Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, January 4, 2012

Ada Asa di Tengah Kelesuan Global

Oleh : Destry Damayanti

DI tengah memburuknya kondisi keuangan global, industri perbankan Indonesia sepanjang 2011 tetap kuat. Itu tercermin dari pertumbuhan kredit yang mencapai sekitar 26 persen per tahun sampai Oktober. Begitu juga dana pihak ketiga (DPK) yang meningkat 19 persen per tahun. Sementara, total aset perbankan bertambah 22. persen menjadi Rp 3.408 triliun. Ekspansi di perbankan nasional ternyata juga diimbangi dengan perbaikan kualitas perbankan yang ditunjukkan dengan menurunnya NPL (nonperforming loan) menjadi 2,7 persen pada Oktober 2011 dari 3,1 persen di tahun sebelumnya. Sementara capital adequacy ratio (CAR) perbankan nasional meningkat menjadi 17,2 persen dari 17 persen. Jauh di atas batas minimum
ketentuan Bank Indonesia sebesar 8 persen. Di periode yang sama, modal perbankan juga meningkat 33 persen, dari Rp 308 triliun menjadi Rp 410 triliun.

Kondisi perbankan nasional yang sangat baik itu tentu tidak lepas dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bagus, sepanjang 2011, yakni mencapai 6,5 persen. Satu hal lagi instrument pendukungnya: kepercayaan pelaku bisnis yang tinggi atas prospek perekonomian di tanah air. Bagaimana industri perbankan di tahun 2012? Diperkirakan ada banyak tantangan seiring dengan makin memburuknya ekonomi global yang dipicu
semakin redupnya situasi keuangan negara maju. Kabar kurang baik itu pada akhirnya juga akan memengaruhi ekonomi Indonesia. Tentu, itu akan meningkatkan risiko usaha secara global dan mengurangi likuiditas global, khususnya dalam US dolar.

Peluang dan Tantangan 2012
Mayoritas pelaku industri keuangan meyakini bahwa efek krisis global saat ini baru dirasakan oleh industri perbankan di tahun 2012. Namun, seperti halnya krisis 2008, industri perbankan nasional diharapkan tidak akan terpengaruh secara luas dan langsung
terhadap krisis tersebut. Ada beberapa fakta dan kondisi aktual industri perbankan yang hingga saat ini semakin kuat dan solid, baik secara praktik bisnis maupun regulasi. Ini bisa menjadi daya tahan industri perbankan menghadapi pengaruh negatif kondisi
global itu.
Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan masih terus berlanjut sekitar 6,2 persen tahun 2012 walaupun sedikit melambat jika dibandingkan dengan 2011 yang mencapai 6,5 persen. Indonesia sejauh ini telah membuktikan diri sebagai salah
satu negara yang mempunyai daya tahan tinggi dan stabil menghadapi krisis ekonomi global. Ekonomi domestic yang ditopang oleh konsumsi masyarakat dan investasi masih tetap merupakan penggerak utama perekonomian nasional. Dua faktor itu menyumbangkan sekitar 88 persen dari total produk domestik bruto (PDB).
Sektor yang berorientasi domestic ekonomi seperti perdagangan, hotel dan restauran serta sektor telekomunikasi dan konstruksi diperkirakan akan mendukung pertumbuhan ekonomi. Stabilitas ekonomi Indonesia juga ditunjukkan dengan relatif rendahnya
inflasi sehingga akan memberikan ruang yang lebih luas bagi perbankan untuk tumbuh.
Hal ini juga didukung dengan diturunkannya suku bunga acuan (BI rate) sebesar 75 basis poin sejak Oktober lalu. Kedua, kondisi permodalan perbankan nasional saat
ini relatif kuat seperti tecermin dari CAR yang mencapai 17,2 persen, jauh melampaui ketentuan batas minimum permodalan sebesar 8 persen. Artinya, kemampuan perbankan
untuk meningkatkan kredit masih terbuka, tentu dengan memperhatikan kaidah prudensial.
Meskipun penguatan modal plus penerapan manajemen risiko akan memberikan jaminan kelangsungan bisnis bagi industri perbankan, faktor pengawasan yang kuat secara
internal dan eksternal mutlak dibutuhkan. Jumlah dan skala bisnis bank yang beragam mengakibatkan faktor risiko yang ditimbulkan akan relatif beragam. Dengan
begitu, penguatan fungsi pengawasan regulator sebagai bagian early warning system akan menjadi kunci mengantisipasi timbulnya risiko sistemik pada sistem perbankan.
Faktor ketiga yang diyakini merupakan ”faktor luck” penyelamat bisnis perbankan nasional adalah relative terbebasnya perbankan kita dari kontaminasi aset-aset berisiko, baik yang berasal dari Amerika maupun Eropa.
Orientasi bisnis bank yang masih tradisional dan lebih pada domestic market  memberikan nilai lebih di tengah kondisi pasar perbankan global yang sudah  terintegrasi. Masuknya investor asing di industri perbankan diperkirakan masih akan berlanjut. Sebab,
potensi pasar domestik masih luas, khususnya bisnis kredit konsumsi dan UMKM yang masih menawarkan margin yang menarik, walaupun dengan risiko yang tinggi pula.
Terlebih lagi dengan kedalaman sektor perbankan kita yang masih rendah,
yaitu dengan rasio total kredit terhadap PDB yang hanya sekitar 27 persen (bandingkan
dengan Korea Selatan yang sebesar 109 persen, Singapura 102 persen, dan Thailand 97
persen), ruang perbankan Indonesia untuk tumbuh masih sangat besar.
Faktor keempat yang juga berperan penting dan akan menjadi salah satu faktor pendorong bagi perbankan nasional melalui tahun 2012 adalah kesiapan BI dalam mengawal arah kebijakan yang tepat dalam bidang moneter dan pengawasan. Kebijakan
yang ditempuh BI saat ini sudah selaras dengan upaya menjaga laju inflasi
setelah mempertimbangkan dampak kecenderungan menurunnya pertumbuhan ekonomi global. Sementara di bidang perbankan, BI juga telah mengambil langkah antisipatif
dengan meningkatkan intensitas pengawasan bank guna meminimalkan dampak yang terjadi pada kondisi likuiditas, sekaligus juga menurunkan suku bunga acuan untuk
mendorong peningkatan kredit ke sektor produktif.
Meski demikian, di tahun 2012 ini, perbankan nasional juga akan menghadapi
beberapa tantangan, khususnya apabila kondisi ekonomi dan keuangan global makin buruk. Lesunya ekonomi dan keuangan di Eropa berpotensi memukul bisnis perbankan
domestik karena tergerusnya likuiditas global secara tajam yang akhirnya akan menekan likuiditas domestik.
Ketersediaan pasokan likuiditas adalah tantangan terberat bagi perbankan tahun depan dalam melakukan ekspansi. Dalam hal ini, bank harus mampu bersaing secara efisien, bukan hanya menarik DPK, namun juga mengelolanya. Sebab, diperkirakan perang
suku bunga antarbank akan terjadi sepanjang tahun depan. Tantangan lain adalah kemampuan bank dalam menata portfolio, khususnya alokasi aset dan kredit yang
memiliki profil risiko tinggi. Dalam kondisi ekonomi global yang masih rentan itu, industri-industri yang berorientasi ekspor dan memiliki ketergantungan tinggi pada bahan baku impor akan cenderung lebih rentan terhadap gejolak ekonomi global. Diversifikasi
pada sektor berbasis domestic market dengan lokal konten yang dominan seperti consumer goods, energi, dan infrastruktur adalah sebagian dari sektor produktif yang diperkirakan mampu bertahan. Sementara, jika dilihat dari sisi skala usaha, sektor UMKM khususnya mikro dan small menjadi penyangga pertumbuhan industri perbankan.

Tantangan berikutnya adalah perlu ketersediaan protokol manajemen krisis (crisis management protocol). Hal itu penting sebagai bentuk antisipasi terhadap ketidakpastian global yang semakin meningkat yang membutuhkan kesiapan untuk mengambil
langkah-langkah mitigasi yang cepat dan tepat.
Tahun 2012 merupakan tahun ujian yang perlu dihadapi oleh perbankan nasional. Sebab, suka atau tidak suka, krisis ekonomi akan memiliki dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian makro Indonesia. Namun, dengan modal
dan kesiapan strategi yang tepat, industri perbankan nasional tidak perlu khawatir. Tetapi, itu tidak berarti meninggalkan kewaspadaan, khususnya dalam mengantisipasi besarnya
dampak krisis terhadap kinerja perbankan. Ruang perbankan nasional untuk tumbuh masih ada walaupun terbatas dengan proyeksi pertumbuhan kredit nasional 20 hingga 24 persen dan DPK 12–15 persen seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional menjadi 6,2 persen (dibandingkan dengan 6,5 persen di tahun 2011). **

*) Penulis, Chief Economist PT Bank Mandiri Tbk

No comments:

Post a Comment