Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday, January 21, 2012

Koefisien Phi

Oleh : Leo Sutrisno
SEORANG pembaca, mengirimkan mengirim email ’sekadar iseng’ tulisnya. Pembaca ini bercerita bahwa sebentar lagi akan ada pemilihan gubernur Provinsi Kalimantan Barat. Hingga saat ini belum ada gubernur perempuan di Indonesia. Bupati, wali kota sudah ada. Ia ’iseng’ bertanya-tanya adakah hubungan antara jenis kelamin dan terpilih menjadi gunbernur atau kepala daerah. Kalau hubungan itu diketahui, tentu dapat diprediksi terpilih atau tidak berdasarkan jenis kelamin calon.


Baik!  Walaupun ’sekadar iseng’  apa salahnya untuk dibahas. Siapa tahu dapat memperluas cakrawala pengetahuan kita. Kasus yang disampaikan pembaca ini dapat disajikan dalam bentuk tabel [seperti Tabel 1]. Misalnya, kita memiliki data tentang hasil pemilukada di sejumlah daerah di Indonesia. Baik variabel jenis kelamin calon maupun variabel keberhasilannya dalam pemilukada dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu berturut-turut: laki-laki dan perempuan, serta menang dan kalah. Sehingga, para calon dapat dipisahkan  menjadi empat kelompok.  Kelompok ’a’ adalah calon laki-laki yang menang [terpilih], kelompok ’b’ adalah calon perempuan yang menang [terpilih]. Kelompok ’c’ adalah calon laki-laki yang kalah [tidak terpilih]. Dan, kelompok ’d’ adalah calon perempuan yang kalah [tidak terpilih]. Catatan: variabel yang dapat dipisahkan ke dalam dua kelompok seperti ini disebut ’variabel dikotomi’.
Andaikan kita memiliki data sebaran seperti pada Tabel 1, maka kita dapat mengajukan sebuah pertanyaan apakah ada hubungan antara jenis kelamin dan keberhasilan dalam pemilukada. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menggunakan rumus Phi [Φ].


Harga Φ, seperti harga koefisien korelasi yang lain, dapat diinterpretasikan dengan menggunakan aturan ruas jari. Jari-jari tangan kita terdiri tiga ruas, kecuali ibu jari. Panjang ketiga ruas dari setiap jari kurang lebih sama. [Lihat Gambar 1]. Sehingga, secara kasar, ruas-ruas itu membagi tiga kelompok menurut urutan besar kecilnya, dari ’rendah’ (antara 0.00-0.30), ’sedang’ (antara 0.30-0.70) dan ’tinggi’ (di atas 0.70).
Hasil perhitungan Harga Φ yang dicontohkan adalah 0.05. karena itu, dapat diinterpretasikan bahwa hubungan antara jenis kelamin dan keberhasilan pemilukada sangat rendah. Artinya, keberhasilan dalam pemilukada tidak ditentukan secara penuh oleh jenis kelamin calon. Bisa jadi ditentukan oleh faktor lain.
Apabila harga Phi [Φ] dikuadratkan, kita memperoleh nilai  , yaitu informasi tentang proporsi kesalahan dalam memperkirakan variabel Y [keberhasilan dalam pemilukada] yang dapat diperkecil karena memiliki data dari variabel X [jenis kelamin calon]. Dalam contoh pemilukada ini nilai   adalah (0.05)^2 = 0.0025. mencermati nilai ini (0.0025) yang sangat kecil mendorong untuk menyatakan bahwa pengetahuan kita tentang jenis kelamin seorang calon tidak cukup untuk memperkecil proporsi kesalahan kita dalam memutuskan apakah calon itu berhasil atau tidak dalam pemilukada. Dengan perkataan lain, kita tidak dapat serta merta memastikan terpilih atau tidak seorang calon dalam pemilukada berdasarkan jenis kelamin calon.
Apa kesimpulan kita jika sebaran data pemilukada seperti yang tersaji pada Tabel 2? Pembaca dipersilahkan menghitung sendiri harga Phi [Φ]. Tetapi, dengan pengamatan sementara saja kita dapat memperkirakan bahwa keberhasilan calon perempuan dalam pemilukada kurang meyakinkan. Berbeda dengan contoh yang pertama, bukan?
Inilah pembaca, respon terhadap email ’iseng’ yang dikirimkan oleh salah seorang pembaca. Untuk menjawab yang sungguh berdasarkan data, pembaca dapat mengumpulkan data seperti yang di contoh ini dari KPUD. Berkat keisengan seseorang ternyata kita memperoleh tambahan pengetahuan. Semoga!

No comments:

Post a Comment