Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, January 18, 2012

Kearifan Menyongsong Pemilihan Kepala Daerah


Oleh : Patrice

    Tahun 2012 adalah tahun yang mendekati Pemilu 2014. Maka wajar, apabila suhu politik nasional semakin hangat. Namun belum akan sehangat suhu politik Kalimantan Barat, karena di tahun 2012, di bulan September, akan berlangsung secara serentak proses pemilihan Gubernur Provinsi Kalimantan Barat dan Walikota Singkawang. Permasalahan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada umumnya berkisar pada dua hal pokok. Pertama, tingkat kesadaran dan pengetahuan masyarakat pemilih untuk menentukan pemimpin terbaiknya. Kedua, kebebasan masyarakat pemilih dalam menentukan pilihannya, tanpa paksaan baik secara keras atau lembut, langsung atau tak langsung. Kedua permasalahan ini sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia, terutama elite politik sebagai motor penggerak. Permasalahan yang dimaksud dapat dirumuskan dengan pertanyaan berikut. Seberapa dalam dan luas masyarakat pemilih mampu mengenal dan menilai calon pemimpinnya; seberapa bebas dan bertanggung jawab seorang pemilih, baik secara psikologis dan moral, dalam menentukan pilihannya ?

Kesadaran dan Pengetahuan


Kesadaran  dan pengetahuan masyarakat pemilih dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan  akses informasi yang benar dan obyektif yang diperolehnya dari tokoh masyarakat, pemuka agama, cendekiawan, media cetak atau elektronik dan elite politik di partai maupun di institusi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Obyektivitas menjadi masalah, misalnya, yang datang dari partai atau kelompok politik. Sebab, tiap partai dan kelompok politik akan berusaha memperkecil peluang lawannya untuk menang. Selanjutnya, bagaimana obyektivitas tokoh masyarakat, tokoh agama dan cendekiawan, bahkan media cetak maupun elektronik sendiri?

Kebebasan Memilih

Tahu tentang apa atau siapa yang akan dipilih belum cukup, sebab dipertanyakan lebih lanjut, adakah kebebasan menyertai masyarakat pemilih dalam mengambil keputusannya? Kebebasan berarti kemampuan memilih, mempertimbangkan dan memutuskan siapa yang layak menjadi pemimpin berdasarkan berbagai pendapat dan atau suara hati sendiri, tanpa dipengaruhi pihak eksternal. Tingkat kebebasan masyarakat pemilih sangat dipengaruhi faktor ekonomi, dan paradigma yang melekat dalam dirinya. Sebagai misal, politik uang akan kuat bermain di tengah masyarakat miskin ekonomis. Demi uang, masyarakat demikian akan memilih calon-calon pemimpin yang mampu memberi lebih, tanpa mempertimbangkan kualitas kepemimpinannya lagi. Paradigma primordialisme yang  bersentimen kuat karena berorientasi pada etnis, golongan, daerah dan atau agama akan menjadi belenggu kebebasan masyarakat pemilih. Sebab, siapa yang terbaik adalah calon se-suku, se-golongan, se-wilayah, dan atau se-agama.  Akal sehat sudah dipagari. Bahkan emosi masyarakat pemilih gampang dibakar dan menjadi bara konflik horizontal. Obyektivitas dalam masyarakat yang kuat primordialismenya bisa diragukan.  

Budaya Bisu


Masalah lain yang bertalian dengan kedua masalah di atas adalah kesempatan dan keberanian menilai calon secara terbuka. Secara teoritis bisa, tetapi dilihat dari budaya masyarakat masih ada kendalanya. Berbicara kritis dan terus-terang  tentang profil atau kualitas calon pemimpin akan dinilai sebagai serangan pribadi. Apabila disampaikan dengan retorika sopan disertai humor, penilaian menjadi ngambang dan tidak tajam, bahkan membingungkan. Silent Culture atau budaya bisu secara  nyata masih tumbuh subur. Maka dari itu, tampak gejala atau kebiasaan dalam memberi pandangan dan penilaian tentang calon pemimpin, yang cenderung tidak terbuka luas, tetapi cenderung berbicara di ruang terbatas, secara berbisik-bisik, dan secara bergerilya saling menebar pesan singkat (SMS), bahkan pesan yang bersifat provokatif-agitatif. Akibatnya, masyarakat menjadi semakin tidak cerdas dan dewasa berdemokrasi. Dampak lainnya, masyarakat  terkotak-kotak, serta saling curiga. Hakikat demokrasi sebagai  kebebasan berpendapat sulit direalisasikan karena faktor budaya tersebut. Dengan demikian, tanggungjawab moral berdemokrasi juga lemah.

Bagaimana Bersikap ?


Jika demikian halnya, bagaimana menyikapi permasalahan di atas ?  Pertama, mengakui dan menerima (ini yang paling sulit, sebab mengakui saja tidak cukup) bahwa, tingkat pendidikan yang rendah akan menyebabkan terbatasnya kemampuan masyarakat pemilih menentukan pemimpin terbaiknya. Kedua, mengakui dan menerima bahwa  kemiskinan menyuburkan politik uang dalam pilkada. Ketiga, primordialisme merupakan suatu realita yang tidak dapat dipungkiri dan bersama faktor kemiskinan akan mengurangi kebebasan masyarakat pemilih. Jika masyarakat Kalimantan Barat, terutama tokoh masyarakat, tokoh agama, para cendekiawan, elite politik, dan komunitas media cetak atau elektronik menginginkan terwujudnya kemajuan demokrasi, kelancaran, keamanan dan kedamaian dalam Pilkada, maka sesuai amanat  Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, “Cegah kompetisi suasana di masyarakat politik yang tidak pada kepatutannya sehingga membuat tidak tenteram di masyarakat. Demokrasi tidak harus disertai kegaduhan, perpecahan, dan konflik berlebihan. Rakyat tidak ingin kegaduhan politik berlebihan di negeri ini.” (Sindo, 2/1/2012).

Jaga Pikiran , Emosi dan Mulut
Berdasarkan pengalaman kegagalan penyelenggaraan pilkada di berbagai tempat, maka kegaduhan politik juga akan berimbas pada kesejahteraan dan keberlanjutan pembangunan.  Iklim usaha dan investasi di daerah bisa terhambat. Percumalah jika telah mendapatkan investment grade kalau ternyata Kalimantan Barat tidak mampu menjamin kestabilan politik. Jaminan kehadiran sekian persen anggota Polda menyongsong Pilkada belum cukup, dan memang bukan Polda dan atau TNI yang satu-satunya akan dan dapat menjamin, tetapi semua elemen masyarakat Kalimantan Barat yang melaksanakan pesta demokrasi di daerahnya. Mungkin ini salah satu himbauan, bahwa masing-masing dari kita masih perlu belajar menjernihkan pikiran, mengontrol emosi dan menjaga mulut agar dapat berpikir, bereaksi dan berbicara yang arif dan menyejukkan, setidaknya meminimalisir suhu politik yang panas dan cenderung tidak sehat. Semoga! **

* Penulis, Staf Pengajar Perguruan Tinggi Widya Dharma Pontianak, alumnus Suscadoswir Lemhannas Angkatan XL, 1997.

No comments:

Post a Comment