Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, January 3, 2012

Reformasi Kepribadian untuk Pemerintah

Oleh : EkoSulistio Daryoto

Ketika orde baru mengalami kejatuhannya, reformasi dilaksanakan pada seluruh bidang kehidupan bernegara. Kebebasan pers mendapatkan tempatnya, supremasi hukum ditingkatkan, dengungan demokrasi berkibar dimana-mana. Semangat pembaruan kehidupan bernegara dengan berdasarkan asas kebenaran demi kemajuan dan menjunjung tinggi harkat martabat bangsa.

Setelah lebih dari 1 dekade reformasi itu kita laksanakan, apakah negara ini sudah jauh lebih baik? Pertanyaan itu muncul dalam benak kita masing-masing karena melihat sejarah perjuangan bangsa, mulai dari awal berdirinya hingga sekarang. Dambaan akan negara yang bermartabat dan juga menjadi kiblat dunia selalu kita harapkan. Namun, fakta yang terhampar dihadapan kita adalah kebalikan dari apa yang sudah kita ekspetasikan. Satu contoh adalah masih banyak rakyat yang berada dalam garis kemiskinan. Meskipun pemerintah mengklaim bahwa angka kemiskinan rakyat Indonesia menurun, namun hal tersebut tidak dapat merubah mainframe bahwa banyak rakyat Indonesia masih pada posisi miskin. Lihatlah fakta yang sering disiarkan oleh media. Mulai dari derita rakyat yang tidak memiliki rumah, akses kesehatan untuk mereka sangat sulit, lahan liar yang menjadi rumah mereka akhirnya digusur. Bukankah ini fakta yang sangat memilukan bagi negara yang kaya ini. Lalu bagaimana pemerintah mengurusi mereka, sudahkah rakyat yang menderita itu merasa diurusi oleh pemerintah? Jangankan berharap untuk diurusi, untuk disentuh oleh pemerintah saja mungkin mereka tidak merasakannya.

Contoh lain dari ekspetasi yang telah terbalik kenyataannya adalah masalah Korupsi. Masa orde baru dulu masih sering kita dengar dengan istilah KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Ternyata reformasi untuk mengubah itu semua tidaklah berhasil. Sekarang Korupsi bukan hanya masih kita dengar, tapi juga masih sering dilakukan. Mulai dari yang triliunan hingga merugikan negara, hingga yang berupa sebatang rokok. Korupsi bukan hanya menjadi sebuah tindak pidana, namun juga menjadi tradisi yang seolah mendarah daging dan turun ke keturunannya. Lihatlah Century, kasus wisma atlet, yang merupakan kasus di pusat, belum lagi di daerah. KPK bekerja ekstra untuk mengusut kasus Korupsi yang menumpuk dari hasil laporan, belum lagi yang tidak dilaporkan.

KompasTV per 15 November 2011, menyiarkan acara diskusi tentang bulutangkis Indonesia. Pada acara tersebut terjadi diskusi tentang permasalahan yang terjadi di kubu PBSI terkait prestasi bulutangkis yang terus menurun (meskipun akhirnya mendapatkan emas pada Sea Games beregu putra bulu tangkis). Salah satu problema yang disebutkan ternyata juga masalah nepotisme pada lembaga olahraga ini. Dimana orang-orang berprestasi dan telah lulus  uji seleksi berdasar peringkat yang seharusnya dapat ikut pelatnas akhirnya terpinggirkan karena alasan yang tidak jelas. Sedangkan orang yang tidak mengikuti uji seleksi, tiba-tiba ikut dalam pelatnas

Bisa kita bayangkan, untuk sebuah lembaga olahraga saja nepotisme bisa dimainkan, apalagi untuk dunia pemerintahan. Dalam seleksi penerimaan PNS sering dikatakan terjadi hal-hal seperti ini, walaupun bukti konkret tidak pernah ditemui. Namun, hal ini seperti sudah menjadi rahasia umum. Orang-orang yang dekat akhirnya bisa mendapatkan jaminan. Sedangkan orang yang tidak punya hubungan dengan orang dalam sama sekali meskipun punya kemampuan akhirnya tidak lulus.

Dari sedikit masalah yang terpaparkan tersebut, lalu apa gunanya reformasi yang telah kita perjuangkan? Apakah akhirnya perjuangan itu sia-sia dan secara tidak sadar ternyata kita masih berada dalam kawah orde baru? Reformasi yang kita lakukan sejak satu dekade lalu hanyalah reformasi sistem dalam pemerintahan. Sistem yang saat itu sedang rusak berusaha untuk kita perbaiki. Pola pemerintahan yang penuh dengan sistem KKN kita reformasi, supremasi hukum yang tidak berjalan kita reformasi, namun kepribadian tidak direformasi. Pelaku dari semua carut marut ini adalah oknum. Jadi percuma kita meperbaharui sistem, namun oknum yang masih mengidap penyakit lama tidak diperbaharui. Nilai-nilai Korupsi dan Nepotisme masih mengakar dalam ingatan dan kepribadian. Maka akhirnya prilakunya pun menurut atas pengalaman yang ternyata juga telah diturunkan dari generasi sebelumnya. Akhirnya rakyat jualah yang menjadi korban. Kesejahteraan yang sebenarnya untuk rakyat menjadi kesejahteraan pribadi. Rakyat yang sudah miskin tetap miskin terus menerus, dan rakyat yang kaya terus teap kaya.

    Pribadi semua orang  harus direformasi. Pola fikir lama dirombak untuk menjadi pola fikir baru yang lebih mengedepankan kesejahteraan rakyat. Jiwa yang sudah tertanam dengan akhlak yang buruk bunuh dengan sistem pendidikan yang baik. Jika tenyata semua sistem masih menyimpan pribadi yang penyakitan, maka hapus sekalian sistem beserta penyakit yang dibawa oleh oknumnya. Jangan lagi membiarkan penyakit itu tumbuh bersama oknumnya. Jika tidak ada jalan lain, maka tumpas saja oknumnya. Demi bangsa yang lebih maju dan lebih bersih. **

* Penulis, Pembelajar di Star-K Pontianak. 

No comments:

Post a Comment