Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, January 30, 2012

Beda Maling Kelas Kakap dan Kelas Teri

Oleh : Syamsul Kurniawan
 
APA yang disampaikan Ade Febriansyah di rubrik Halo Publik Pontianak Post (18/01/2012) menarik untuk kita simak. Dalam tulisannya yang berjudul, Hukum “Si Hati Buta”, Febriansyah mempertanyakan hukum kita yang seolah-olah menjadi mainan para petinggi yang berkuasa semaunya. Keberpihakan hukum yang dilihat dari status sosial: kaya atau miskin. Saya setuju sekali dengan uraian Febriansyah dalam tulisannya tersebut.

Contohnya AAL yang masih berumur 15 tahun terancam hukuman kurungan maksimal selama lima tahun gara-gara maling sandal jepit bekas (ditaksir harga maksimalnya mencapai tiga puluh ribu rupiah). Bukan soal perbuatannya yang menyita perhatian publik. Karena saya pun sepakat, mengambil barang sekecil apapun tanpa izin adalah tetap perbuatan salah. Tapi ini adalah soal “keadilan”.
Di negeri ini, banyak kasus korupsi yang merugikan negara hingga miliaran rupiah tetapi pelakunya jarang tersentuh hukum. Kalaupun menjalani proses hukum, maka mendapat perlakuan istimewa dan vonis hukumannya pun terbilang ringan.

Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

Demikianlah, hukum di negeri kita ini seperti pisau tajam, yang menancap ke bawah tapi tumpul ke atas. Kita semua tahu bahwa di negara kita ini banyak sekali koruptor yang menjadi warga negaranya, tersebar dari Sabang sampai Merauke. Para koruptor ini kebanyakan adalah orang-orang kaya yang masih merasa miskin, dengan tujuan memenuhi hawa nafsunya untuk terus menambah pundi-pundi kekayaannya. Wakil rakyat, pejabat tinggi negara, dan juga pejabat lain menjadi diantara para pelakunya. Selain itu ada juga maling kelas teri yang sama-sama menjadi warga negara kita ini. Maling kelas teri agak berbeda dengan koruptor, yang kelas kakap. Maling kelas teri hanyalah warga jelata yang harus berhadapan dengan hukum gara-gara maling hal-hal yang remeh-temeh. Ayam, makanan, sandal, dan lain-lain yang tak bernilai milyaran rupiah. Bahkan tak jarang rakyat kecil yang terpaksa maling dan terjerat hukum berat karena berusaha mencari sesuap nasi demi perutnya yang lapar.

Dua-duanya sama: Adalah sama-sama penjahatnya, yang merugikan banyak orang dan juga negara pada umumnya. Keduanya juga sama-sama dapat dijerat hukum, dan dijebloskan ke dalam penjara sebagai hukumannya. Akan tetapi hal tersebut hanyalah dalam teorinya saja. Kenyataan di lapangan sungguh berbeda. Dimulai dari sidang kasus korupsi. Pastilah koruptor akan berpakaian rapi, seperti layaknya pakaian dinas setiap harinya. Namun bagi maling kelas teri, ia akan memakai baju tahanan. Dari segi vonis hukumannya pun berbeda. Banyak sekali koruptor yang dihukumi ringan, bahkan ada yang divonis bebas. Tapi jika yang terjerat hukum seringkali rasa keadilan itu terkoyak, seperti kasus AAL di atas. Gara-gara sandal jepit bekas, ditaksir harga maksimalnya mencapai tiga puluh ribu rupiah, AAL yang masih berumur 15 tahun terancam hukuman kurungan maksimal selama lima tahun.

Sesampainya di penjara pun akan berbeda lagi perlakuannya: antara maling kelas kakap yaitu koruptor dan maling kelas teri. Walaupun antara koruptor dan maling kelas teri ditempatkan dalam satu penjara, dimana penjara tersebut merupakan penjara terkejam di negara ini, akan tetapi sel mereka tetap berbeda. Sel tahanan bagi maling ayam (misalnya) akan berdinding jeruji besi dan tembok yang tebal. Dengan lantai yang biasa dan beralaskan tikar. Sedangkan untuk koruptor, sel tahanannya akan berupa selayaknya  hotel di dalam penjara. Dengan segala fasilitas yang ada, para koruptor bagaikan  hanya pindah rumah saja. Koruptor inginkan apa saja dapat dipenuhi oleh petugas Lapas. Tetapi untuk maling kelas teri, hanya berhak diam tanpa boleh meminta apapun. Maling kelas teri bagaikan binatang di dalam penjara, yang selalu disiksa dan dibuat jera. Sedangkan koruptor berbalik, bagaikan dewa di dalam penjara. Tiada siksa ataupun sejenisnya.
 Itulah sepenggal cerita yang saya baca di negara ini. Di mana koruptor yang jelas-jelas memakan uang rakyat banyak, dan sangat-sangat merugikan negara, akan lebih mulia apabila dibandingkan dengan maling sandal yang apabila dilihat dari segi efeknya tidak sebanding dengan apa yang telah diperbuat para koruptor. Seharusnya, hukuman bagi koruptor haruslah lebih berat bila dibandingkan dengan pencuri sandal. Bila perlu dihukum mati sekalian. Agar para koruptor tersebut jera, dan mikir apabila hendak melakukan korupsi. Karena akan berakibat kehilangan nyawanya.
Apabila dipenjara, para koruptor juga harus sama hak-hak dan kewajibannya sebagai tahanan suatu Lapas, sama halnya dengan maling kelas teri yang satu Lapas dengannya. Kalau perlu, berikan para koruptor itu siksaan yang lebih kejam daripada siksaan terhadap maling kelas teri. Dimiskinkan, dibekukan asetnya, dan tidak perlu ada remisi bagi para koruptor. Agar ia juga merasakan pedihnya akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya. Para koruptor haruslah dibuat semenderita mungkin dan sejera-jeranya. Supaya ia tidak lagi mengulangi korupsi dan tidak menurunkan perbuatannya kepada anak cucunya.

Keadilan Yang Dirindukan

Mengambil barang sekecil apapun tanpa izin adalah tetap perbuatan salah. Tapi sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa ini bukan soal benar atau salah, tapi ini adalah soal “keadilan”. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sila kelima Pancasila, seolah-olah masih sebatas kata magis dan retorik. Rindu rakyat berjumpa keadilan kian membuncah. Hukum yang tidak adil itu justru mencabik-cabik logika dan rasa keadilan manakala koruptor (maling kelas kakap) yang merampas kemanusiaan yang adil dan beradab bisa melenggang bebas.

Keadilan sosial menjadi utopia karena dikorup oleh sebagian pemimpin yang serakah dan tak tahu diri, pemodal yang asosial dan nirsolidaritas. Cukuplah sudah keadilan dipidatokan. Terlalu picik menerjemahkan keberpihakan dan pembelaan hanya dengan janji-janji saja. Dan solidaritas masyarakat pada AAL dengan mengumpulkan 1000 sandal, bisa menunjukkan betapa masyarakat sudah muak dengan kekuatan hukum di negeri ini, yang tebang pilih, yang pilih kasih. Di mana pisau hukum di negeri ini, tumpul ke atas dan tajam menusuk ke bawah. ***

*) Penulis, Dosen Luar Biasa STAIN Pontianak.


Sumber : Pontianak Post

2 comments:

  1. Assalamualaikum Mas Asep,
    Salam kenal sy Ibnu Kharis dr Purwokerto, stlah sy baca tulisan yg ken arok sy terinspirasi bgt.. boleh izin sy share d blog sy
    tdk?

    Syukron..

    ReplyDelete
  2. Assalamualaikum Mas Asep,
    Salam kenal sy Ibnu Kharis dr Purwokerto, stlah sy baca tulisan yg ken arok sy terinspirasi bgt.. boleh izin sy share d blog sy
    tdk?

    Syukron..

    ReplyDelete