Kezaliman memang tak dapat dielakkan dari diri manusia tertentu, karena sebab atau suatu penyakit yang diidapnya. Mungkin karena “penyakit” haus kekuasaan, egois, iri, dengki, ambisius, serta yang lainnya. Dan “qarin”(teman) setianya, yaitu setan, pun akan menemaninya setiap saat, termasuk kala dia lagi tidur. Seseorang tak mungkin korupsi, misalnya, jika dia tidak zalim, meskipun dia lebih mau dikatakan koruptor dari pada zalimun. Seseorang tak mungkin berani meminta fee, baik secara berterus terang maupun “bahasa isyarat”, dengan persentase tertentu, dari proyek yang menjadi tanggung jawabnya, jika dia tak lalim. Seseorang calon pejabat tak mungkin mau membayar ratusan juta rupiah untuk dapat diangkat dalam jabatan tertentu, jika yang diangkat dan yang mengangkat tidak sama-sama zalim.
Jika diamati kehidupan sehari-hari di negeri ini khususnya, perilaku zalim dengan makna sebagaimana disebutkan di atas, tampaknya kian banyak “melekat” pada sejumlah orang, disadari mereka ataupun tidak. Dan cukup banyak pula kasus di mana kezaliman itu dilakukan secara bersama (Saya tak mau menyebutnya “berjamaah”, karena kata jamaah memang tak layak digunakan untuk mereka), sehingga terjadilah saling tolong menolong dalam hal kezaliman. Pada agama mengajarkan umatnya untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan berlaku sabar. Bahkan yang memprihatinkan lagi, sebagian hasil kezaliman tersebut, berupa uang atau bahan/material, mereka gunakan untuk membangun rumah ibadah. Astaghfirullah!!
Ketika seorang penjahit bertanya kepada Abdullah bin Al-Mubarak, “Saya menjahit pakaian para penguasa, apakah kamu menganggap Saya menjadi penolong-penolong kezaliman?” maka yang ditanya menjawab, “Tidak, sesungguhnya penolong-penolong kezaliman hanyalah orang yang menjual benang dan jarum kepadamu, sedangkan kamu adalah pelaku kezaliman itu sendiri.” Nah, jika sudah diketahui bahwa ada zalimun yang meminta tolong, apakah Anda masih mau bekerjasama dengan dia, bersama-sama melakukan kezaliman, dan kemudian sebagian hasilnya Anda gunakan untuk kebaikan? “Jangan campur adukkan antara keburukan dengan kebaikan, agar tak dibenci Yang Mahapemurah”, demikian kata pak ustad. (AH180112)
No comments:
Post a Comment