilannya. Bantuan yang diberikan menciptakan ketergantungan yang pada gilirannya akan lebih menyusahkan masyarakat dari pada menolongnya, serta terkadang tidak sesuai kebutuhan dan prioritas masyarakat.
Sasaran utama pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat yang terpinggirkan, perempuan dan anak-anak. Pemberdayaan masyarakat itu sendiri akan dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menganalisa kondisi dan potensi serta masalah- masalah yang perlu diatasi. Dasar proses pemberdayaan yang digunakan adalah pengalaman dan pengetahuan masyarakat tentang keberadaannya yang sangat luas dan berguna serta kemauan mereka untuk menjadi lebih baik.
Titik tolaknya untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, mengoptimalkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki masyarakat setempat sebaik mungkin. Dalam perjalanannya proses pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan kemampuan masyarakat itu sendiri untuk menyampaikan kebutuhannya kepada instansi-instansi pemberi pelayanan. Dengan demikian, instansi dapat menyesuaikan serta memperbaiki pelayanannya.
Proses ini perlu disesuaikan dengan situasi kondisi dan dinamika yang ada di masyarakat. Maka dari itu diperlukan beberapa tahapan pemberdayaan masyarakat. Tahapan pertama adalah seleksi lokasi, tahapan kedua adalah sosialisasi pemberdayaan masyarakat, tahapan ketiga adalah proses pemberdayaan masyarakat, yang terdiri dari: (a) kajian keadaaan pedesaan partisipatif; (b) pengembangan kelompok; (c) penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan; (d) monitoring dan evaluasi partisipatif, tahapan keempat adalah pemandirian masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan oleh banyak elemen: pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pers, partai politik, lembaga donor, aktor-aktor masyarakat sipil, atau oleh organisasi masyarakat lokal sendiri. Birokrasi pemerintah tentu saja sangat strategis karena mempunyai banyak keunggulan dan kekuatan yang luar biasa ketimbang unsur-unsur lainnya: mempunyai dana, aparat yang banyak, kewenangan untuk membuat kerangka legal, kebijakan untuk pemberian layanan publik, dan lain-lain. Proses pemberdayaan bisa berlangsung lebih kuat, komprehensif dan berkelanjutan bila berbagai unsur tersebut membangun kemitraan dan jaringan yang didasarkan pada prinsip saling percaya dan menghormati.
Konsep pemberdayaan berangkat dari asumsi yang berbeda dengan pembinaan. pemberdayaan berangkat dari asumsi hubungan yang setara antar semua elemen masyarakat dan negara. Para ahli mengatakan bahwa pemberdayaan sangat percaya bahwa “kecil itu indah”, bahwa setiap orang itu mempunyai kearifan yang perlu dibangkitkan dan dihargai. Kalau konsep pembinaan cenderung mengabaikan prinsip kearifan semua orang itu. Dalam konteks pemberdayaan, semua unsur (pejabat, perangkat negara, wakil rakyat, para ahli, politisi, orpol, ormas, LSM, pengusaha, ulama, mahasiswa, serta rakyat banyak) berada dalam posisi setara, yang tumbuh bersama melalui proses belajar bersama-sama.
Masing-masing elemen harus memahami dan menghargai kepentingan maupun perbedaan satu sama lain. Pemberdayaan tersebut dimaksudkan agar masing-masing unsur semakin meningkat kemampuannya, semakin kuat, semakin mandiri, serta memainkan perannya masing-masing tanpa menganggu peran yang lain. Justru dengan pemberdayaan kemampuan dan peran yang berbeda-beda tersebut tidak diseragamkan, melainkan dihargai dan dikembangkan bersama-sama, sehingga bisa terjalin kerjasama yang baik. Oleh karena itu, dalam hal pemberdayaan, tidak dikenal unsur yang lebih kuat memberdayakan terhadap unsur yang lebih lemah untuk diberdayakan. Unsur-unsur yang lebih kuat hanya memainkan peran sebagai pembantu, pendamping atau fasilitator, yang memudahkan unsur-unsur yang lemah memberdayakan dirinya sendiri.
Pada dasarnya “orang luar” jangan sampai berperan sebagai “pembina” atau “penyuluh”, melainkan sebagai “fasilitator” terhadap pemberdayaan masyarakat. Fasilitator itu adalah pendamping, yang bertugas memudahkan, mendorong, dan memfasilitasi kelompok sosial dalam rangka memberdayakan dirinya. Tugas-tugas itu dimainkan mulai dari analisis masalah, pengorganisasian, fasilitasi, asistensi, dan advokasi kebijakan.
Untuk memainkan peran-peran dalam pekerjaan pemberdayaan masyarakat, para pekerja/fasilitator pemberdayaan masyarakat harus profesional, memiliki sejumlah kemampuan dan keterampilan. Mereka harus kompeten, punya kemampuan dalam memahami teori secara holistik dan kritis, bertindak praktis, membuat refleksi dan praksis. Esensi praksis adalah bahwa orang dilibatkan dalam siklus bekerja, belajar, dan refleksi kritis. Ini adalah proses dimana teori dan praktik dibangun pada saat yang sama. Praksis lebih dari sekadar tindakan sederhana, tetapi ia mencakup pemahaman, belajar dan membangun teori. Para pekerja pemberdayaan masyarakat tidak hanya butuh “belajar” keterampilan, tetapi juga “mengembangkan” keterampilan itu. Yang perlu dikembangkan adalah kemampuan analisis, kesadaran kritis, pengalaman, belajar dari pihak lain, dan intuisi. **
* Penulis, Manager Office di Lembaga Pengembangan Masyarakat (LPM) Equator Kalimantan Barat.
,p> Sumber : Pontianak Post