Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, January 13, 2012

Umat Islam dalam Pemilukada 2012

Oleh : Abdul Mukti Ro’uf

PEMILUKADA adalah kegiatan politik demokrasi. Ia hadir dalam kehidupan politik kita sebagai sistem dan prosedur yang konstitusional untuk meraih kekuasaan politik seperti jabatan presiden-wakil presiden, bupati-wakil bupati, dan walikota-wakil walikota.  Dalam penerapannya, pemilukada tidak hanya sekedar urusan politik. Ia juga misalnya, untuk kepentingan tertentu, seringkali menarik gerbong agama. Bagi mereka yang berpandangan bahwa politik dan agama tak terpisahkan, maka memasukkan agama dalam urusan pemilukada menjadi absah.

Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki pandangan sekuler mengatakan agama dan politik tak dapat dibaurkan. Dua pandangan ini telah menjadi diskursus tersendiri dalam Islamic politic study. Tulisan ini tidak akan mendiskusikan narasi pemikiran konseptual itu. Melainkan akan melihat realitas politik (tepatnya, realitas politik umat Islam) dalam konteks pemilukada 2012 di Kalbar sebagai ‘cara pandang’ dalam mendiskusikan politik umat.
Karena itu, dalam ruang yang terbatas ini, saya bermaksud mendekati (realitas) politik dengan realitas. Dalam pendekatan filsafat, biasanya dianut oleh fenomenologi yang membiarkan realitas berbicara tentang dirinya sendiri dengan apa adanya. Dalam pendekatan politik modern, dapat disebut beberapa tokoh peletak dasar pendekatan empiristik seperti Lock di Inggris, Montesquieu di Prancis, dan Jefferson di Amerika yang mempopulerkan asumsi Machiavellian (Niccolo Machiavelli) yang menganggap panggung politik adalah arena pertarungan kekuatan yang dunayawiyah.

Mereka tidak ingin memandang dunia politik secara teologis romantik. Meski saya sendiri banyak yang tidak sepandapat dengan argumen Machiavellian, terutama soal desakralisasi politik yang sering berujung pada demoralisasi. Seolah, politik dan etika bagai minyak dan air. Tetapi memang, pendekatan yang terlalu teologis-romantik dalam politik praktis di era modern sering kurang bermanfaat setidaknya dalam kasus pemilu ke pemilu dalam sejarah Indonesia. Sehingga dapat diasumsikan bahwa relasi keyakinan agama seseorang dengan afiliasi politiknya sering tidak nyambung.

Pan-islamisme: Cita & Fakta
Istilah ‘pan-islamisme’ diambil dari gagasan pemikir pembaharu Islam modern Jamaluddin al-Afghani, yaitu suatu gagasan yang hendak menyatukan kekuatan politik umat Islam sedunia dalam melawan imperialisme dan kolonialisme Barat. Dalam perkembangan mutakhir, gagasan ‘persatuan (politik) umat Islam’, baik dalam skala global maupun di salah satu negara berpenduduk mayoritas muslim, sering menemukan kegagalan. Sebagai contoh, kontestasi gagasan dan gerakan khilafah Islamiyah versus demokrasi Islam (Hizbul al-Tahrir Vs Ikhwanul Muslimin) telah lama bersimpang jalan bahkan hampir beroposisi-biner antar keduanya. Belum lagi jika dibicarakan kontroversi politik Sunni-Syi’ah yang telah dan tengah menjadi catatan tersendiri dalam perjalanan politik umat Islam.

Dengan demikian, apakah proporsional jika dikatakan: “perbedaan pandangan politik umat Islam itu rahmat?” Persoalannya menjadi naif justru ketika terjadi perbedaan pandangan politik yang menyebabkan perbedaan ‘keinginan’ politik dan ujungnya, terjadi ‘perceraian’ politik. Dalam konteks pemilukada, yang terjadi adalah ‘kekalahan’ politik. Yang aneh, banyak suara umat kemudian mengarahkan amarahnya kepada pemenang politik yang secara kebetulan berbeda agama. Padahal, inilah kontes politik yang meniscayakan konsep, strategi, komitmen, solidaritas, soliditas untuk pemenangan. Itulah gambaran yang bisa dibaca dari pemilukada tahun 2009 yang lampau.

Elit dan Umat
Masyarakat modern yang dicirikan oleh rasionalisme, memandang persoalan hidupnya dengan kacamata akal sehatnya. Prgamatisme sebagai sahabat rasionalisme juga memandang persoalan hidupnya, termasuk persoalan politik dengan ukuran yang konkrit. Meminjam istilah Kuntowijoyo sebagai politic of the concrit. Dengan cara pandang begitu, maka relasi elit dan umat dibatasi oleh dimensi rasionalitas dan empirisitas dengan bermuara pada objektifitas. Kecenderungan pragmatisme politik agaknya semakin menguat. Sehingga relasi keagamaan dalam ranah politik - akibat menguatnya trend rasionalisme dan pragmatisme pada masyarakat modern, lumayan terabaikan. Itu sebabnya, teori besar politik aliran yang dicetuskan oleh Clifford Geertczh sejak tahun 50-an makin kehilangan relevansinya.

Fenomena demikian, membawa kaum elit yang berpikir mengharuskan untuk menata ulang paradigma baru dengan basis riset yang kuat untuk melihat fakta-fakta baru yang terjadi dalam dealektika umat. Kongko-kongko elit politik yang dilakukan secara instan dengan hanya membicarakan: siapa yang pantas dimajukan dalam Pemilukada 2012 dengan balutan ‘emosi keagamaan’ dan ‘emosi keetnisan’ yang juga instan hanya akan menghasilkan letupan ‘petasan’ kecil.

Sementara katakanlah, “yang lain” (the others), telah menyusunnya dengan konsep berbasis riset, strategi, pola bekerja, dan dukungan dana yang kuat. Jika demikian, mau apa? Elit dan umatnya, seringkali bekerja dengan logikanya masing-masing. Dengan mengikuti selera Machiavellian, tujuan elit adalah politik kekuasaan, sementara tujuan rakyat adalah politik kesejahteraan. Dalam kerangka ini, mungkin sejak dini harus diajukan pertanyaan: apakah ada relasi positif antara katakanlah, terpilihnya seorang gubernur yang beragama A dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang beragama A? Jangan-jangan, yang terjadi hanya semacam dugaan-dugaan (hypotehtic statement) yang kebenarannya belum divalidasi oleh fakta.

Maka, kebenaran faktual umat - yang salah satunya diperoleh dari rekomendasi riset - layak menjadi referensi elit agar mereka tidak asyik-maksyuk dengan persepsi dan kepentingannya sendiri. Hubungan elit-umat dengan demikian harus menjadi hubungan fungsional-fenomenologis-empiristik. Dengan pendekatan itu, maka kegiatan politik harus dianggap semata-mata sebagai duniawi oriented saja yang dengannya menjadi profane (tidak suci) tanpa harus terjebak pada fatwa Machiefelli yang “amoral” karena dalam Islam dikenal dengan doktrin Three in one (iman, Islam, dan ihsan). Saya tidak tau, apakah realitas politik umat Islam seperti yang digambarkan al-Qur’an surah Al-Hasyr ayat 14 :…”tahsabuhum jamiian wa qulubuhum syattaa” (kamu kira mereka itu bersatu, padahal hati mereka terpecah belah). Wallahu a’lam.

(Penulis dosen Filsafat Islam di STAIN Pontianak)

No comments:

Post a Comment