Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, January 29, 2012

Kedudukan Bukan Tempat Duduk

Oleh: Aswandi


SATU diantara sekian banyak faktor motivasi adalah kedudukan atau jabatan,  Kedudukan membuat seseorang yang tadinya lemah menjadi kuat, gagah, banyak orang tertunduk-tunduk menghormatinya, sarana dan prasana yang dimiliki dan digunakannya, seperti ruang kerja beserta perabotnya harus diganti yang lebih baik menyesuaikan dengan gengsi kedudukannya. Sebaliknya karena dicabut kedudukan, seseorang yang tadinya kuat, congkak, sombong dan sejenisnya menjadi lemah, lunglai dan tak berdaya, syukur-syukur tidak stres, stroke dan gila.

Barangkali asumsi tersebut yang menjadi alasan banyak orang meributkan kursi di kantornya, seperti kursi di Badan Anggaran DPR RI sekarang ini. Kursi ternyata bersentuhan dengan hukum relativitas yang dicetuskan oleh Albert Eintein seorang fisikawan, kursi memiliki nilai relatif sesuai siapa yang mendudukinya. MH. Ainun Najib mengatakan “Manusia itu dihargai berdasarkan kursi (tempat duduk) dan dasi yang dipakainya”. Sesungguhnya tidaklah demikian.

Harga sebuah kusi di ruang kerja Badan Anggaran DPR RI senilai Rp. 25 Juta, bisa untuk membeli rumah petak dari kayu, belum lagi harga mejanya tentu lebih mahal hanya untuk duduk dan tiduran. Ahmad Muzani selaku Sekretaris Jenderal Partai Garindra “melarang anggotanya duduk di ruang yang tidak jelas anggarannya, yakni ruang baru Badan Anggaran DPR RI yang di dalam ruangnya terdapat sejumlah kursi dengan harga @ Rp. 25 juta”, dikutip dari Tempo, 23-29 Januari 2012 .

Dahlan Iskan (2011) dalam salah satu bukunya “Dua Tangis dan Ribuan Tawa” mengingatkan bahwa “Kedudukan tentu tidak sama dengan tempat duduk. Yang merasa berkuasa pun belum tentu bisa menguasainya. Yang punya kedudukan belum tentu bisa duduk semestinya.” Barangkali mereka lupa, tidak tahu, tidak mendapat petunjuk atau hidayah dari Allah Swt telah mempertontonkan perbuatan tercela atau tidak terpuji di saat rakyat sedang dalam suasana serba sulit dan penuh penderitaan.

Para pemimpin sejati tidak pernah memikirkan tempat duduknya, bahkan menjadi pemimpin atau memiliki kekuasaan dan kedudukan pun barang kali mereka tidak merasakannya, justru mereka lebih merasakan dirinya sebagai seorang pelayan. Kepemimpinan adalah kepelayanan, memimpin adalah melayani, bukan dilayani. Hal ini sering membedakan kepemimpinan pada pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta.
Penelitian Boyer dikutip Niven (2003) dalam bukunya berjudul “100 Simple Secrets of Successful People” menyatakan sebagai berikut; “terlepas dari kekuasaan yang kita hubungkan dengan seorang pemimpin, ternyata 93% dari para pemimpin besar yang benar-benar memimpin organisasi adalah mereka yang memandang diri mereka sebagai seorang pelayan (servant leadership) bagi pengikutnya atau rakyatnya. Blanchard & Miller (2004) mengatakan hal senada, yakni; ”Jika pembaca pada saat ini merasa sebagai seorang pemimpin dan ingin menjadi pemimpin besar yang sukses memimpin, maka pertanyaan utama dan terus menerus yang mesti anda ajukan kepada diri anda sendiri adalah; apakah saya seorang pemimpin yang melayani orang lain atau seorang pemimpin yang melayani diri sendiri, dan pemimpin yang meminta dilayani.”

Mengapa pemimpin besar dan pemimpin sukses di dunia ini mesti menjadi sang pelayan, bukan menjadi sang penguasa atau menjadi majikan? karena mereka tahu bahwa kepemimpinan sejati sama sekali tidak ada hubungannya dengan jabatan seseorang dalam organisasi, apalagi dihubungkan dengan sebuah kursi. Osborne dan Plastrik (1995) dalam bukunya “Banishing Bureaucracy” mensinyalir; “banyak lembaga pemerintah tidak melayani masyarakat, mereka melayani pemerintah lainnya karena mereka beranggapan bahwa pemerintahlah yang menentukan kelangsungan hidup (eksistensi) mereka bukan masyarakat, berbeda dari swasta yang lebih banyak melayani masyarakat, karena mereka sadar bahwa eksistensinya di tentukan oleh masyarakatnya.”

Di dunia saat ini, masih  ditemukan ada pemimpin yang tidak suka meributkan kursi tempat duduknya dan meja kerjanya, apalagi pakaiannya, kehidupannya sangat sederhana, tetapi produktivitas, efektivitas dan kinerja kepemimpinannya diakui dunia, seperti Ahmadinijed, presiden Republik Islam Iran yang dikenal sangat sederhana. Jas almamater yang digunakan saat kuliah masih sering digunakannya ketika beliau menjadi seorang gubernur Teheran dan presiden Iran, Muhammad Yunus pemilik Bank Swasta terkenal di Bangladesh dan salah seorang penerima hadiah nobel perdamaian memiliki ruang kerja yang sempit disertai perabot kantor yang sangat sederhana, misalnya kursi yang digunakan untuk duduk bekerja terbuat dari kayu layaknya kursi yang digunakan oleh siswa di kelas dan meja kerjanya juga demikian tidak ada lacinya. Rumah tempat tinggalnya menempati salah satu kamar yang menyatu dengan bangunan bank yang dipimpinnya. Akbar Faizal seorang anggota DPR RI menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke India, bertemu para pemimpin di negeri tersebut yang berpenampilan sangat sederhana. Rombongan petinggi negeri ini yang sebagian besar mengenakan jas kebesarannya merasa malu sendiri.

Negeri ini, pernah memiliki beberapa orang pemimpin yang hidupnya sangat sederhana dan zuhud, kualitas karakter atau kepribadiannya yang sangat terpuji memberi pengaruh yang sangat besar terhadap generasi muda yang hidup di masa-masa berikutnya, seperti Muhammad Hatta, wakil presiden pertama Republik Indonesia, Muhammad Natsir seorang tokoh Islam yang sangat dihormati oleh pemimpin dunia dan AR. Fakhrudin, mantan Ketua PP Muhammadiyah. Terakhir, seorang pemimpin yang tidak meributkan kuri tempat duduknya adalah bapak Joko Widodo seorang Wali Kota, dinilai berhasil memimpin Kota Solo dan sekarang digadang menjadi Gubernur Jawa Tengah, DKI Jakarta, bahkan wakil presiden mengatakan, “Setiap hari beliau hanya satu jam berada di ruang kerjanya dan jarang menduduki kursi kantornya. Kantornya di pasar, puskesmas, sungai, kecamatan, kelurahan, ke tanggul dan kemana-mana saja pokoknya yang langsung bertemu masyarakat (Tempo,  16-22 Januari 2012).

Pemimpin besar dalam melaksanakan fungsi pelayanan (SERVE) selalu  memperhatikan hal-hal sebagai berikut; (1) melihat masa depan dengan optimis dan jelas, (2) melibatkan dan mengembangkan orang lain, (3) berusaha menemukan kembali cara terbaik dalam bekerja melalui pembelajaran terus menerus (reinvent  continuosly/continue improvement/kaizen/selalu mengasah gergaji, kata Stephen Covey); (4) mengutamakan hasil dan hubungan kerja yang bermakna; dan (5) mewujudkan nilai dalam melaksanakan tugas. **

*Penulis, Dosen FKIP Untan.

No comments:

Post a Comment