Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, January 1, 2012

Pendidikan Karakter Jangan Sebatas Retorika

Oleh: Syamsul Kurniawan*

TENTUNYA kita masih ingat dengan kejadian berikut. Tanggal 16 Mei 2011 lalu, tepatnya setelah 4 hari ujian nasional berakhir, Siami mengetahui bahwa putranya Alif diminta oleh gurunya untuk memberikan contekan jawaban kepada siswa lainnya di dalam kelas. Siami lantas mengkonfirmasi hal ini pada kepala sekolah. Tak puas dengan jawaban kepala sekolah, ia lalu mengadu ke komite sekolah namun tak kunjung mendapat tanggapan, ia pun membawa masalah ini ke sebuah radio di Surabaya hingga akhirnya laporan tersebut sampai ke telinga Walikota Surabaya, Tri Rismaharini.

Setelah dilakukan proses penyidikan, sanksi pun dijatuhkan pada pihak yang dinilai bertanggung jawab yaitu satu kepala sekolah dan dua guru. Sanksi pada tiga pendidik ini lantas memicu kemarahan wali murid. Mereka menilai Siami dan keluarganya tak punya hati, serta telah mencemarkan nama sekolah dan kampung. Setidaknya empat kali warga menggelar demonstrasi di depan rumahnya. Puncaknya terjadi pada Kamis 9 Juni 2011. Lebih dari 100 warga Kampung Gadel Sari dan wali murid SDN Gadel II menuntut Siami meminta maaf dan mengusir Siami sekeluarga dari kampung.


Tentunya kita masih ingat dengan kasus di atas. Kasus contek massal yang terjadi di Sekolah Dasar Negeri Gadel II Surabaya, Jawa Timur ini menjadi pelajaran penting di tahun yang akan datang, tentang dampak dari buruknya sistem pendidikan Indonesia saat ini yang lebih mengedepankan kecerdasan intelektual sebagai standar kesuksesan, di mana standar keberhasilan peserta didik diukur dari seberapa bagus nilai ujiannya. Dampak yang muncul kemudian adalah para peserta didik menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan nilai terbaiknya dalam ujian: “termasuk mencontek”.

Pendidikan nasional dinilai gagal dalam membangun karakter bangsa, padahal seharusnya pendidikan nasional berbasiskan pada “pendidikan karakter”. Di sisi lain, dunia pendidikan Indonesia hingga kini masih saja diwarnai oleh berbagai tawuran antar pelajar dan mahasiswa yang tak jarang memakan korban luka dan korban jiwa (bahkan hanya karena berlatar belakang hal sepele). Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait dalam dialog interaktif tentang tawuran di Jakarta yang diadakan Dinas Pendidikan DKI, Rabu (21/12/2011), menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2011 terjadi 339 kasus tawuran dan kekerasan antar pelajar yang menewaskan 82 anak didik. Jumlah ini melesat dibanding tahun 2010 yakni 128 kasus dengan 40 pelajar meninggal dunia.

Demikianlah, sampai saat ini pendidikan di Indonesia saya nilai belum mendorong pembangunan karakter bangsa. Hal ini disebabkan karena ukuran-ukuran dalam pendidikan tidak dikembalikan pada karakter peserta didik, tapi dikembalikan pada permintaan pasar. Pendidikan dilihat sebagai komoditi dan tunduk kepada hukum pasar (supply and demand). Siswa yang masuk dalam sekolah dididik dengan doktrin-doktrin modernisme-neoliberal, mereka diarahkan pandangan hidupnya pada pencapaian kesuksesan hidup ala kaum neolib, diarahkan pembangunan sosial-budaya ala borjuis-kapitalis, dan ikut dalam pandangan dan gaya hidup kaum borjuis-kapitalis. Para siswa diberikan kompetensi yang sekiranya dibutuhkan oleh dunia industri, yang dalam hal ini pendidikan tunduk pada kemauan pasar, pendidikan hanya ditujukan sebagai lembaga pensuplai tenaga kerja untuk dunia industri. Pendidikan dengan demikian tidak lagi sebagaimana ideal konsep pendidikan sebagai lembaga pencerahan dan pembangun peradaban, menciptakan peradaban manusia, tapi sekadar mengikuti jalan peradaban yang dibangun oleh para kaum kapitalis-borjuis di atas puing-puing humanisme, bersenjatakan legitimasi ilmu pengetahuan yang mereka kendalikan. Pendidikan karakter dikesampingkan. Yang penting anak cerdas (secara kognitif) di banyak mata pelajaran, soal baik atau tidaknya perilaku anak didik itu (cerdas secara afektif) tidak dipersoalkan.

Padahal, pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character... that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).Pendidikan karakter bangsa penting dilakukan dalam proses belajar mengajar,  karena  para pelajar nanti akan menjadi generasi penerus bangsa dan negara. Apalagi di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi sangat mendesak untuk diterapkan.

Pendidikan karakter ini harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Mulai keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sebab, pendidikan karakter mencakup pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan kepengamalan nilai secara nyata. Dari diagnosis sampai ke praksis. Singkatnya, pendidikan karakter adalah membimbing siswa untuk secara sukarela mengikatkan diri pada nilai. Terdapat tiga hal penting yang mesti diperhatikan dalam pendidikan karakter, yaitu: pembiasaan, contoh atau teladan, dan pendidikan/ pembelajaran secara terintegrasi.

Dalam hal ini, pelajar  butuh penuntun yang dapat mengarahkan ke jalan yang benar,  dan siapa lagi penuntunnya itu kalau bukan  guru di sekolah. Jika  guru gagal menuntun siswa  dalam membangun karakter bangsa,  maka generasi penerus ini akan menjadi generasi yang cacat akhlak dan budi pekerti luhur. Untuk itu,  kita membutuhkan guru yang dapat menjalankan dua aspek  pendidikan ini. Satu sisi melaksanakan  pendidikan formal  dan sisi lainnya berupa penanaman akhlak dan budi pekerti luhur.   Pendidikan itu harus berlangsung dalam suasana keluarga dengan guru sebagai orang tua dan siswa sebagai anak. Proses pendidikan dari seorang guru pada siswa dilakukan dengan rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan, dan suasana kekeluargaan. Mari kita wujudkan pendidikan karakter ini secara nyata, tak hanya mengapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika belaka.**

*) Penulis, Dosen Luar Biasa STAIN Pontianak

No comments:

Post a Comment