Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, February 1, 2012

Pemberdayaan Masyarakat dalam Praktek

Oleh : Iin Sanatra 

Pada dasarnya proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam program pembangunan kerapkali dilakukan secara 'top-down' (dari atas ke bawah). Karena itu program yang dilakukan dengan pendekatan dari atas ke bawah sering kali tidak berhasil dan kurang memberi manfaat kepada masyarakat. Masyarakat kurang terlibat sehingga mereka merasa kurang bertanggung jawab terhadap program dan keberhasilannya. Bantuan yang diberikan menciptakan ketergantungan yang pada gilirannya akan lebih menyusahkan masyarakat dari pada menolongnya, serta terkadang tidak sesuai kebutuhan dan prioritas masyarakat.

Sasaran utama pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat yang terpinggirkan, perempuan dan anak-anak. Pemberdayaan masyarakat  itu sendiri akan dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menganalisa kondisi dan potensi serta masalah- masalah yang perlu diatasi. Dasar proses pemberdayaan yang  digunakan  adalah pengalaman dan pengetahuan masyarakat tentang keberadaannya yang sangat luas dan berguna serta kemauan mereka untuk menjadi lebih baik.

Titik tolaknya untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, mengoptimalkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki masyarakat setempat sebaik mungkin. Dalam perjalanannya proses pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan kemampuan masyarakat itu sendiri untuk menyampaikan kebutuhannya kepada instansi-instansi pemberi pelayanan. Dengan demikian, instansi dapat menyesuaikan serta memperbaiki pelayanannya.
Proses ini perlu disesuaikan dengan situasi kondisi dan dinamika yang ada di masyarakat. Maka dari itu diperlukan beberapa tahapan pemberdayaan masyarakat. Tahapan pertama adalah seleksi lokasi, tahapan kedua adalah sosialisasi pemberdayaan masyarakat, tahapan ketiga adalah proses pemberdayaan masyarakat, yang terdiri dari: (a) kajian keadaaan pedesaan partisipatif; (b) pengembangan kelompok; (c) penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan; (d) monitoring dan evaluasi partisipatif, tahapan keempat adalah pemandirian masyarakat.
 Pemberdayaan  masyarakat bisa dilakukan oleh banyak elemen: pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pers, partai politik,  lembaga donor, aktor-aktor  masyarakat sipil, atau oleh organisasi masyarakat lokal sendiri. Birokrasi  pemerintah tentu saja sangat strategis karena mempunyai banyak keunggulan dan kekuatan yang luar biasa ketimbang unsur-unsur lainnya:  mempunyai  dana, aparat yang banyak,  kewenangan untuk membuat  kerangka legal, kebijakan untuk  pemberian layanan publik,  dan lain-lain.  Proses pemberdayaan bisa berlangsung lebih kuat, komprehensif  dan berkelanjutan bila berbagai unsur tersebut membangun kemitraan dan jaringan yang didasarkan pada prinsip saling percaya dan menghormati.

Konsep pemberdayaan  berangkat  dari asumsi yang  berbeda  dengan  pembinaan. pemberdayaan berangkat dari asumsi hubungan yang setara antar semua elemen masyarakat dan negara. Para ahli mengatakan bahwa pemberdayaan sangat percaya bahwa “kecil itu indah”, bahwa setiap  orang  itu mempunyai  kearifan  yang perlu  dibangkitkan  dan  dihargai.  Kalau  konsep pembinaan   cenderung   mengabaikan   prinsip kearifan   semua  orang   itu.  Dalam konteks pemberdayaan, semua unsur (pejabat, perangkat negara, wakil  rakyat, para ahli, politisi,  orpol, ormas, LSM,  pengusaha, ulama, mahasiswa, serta rakyat banyak) berada dalam posisi setara, yang tumbuh bersama melalui  proses belajar bersama-sama.

Masing-masing elemen harus memahami dan  menghargai  kepentingan  maupun  perbedaan  satu  sama lain.  Pemberdayaan  tersebut dimaksudkan  agar masing-masing unsur  semakin  meningkat  kemampuannya,  semakin  kuat, semakin mandiri,  serta memainkan perannya masing-masing tanpa menganggu peran yang lain. Justru dengan pemberdayaan kemampuan dan peran yang berbeda-beda tersebut tidak diseragamkan,  melainkan  dihargai  dan  dikembangkan   bersama-sama, sehingga bisa  terjalin kerjasama yang baik. Oleh  karena itu, dalam hal pemberdayaan, tidak  dikenal unsur yang lebih kuat memberdayakan terhadap unsur yang lebih lemah untuk  diberdayakan. Unsur-unsur  yang lebih kuat hanya  memainkan   peran  sebagai pembantu,  pendamping atau  fasilitator,  yang memudahkan unsur-unsur  yang lemah memberdayakan dirinya sendiri.

Pada dasarnya “orang luar”  jangan sampai berperan  sebagai “pembina” atau “penyuluh”, melainkan   sebagai “fasilitator”    terhadap   pemberdayaan  masyarakat.  Fasilitator   itu  adalah pendamping, yang bertugas memudahkan, mendorong, dan memfasilitasi kelompok  sosial dalam rangka  memberdayakan  dirinya.   Tugas-tugas  itu  dimainkan  mulai dari analisis  masalah, pengorganisasian, fasilitasi, asistensi, dan advokasi kebijakan.

Untuk memainkan  peran-peran dalam pekerjaan pemberdayaan masyarakat, para pekerja/fasilitator  pemberdayaan masyarakat harus profesional, memiliki  sejumlah kemampuan dan keterampilan. Mereka harus kompeten, punya  kemampuan  dalam memahami  teori  secara holistik dan kritis, bertindak praktis, membuat refleksi dan praksis. Esensi praksis adalah bahwa orang dilibatkan dalam siklus bekerja, belajar, dan refleksi kritis. Ini adalah proses dimana teori dan praktik  dibangun  pada saat yang sama. Praksis lebih dari sekadar tindakan  sederhana, tetapi ia mencakup pemahaman, belajar dan membangun teori.  Para pekerja pemberdayaan masyarakat tidak hanya butuh “belajar” keterampilan, tetapi juga “mengembangkan” keterampilan  itu. Yang  perlu dikembangkan   adalah  kemampuan   analisis,  kesadaran  kritis, pengalaman, belajar dari pihak lain, dan intuisi. **

*  Penulis, Manager Office di Lembaga Pengembangan Masyarakat (LPM) Equator Kalimantan Barat. 
,p> Sumber : Pontianak Post