Pemato jayati soko pemato jayati bhayam pemato vippamuttasa natthi soko kuto bhayam. Arti: Dari cinta timbul kesedihan, dari cinta timbul ketakutan, bagi orang yang telah bebas dari rasa cinta, tidak ada lagi kesedihan maupun ketakutan. (Dhammapada 213)
BUDDHA Dharma tidak mengenal kekerasan dan penindasan dengan asalan untuk kebahagiaan makhluk hidup. Sebaliknya seorang siswa Buddha dapat mengorbankan dirinya sendiri untuk kebahagiaan makhluk hidup sebagaimana tergambar dalam simbol lilin. Dikisahkan dalam kitab Dhammapada sebagai berikut: Pangeran Mahanama adalah seorang kemenakan sekaligus pengikut Buddha. Ketika Raja Vidukara dari Kosala menaklukan kaun Sakya, Ia dihadapkan pada dua pilihan yaitu mengorbankan diri sendiri untuk keselamatan pengikutnya atau kah mengorbankan pengikutnya untuk keselamatan jiwanya sendiri.
Pangeran Mahanama adalah seorang manusia biasa, tetapi dengan ajaran Buddha menjadikan dirinya lebih dari sekedar manusia biasa. Buddha tidak hanya mengajarkan manusia sebagaimana adanya, tetapi menuntut agar manusia itu lebih baik bahkan menjadi dewa. Menurut Buddha bahwa keluhuran budi baik dan kesucian batin tidak hanya dibatasi oleh tubuh jasmani yang serba kekurangan. Namun demikian penyempurnaan batin menuntut kebajikan moral. Moralitas Buddhis bukan berdasarkan pada ukuran materi namun didasari atas kebebasan manusia sebagai tuan bagi dirinya sendiri. Jika manusia didasari atas kekuatas di luar dari dirinya atau dipaksa untuk menerima nasib atau pasrah terhadap kondisi yang menimpanya, maka manusia tersebut tidak memiliki tanggung jawab atas perbuatannya. Hanya dengan kebebasan berpikir yang dilandasi tanggung jawab, maka perbuatannya dapat dipertangungjawabkan, tidak lantas menyalahkan atau mengambinghitamkan makhluk lain. Tanggung jawab moral dalam pemikiran Buddhis berpangkal pada pemikiran individu. Individu bebas memilih untuk menjadi baik atau bahkan menambah penderitaan dalam kehidupan ini. Hanya orang dungu yang mungkin akan memilih jalan hidup menuju penderitaan atau neraka. Mereka yang sadar dan bijaksana tentu akan memilih jalan kebajikan untuk membuat dirinya dan sekelilingnya berbahagia. Harus diakui bahwa hidup dalam pemikiran Buddha adalah sebuah perjuangan untuk melenyapkan penderitaan “ Dilahirkan, menjadi tua, sakit, mati, sedih, susah, gelisah, berkumpul dengan yang tidak disukai, berpisah dari apa yang disukai, tidak memperoleh apa yang diharapkan, dan gagal dalam meraih sukses merupakan fenomena penderitaan yang selalu dialami oleh manusia. (Samyutta Nikaya VI)
Orang yang saling bermusuhan akan memandangnya satu sama lain seperti binatang buas. Kekerasan tidak pernah menghasilkan kebahagiaan, bahkan sebaliknya akan selalu menambah penderitaan. Karena perbuatannya sendiri manusia mengalami penderitaan. Setelah sampai pada puncak penderitaan, tidak tahan lagi menjalani kehidupan yang diliputi kematian, manusia mulai menyadari kesalahannya. Mereka saling menghindar agar tidak saling menyerang, lalu setelah lama tidak berpapasan, pada saat bertemu kembali, timbul perasaan sykur bahwa mereka masih tetap hidup. Orang-orang itu saling merangkul, senang karena masih bisa hidup,” katanya. Maka selanjutnya mereka hidup dengan damai dan menghindari perbuatan yang merugikan pihak lain” (Digha Nikaya, 26).
Pada hakikatnya manusia selalu diberi kesempatan untuk mengatur dan memperbaiki dirinya, para penjahat pun diberi kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Ketika mereka memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk memperbaiki dirinya, ia akan dapat mengubah dirinya menjadi seorang suci. Sabda Buddha menyebutkan ”Barang siapa yang sebelumnya pernah lengah, tetapi kemudian tidak lengah, maka ia akan menerangi dunia ini bagaikan bulan yang bebas dari awan. Selanjutnya, Barang siapa meninggalkan perbuatan jahat yang pernah dilakukan dengan jalan berbuat kebajikan, maka ia akan menerangi dunia ini bagaikan bulan yang bebas dari awan.” (Dhammapada : 172-173)
No comments:
Post a Comment