Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, January 26, 2012

Menyoal Pelarangan Atraksi Tatung

Pelarangan terhadap pagelaran tatung pada perayaan Cap Go Meh 2563 di Kota Pontianak, patut mendapat perhatian serius ditengah upaya menjaga kelestarian budaya dalam semangat multikulturalisme. Jika di Singkawang kegiatan Imlek dan Cap Go Meh dijadikan sebagai event budaya berskala internasional, ironisnya di Pontianak, warga Tionghoa malah dibatasi kebebasannya melaksanakan ritual sekaligus budaya yang mereka junjung sejak turun temurun ini.

Kebijakan yang cenderung bias ini tentu mengundang pertanyaan besar; apakah ritual tatung ini sudah sedemikian berbahaya sehingga atas nama ketertiban dan ketenteraman masyarakat, maka ritual dan budaya Tionghoa patut dibatasi kegiatannya karena dapat menjadi ancaman bagi keamanan masyarakat? Padahal fakta membuktikan bahwa selama ini festival Cap Go Meh dan atraksi tatung selalu berjalan tertib dan aman, bahkan pemerintah dan masyarakat mendapatkan banyak keuntungan baik di sektor ekonomi,sosial maupun kebudayaan.

Di sektor ekonomi, tidak sedikit pihak baik instansi pemerintah, pengusaha, pusat-pusat hiburan dan jajanan, bahkan pedagang kaki lima dan asongan yang mendapatkan “berkah” dari upacara besar ini. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa kebudayaan Tionghoa ini mampu melahirkan satu identitas kolegial, dimana budaya dan ritual Tionghoa tidak lagi menjadi milik satu komunitas, tapi menjadi milik bersama dengan ukuran nilai dan batas-batas sosial tertentu. Budaya dan ritual yang semula ditujukan untuk skala terbatas, akhirnya menjadi sarana pemersatu masyarakat baik melalui kerjasama sosial, sharing kebudayaan, maupun pada peningkatan sumber kehidupan ekonomi masyarakat.

Mencari Akar Historis

Sejarah membuktikan bahwa etnik Tionghoa merupakan salah satu etnik tertua di Indonesia. Kehadiran etnik Tionghoa ke bumi nusantara ini sejak zaman akhir pra-sejarah, dimana pada tahun 300 sm terdapat satu bangsa Melayu Purba di Indo Cina (Semenanjung Malaka) yang berkebudayaan neolitichum dengan mengadopsi  kebudayaan Cina. Setelah kebudayaan ini dikembangkan menjadi satu kebudayaan sendiri, lalu oleh para ahli prasejarah disebut sebagai kebudayaan Dongson (Thongsan/ Tengswa).

Proses akulturasi ini terjadi melalui perkawinan kebudayaan Dongson dan asli yang kemudian menjadi tuan rumah di Indonesia bagi tumbuh dan berkembangnya agama dan budaya-budaya baru lainnya seperti Khonghucu, Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Kehadiran orang-orang Tionghoa melalui perantauan, berdagang dan singgah lalu menetap ke Indonesia, bisa dipastikan membawa tradisi budaya dan agama mereka dan mengalami pembauran secara alami ke tengah kehidupan masyarakat asli Indonesia.

Dengan demikian kehadiran etnik Tionghoa di Indonesia sejak berabad-abad yang lalu menjadi bukti bahwa etnik Tionghoa juga merupakan bagian dari bangsa Indonesia, termasuk khazanah ritual dan kebudayaannya. Perayaan Cap Go Meh itu sendiri tidak terbentuk serta merta, akan tetapi telah melalui proses akulturasi budaya antara orang-orang Cina dengan masyarakat lokal yang berawal dari perkampungan-perkampungan Cina penambang emas di Monterado sekitar tahun 1770.

Melestarikan Khazanah Kebudayaan

Perayaan Cap Go Meh di Kalbar merupakan sebuah kolaborasi menarik antara tradisi/religi Cina dan budaya lokal, bahkan festival ini menjadi unik karena diikuti oleh berbagai etnis seperti Tionghoa, Melayu, Dayak dan etnik lainnya. Tanpa memandang asal usul perayaan ini, masyarakat Kalbar dari berbagai suku dan agama ikut membaur dalam perayaan ini, dengan memegang peran dan fungsi masing-masing. Berbagai atraksi dan kesenian berbagai budaya etnik digelar secara kolaboratif melambangkan betapa kuat dan positifnya ikatan primordialisme jika disajikan dalam bingkai harmoni dan kebersamaan.

Pada perayaan Imlek 2563 tahun ini, dapat dilihat bagaimana kerukunan umat begitu nampak tergambar dari cara warga mengekspresikan kebersamaan mereka. Masyarakat yang beretnik selain Tionghoa ramai-ramai mengunjungi rumah warga Tionghoa untuk bersilaturahmi, mengucapkan selamat Imlek Gong Xi Fa Cai sambil menikmati hidangan kue dan minuman yang disajikan tuan rumah yang notabene berbeda keyakinan.
Tidak ketinggalan para pedagang mainan, dengan antusias melayani pembeli aneka souvenir khas Tionghoa seperti replika naga, liong, lampion dan barongsai yang dibeli tidak hanya oleh orang Tionghoa sendiri. Membeli aneka souvenir tersebut tidak lebih dari karena keunikan dan keindahan souvenir yang bisa dijadikan mainan, hadiah atau pajangan dirumah.

Sementara atraksi tatung yang selalu menjadi bagian dari pagelaran Cap Go Meh di Kalimantan Barat sebenarnya memiliki nilai-nilai strategis dalam membangun kekuatan masyarakat karena didalam pagelaran tersebut, banyak unsur bersatu padu dalam sebuah ikatan sosial yang kuat. Sebut saja misalnya Erwin dan teman-temannya yang beretnik Melayu, mengambil peran sebagai pengangkat tandu tatung (Toa Khio), pengiring musik atau pemain barongsai, liong dan naga. Bagi Erwin, keikutsertaan mereka tidak lebih sebagai bentuk kesetiakawanan sosial karena mereka tinggal di sebuah pemukiman yang beragam etnik. Mereka juga mengaku tidak merasa terganggu secara keyakinan.

Dalam perayaan Cap Go Meh dan tatung, masyarakat multietnik di Kalimantan Barat dalam hal ini sebenarnya telah menjadi sebuah komunitas baru yang memiliki ukuran nilai dan batas-batas sosial tertentu. Baik masyarakat yang beretnik Tionghoa atau bukan, pada spektrum tertentu telah keluar dari wilayah kebudayaannya dan masuk ke dalam area kebudayaan baru yang unik. Dalam hal ini mereka merasa tidak terikat dengan tradisi yang asli dan sistem nilai yang membentuknya.

Semula budaya Cap Go Meh dan tatung diselenggarakan hanya sebatas sebagai ritual budaya Tionghoa semata, namun belakangan berkembang menjadi ajang pentas budaya yang mengarah pada komersialisasi positif; sebuah produksi budaya yang mengakomodir banyaknya kepentingan tapi justru melahirkan keuntungan bersama, terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan, solidaritas dan multikulturalisme. Dengan demikian pembatasan kebebasan bagi etnik Tionghoa untuk mengekspresikan kebudayaan dan ritual mereka jelas-jelas merupakan langkah mundur dan sikap tidak mendidik bagi proses demokrasi dan keadilan di negeri ini. Apalagi jika kebijakan yang dibuat jelas-jelas melanggar HAM (terlepas dari kepentingan politik sempit didalamnya), maka seluruh kebijakan yang cenderung diskriminatif sudah sepantasnya tidak dapat diterapkan lagi. **

* Penulis, Peneliti Tatung, Dosen STAIN Pontianak.

No comments:

Post a Comment