Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, January 1, 2012

Ketidakberdayaan yang Dipelajari

Oleh: Aswandi

SETIAP pergantian tahun, semestinya terjadi perubahan ke arah yang lebih baik agar dapat digolongkan ke dalam kelompok orang-orang yang beruntung. Jika setiap pergantian waktu tidak mengalami perubahan atau sama saja dengan tahun, bulan dan hari sebelumnya berarti merugi,  dan jika hari ini lebih buruk dari hari-hari sebelumnya, maka disarankan segeralah bertaubat.  Hal ini sangat beralasan karena hidup dan kehidupan di masa depan secara pasti dan tidak bisa dihindari adalah kehidupan yang selalu mengalami perubahan; perubahan yang semakin cepat, kompleks, tidak pasti dan tidak menentu, saling ketergantungan satu sama lain dan bersifat holistik.

Mensikapi bonus demografi dimana dalam kurun waktu 30 tahun (2010-2040), bangsa Indonesia dianugerahi nikmat oleh Allah Swt berupa warga negara berusia produktif yang harus diberdayakan untuk menjadi kado ulang tahun “Satu Abad Kemerdekaan Indonesia” yang jatuh pada tahun 2045 akan datang. Jika tidak diberdayakan mulai sekarang secara efektif, maka tidak mustahil bangsa ini akan menjadi bangsa yang paling terkebelakang di dunia ini, bahkan bisa jadi bangsa ini hilang dari permukaan bumi.

Tantangan kita saat ini untuk eksistensi di masa depan adalah membenahi dan mengusahakan pemberdayaan generasi penerus bangsa yang saat ini belum berjalan secara efektif, baik yang sedang berlangsung di lingkungan pendidikan informal (keluarga), formal (sekolah dan pendidikan tinggi), dan nonformal (masyaarakat).
Martin Seligman (1993) dalam penelitiannya tentang “Learned Helplessness” yang dianggap penelitian psikologi terbesar abad ini karena mampu menjelaskan mengapa banyak orang menyerah, gagal atau tidak berdaya ketika dihdapkan pada tantangan atau masalah yang dihadapinya?,
Ketidakberdayaan yang dipelajarinya itu menginternalisasi keyakinan bahwa apa yang akan dikerjakan tidak ada manfaatnya, dan ketidakberdayaan yang dipelajari menghilangkan kemampuan mengendalikan peristiwa yang sulit. Ketidakberdayaan yang dipelajarinya merupakan hambatan definitive bagi pemberdayaan. Beberapa bukti penulis kemukan berikut ini.
Buckmenster Fuller menyatakan, “semua (99,99%) anak terlahir jenius, tetapi dengan begitu cepat (enam bulan pertama) orang dewasa (orang tua dan orang-orang yang ada di sekitarnya sebelum mereka memaasuki peendidikan formal) memupuskan kejeniusan mereka”, dikutip dari Drydem dan Vos (2000) dalam bukunya “The Learning Revolution”.
Sandy McGregor (2000) dalam bukunya “Piece of Mind” menyatakan hal yang sama bahwa anak berusia 0-5 tahun dapat mempelajari lebih banyak data dan fakta dari pada mahasiswa 5 (lima) tahun kuliah di perguruan tinggi, karena anak menikmatinya dan senang melakukannya, sementara mahasiswa melakukan pembelajaran tidak menyenangkan, stress dan merasa tidak berdaya.
Kondisi pembelajaran yang kurang memberdayakan peserta didik saat ini karena pembelajaran yang tidak didasarkan pada gaya belajar dan segera diperbaiki.
Setelah ditelusuri hingga ke generasi orang tua, penyakit sosial yang dewasa ini mengungkung setiap masyarakat berakar pada pendidikan yang buruk, khususnya krisis dalam pembelajaran, kecendrungan putus sekolah, prestasi rendah, dan penghargaan diri yang rendah.
Sebaliknya, rahasia keberhasilan dalam pembelajaran terletak pada pengenalan seseorang terhadap dirinya sendiri, gaya belajar dan potensinya, dan konsekwensi yang ditimbulkannya.
Pengalaman di Swedia dan Selandia Baru, sekolah yang telah menerapkan gaya belajar menunjukkan perubahan; disiplin membaik, prestasi akademik meningkat, kerjasama staf juga lebih baik, komunikasi lebih lancar, minat orang tua dalam pembelajaran meningkat.
Barbara Pranshnig (2007) dalam bukunya “The Power of Learning Styles” mengatakan bahwa “hampir semua murid yang berprestasi rendah adalah murid yang gaya belajarnya tidak cocok dengan gaya mengajar di sekolah. Yang mengherankan adalah bagaimana para profesional dalam sistem pendidikan melestarikan mitos bahwa semua murid harus belajar dengan cara yang sama”.
Dunn menegaskan “tidak ada yang lebih tidak adil dengan perlakuan yang sama terhadap orang-orang yang berbeda, dan kesulitan belajar sesungguhnya tidak ada, yang ada hanyalah kesulitan mengajar”.
Penelitian selama 25 tahun terakhir membuktikan bahwa manusia mampu mempelajari materi apa pun dengan berhasil apabila metode pembelajaran yang digunakan sesuai dengan pembelajaran individu. Artinya, apabila keragaman manusia dipertimbangkan dan diperhatikan dalam proses pembelajaran, hasilnya selalu positif; pelajar merasa senang, meraih sesuatu tanpa stres, mengalami peningkatan motivasi, dan selalu bisa mengendalikan proses belajar.
Kunci menuju keberhasilan dalam belajar  adalah mengetahui gaya belajar yang unik dari setiap orang, menerima kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan sebanyak mungkin menyesuaikan preferensi pribadi dalam setiap situasi pembelajaran.
Salah satu cara membuka potensi luar biasa yang telah terkunci dalam otak adalah dengan cara memasukkan informasi ke dalam otak melalui “Gaya Belajar”. Dan setiap orang mempunyai gaya belajar sendiri yang alami dan nyaman.
Eric Jensen (2010) dalam bukunya “Super Teaching” mendefinisikan gaya belajar adalah satu cara yang disukai untuk memikirkan, mengolah, dan memahami informasi.
Madden membagi lima gaya belajar melalui; (1) indera penglihatan atau visual; membaca, melihat, mengamati, visualisai si, imajinasi; (2) indera pendengaran atau auditori; mendengarkan, berbicara, berdiskusi; (3) indra peraba atau kinesterik; mengalami, mengerjakan, merasa, dan intuisi; (4) indra penciuman (olfaktori); dan (5) indra pencecap (gustatori).
Praktek pembelajaran yang kurang memberdayakan tersebut membuat Albert Einstein seorang Ilmuan besar yang menghabiskan waktunya di laboratorium menyesali hidupnya dalam 2 (dua) persoalan, yakni; (1) saya menyesal karena pernah sekolah, dan (2) saya menyesal karena tidak sempat menjadi guru.
Dalam berbagai kesempatan, penulis sampaikan selain pembelajaran yang tidak mendasarkan pada gaya belajar peserta  didik, ketidakberdayaan yang dipelajari juga terjadi melalui penggunaan Information Communication  Technology (ICT) yang tidak terkendalikan, dan ICT memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap ketidakberdayaan peserta didik tersebut
Mengawali tahun 2012 ini, barangkali ada baiknya kita memikirkan kembali upaya pemberdayaan yang efektif secara sinergis di semua lini kehidupam, terutama pada lembaga pendidikan, mulai dari pendidikan dalam keluarga, secara berkesinambungan dilanjutkan pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi (Penulis, Dosen FKIP Untan)

No comments:

Post a Comment